Aku buatkan puisi lirih untuk negeri,
dimana kebaikan sulit merajam,
tapi yang jahat terus diberi jiwa.
Entah kenapa.
Aku menuliskan puisi perih untuk negeri,
perih melihat kekayaan hanya terjual murah,
tapi aku harus membelinya lagi dengan harga mahal,
sebesar itukah tanggunganku sebagai rakyat?
Aku suarakan puisi gundah untuk negeri,
diambang hilangnya kearifan lokal,
tergerus eksodus globalisasi dan maraknya penyebaran ekstasi,
Jangan marah ketika budaya hilang dicuri orang,
memang salah kita tak melulu menghidupkan.
Ya, biarkan.
Lalu, sebegitu bodohkah aku?
Sebegitu tak berdayanya aku melihat budayaku hancur,
bahasa daerahku terlupakan,
dan bangsaku tak lagi jadi bijak?
Inilah puisiku,
puisi yang dibuat diujung parit kekelaman politik,
puisi yang dibuat dengan todongan senjata ekonomi,
aku hidup, aku masih hidup
hidup dengan jeratan kehidupan ekonomi morat marit
hidup dengan tujukan keserakahan penguasa masa kini.
Ikuti tulisan menarik Oky Handoko lainnya di sini.