x

Ilustrasi Minum Kopi. Pixabay.com

Iklan

Veyasa Kumala

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Jumat, 19 November 2021 07:06 WIB

Kulacino Mengering


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KULACINO MENGERING

 

            Seorang perempuan rapuh tiba-tiba berdiri di hadapan Fatih. Lelaki tampan itu tengah menyesap kopi legit di teras rumahnya. Menikmati mentari pagi yang mengelus pipinya hangat. Ia letakkan cangkir kopinya di meja. Senyum tersungging. Hendak menyapa dan bertanya apakah ada yang bisa dibantu oleh Fatih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, secepat itu senyum datang, secepat itu pula pergi. Begitu kenangan terlukis di wajah Fatih, ia membatu. Ia memandang perempuan itu lekat. Wajah yang dulu bening dan cerah, kini tak ada lagi. Pipi perempuan itu tirus. Terlalu tirus. Gurat air mata tampak baru saja mengering. Matanya sembab. Kelopaknya menghitam bengkak. Dengan sobek di ujung bibirnya, akan perih untuknya tersenyum. Sobek yang sudah mulai mengering. Dulu mungkin pernah ada darah mengucur dari cela itu.

Sepertinya perempuan itu sudah jarang tersenyum. Tak seperti dulu, ketika ia dikenal dengan gadis ria.

Perempuan berambut sebahu itu menaikkan ujung bibirnya. Berusaha tersenyum.  Walaupun matanya penuh nanar perih. “Kau ingat aku?” tanyanya pelan.

Fatih menatap perempuan itu lekat. “Tentu”. Tak mungkin ia melupakan perempuan masa lalunya itu. Perempuan yang pernah sangat ia cintai. Perempuan itu pula yang memecahkan hatinya hingga remuk redam.

Suara dingin Fatih membuat perempuan itu menelan kekecewaan. Sembari menyentuh matanya yang bengkak menghitam, ia berujar, “Ini bukan salahnya. Ini salahku.”

Pembelaan. Membela orang yang salah. “Kalau tahu akan begini, kenapa kau memilihnya?” Fatih menghembuskan napas pelan. “Pernah kutunjukkan bekas luka di bahuku yang tak bisa hilang sejak aku kecil hingga sekarang. Luka yang disebabkan oleh lelaki yang akhirnya kau pilih itu. Juga sudah pernah kukatakan, jika sebelum masuk ke rahim ibukku aku diberi kesempatan memilih ayah, aku takkan pernah sudi menjadi anaknya.”

Tangis Dalila pecah. Fatih ingat tiga tahun lalu. Dalila masih kekasihnya. Sudah sejak kuliah, mereka menjadi sepasang kekasih. Banyak hati patah. Dua sejoli yang dielu-elukan oleh para mahasiswa kampusnya menjalin kasih. Fatih bahagia. Mereka berdua bahagia. Banyak hati bertepuk sebelah.

Petaka itu datang ketika Fatih diterima bekerja di Jakarta. Meninggalkan Dalila yang mewujudkan mimpinya sejak dulu. Menjadi barista. Bergumul dengan aroma kopi.

Dengan uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit oleh Dalila dan Fatih, perempuan itu mendirikan coffee shop-nya sendiri. Di Malang. Tempat kisah cinta mereka melabuh.

Purnama demi purnama mereka lalui. Tentu dengan jarak yang tak dekat. Namun, Fatih tetap percaya kepada Dalila. Selama dua tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh, tak pernah mereka bertengkar layaknya pasangan lain. Mereka berdua menjadi muara rasa iri para pasangan yang selalu dengan gampang memutussambungkan hubungan.

Sudah cukup rasanya Fatih meninggalkan Dalila di Malang. Lelaki kokoh itu ingin segera melamar Dalila. Memboyongnya ke Jakarta. Fatih berhemat. Mengumpulkan uang demi bisa bersatu dengan perempuan pemilik separuh jiwanya.

Hari itu, rindu Fatih pada Dalila membuncah. Ingin segera menghubungi Dalila dan mengatakan bahwa ia sudah ada di Malang. Bersiap menemuinya. Namun, ia meneguhkan tekad. Ia ingin memberikan kejutan manis kepada Dalila.

Fatih keluar dari mobil. Bunga lili putih di tangan kanan. Kotak beludru merah kecil di tangan kiri. Berisi cincin bentuk hati yang dulu pernah diinginkan Dalila ketika mereka masih kuliah.

Lelaki berparas tampan itu berjalan tegap dengan senyum seindah senja kala itu. Senja jingga yang menyirami tubuh Fatih. Kehangatan terakhir sebelum malam datang. Fatih berdiri di depan pintu kafe Dalila. Menarik napas dan menghembuskannya keras.

Begitu pintu tersibak, aroma pahit kopi menyeruak. Memenuhi indra penciumannya. Merangsang untuk terus bergerak maju. Tiba-tiba Fatih membatu. Senyumnya lenyap. Dalila tidak sendiri. Perempuan yang dicintainya tengah duduk di salah satu meja di pojok kafe. Entah bagaimana tangan mungil Dalila berada dalam genggaman seorang lelaki. Bukan lelaki lain. Lelaki itu adalah Pak Broto, ayah Fatih.

“Bangsat!” Fatih menghambur. Melempar lili dan kotak beludru itu.  Kerah baju ayahnya dicengkeramnya kuat dan diangkatnya tinggi-tinggi. “Cukup Ibu yang kau ambil dariku. Apa kau memang ingin merampas semua milikku? Belum cukup Ibu tersakiti hingga mati? Sekarang kau juga mengambil kekasihku. Bedebah!”

Pak Broto tersenyum sinis di antara kekangan tangan anak kandungnya itu di sekeliling lehernya. Benar-benar seperti tak menganggap Fatih anak lagi. “Kau dan ibumu akan tahu bagaimana sakitnya pengkhianatan,” bisiknya agar Dalila tak bisa mendengar ucapannya.

Fatih melempar tubuh Pak Broto hingga tersungkur. “Kau menjijikkan. Kalian menjijikkkan.”

Ia berjalan keluar, meninggalkan mereka yang telah meremukkan hatinya. Tak peduli Dalila berteriak mengejarnya.

Lelaki itu mengendarai mobilnya memburu. Kembali ke Jakarta. Berjanji dalam hati tak akan kembali ke Malang.

Kesalahannya memang karena meninggalkan Dalila sendiri di Malang. Bukankah ia tahu bahwa ayah kandungnya membenci Fatih sejak ibunya berselingkuh beberapa tahun lalu. Lantas sekarang, dendam ayahnya seperti telah dibayar lunas pada dirinya. Pada kekasihnya. Bukan. Pada Dalila, mantan kekasihnya.

Seharusnya Dalila adalah orang pertama yang akan mengusap air matanya dan meniup kesakitannya pergi. Ia adalah satu-satunya yang tahu apa yang terjadi pada keluarganya. Ayahnya lebih suka menghabiskan waktu bersama alkohol dibandingkan bermain bersama dirinya atau bercanda bersama ibunya.

Ketika malam datang, ibunya akan selalu berada di ruang tamu, menanti kedatangan ayahnya yang tak kunjung tampak. Dari balik tirai selalu Fatih pandang wajah ibunya.

“Ibu, ayo kita tidur saja.” Sering Fatih mengingatkannya untuk tak lagi menanti ayahnya. “Iya, Fatih. Tidur saja dulu.”

Pagi hari ketika Fatih bangun, gurat air mata di wajah ibunya pasti baru saja mengering. Tak perlu ditanya lagi apa sebab air itu keluar dari mata cerlang ibunya. Semua sudah jelas. Pasti ayahnya pulang tadi malam dengan menghadiahkan tamparan juga caci maki.

Pada saat ini, Fatih akan merasa menjadi anak yang paling tidak berguna. Yang hanya bisa Fatih lihat dari balik tirai. Hidup ibunya sangat pilu, tak bisa lagi dihibur. Sampai Fatih berharap, potret wajah cantik ibunya yang selalu ia letakkan di nakas kamarnya, akan bisa kembali. Tanpa air mata. Tanpa sendu. Fatih harap…

Lalu sekarang, ketika lukanya belum sembuh benar, Dalila menemuinya. Menyiram air garam pada lukanya yang baru separuh kering. Masa lalu memang tempatnya di belakang pandangan. Jika tiba-tiba bertatapan pandang seperti ini, malah akan membuat kesakitannya yang dulu kembali perih. Fatih terombang-ambing. Haruskah ia menerima perempuan ini kembali? Merawatnya. Menjaganya. Agar tak ada lagi kesakitan yang bisa menyentuh ujung bibirnya.

Tapi tidak. Susah payah Fatih sampai di titik ini. Menjadi lelaki kuat yang takkan merasa sakit lagi. Ia takkan mundur. Ia takkan kembali.

“Aku bukan Fatih yang dulu, Lila. Jadilah dewasa. Itulah hasil yang kau tuai dari pilihanmu. Maaf.”

Dalila beranjak. Masih terisak. Matahari semakin tinggi. Dalila melangkah pergi.

Fatih menekuri kulacino di meja. Tak mau memandang kepergian Dalila. Takut ia goyah. Takut kakinya tak mau mendengarkan perintahnya. Takut ia akan membawa Dalila berbalik kembali menghadapnya. Ia pandang bekas basah cangkir kopinya yang mulai mengering. Kopi yang mulai dingin. Sedingin kopinya. Sedingin hatinya.

***

 

Ikuti tulisan menarik Veyasa Kumala lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler