x

Iklan

Sekar Tanjung Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Rabu, 24 November 2021 06:23 WIB

Perihal Aksara

Tentang Aksara dan luka yang ingin disembuhkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hamparan pasir putih bersih tersaji, menyambut lembut kedatangan ku di sini. Sepi, tidak ada banyak manusia. Apa karena ini hari kerja, sehingga tidak banyak yang datang mengunjungi?

Lagi-lagi aku termenung, hanya menatap ombak yang bergulung kecil di kejauhan sana. Hari ini sangat cerah. Awan di langit berarak dengan teratur. Suara deburan ombak yang indah. Angin yang berhembus lembut. Serta hangatnya pasir putih yang berada di bawah ku ini, menambah ketenangan yang ada.

Sudah berapa lama aku berlari? Menghindari kenyataan yang tersaji di depan mataku. Bolehkah aku terus menghindar? Sungguh, rasa ini sangat berat. Aku tak sanggup untuk membawanya. Bisakah memberi izin agar aku dapat menyerah?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pria yang ku cintai telah pergi. Meninggalkan ku dengan putri cantik kami. Putri yang selama ini ia tunggu kehadirannya.

Kala itu ia berkata, "Aku pasti akan menjadi ayah yang baik untuk anak-anak kita. Aku janji, akan mengajari dan melindungi kalian. Menuntun kalian pada jalan yang benar. Karena itulah salah satu dari sekian kewajiban yang ada pada diriku."

Sangat manis bukan? Sekalipun aku tahu, bahwa itu memanglah kewajibannya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Tapi aku tidak pernah membayangkan bahwa ia akan mengeluarkan kata-kata itu dihadapan ku. Saat melihat mata indah putri kami, ingin sekali rasanya menagih janji yang telah ia keluarkan. Ingin sekali rasanya meminta agar ia segera melakukan itu untuk kami.

"Aku rasa putri kita nanti akan sangat cantik seperti mu." ia sering sekali menggoda ku dengan berlindung dibalik kata 'putri kita'. Setiap kata yang ia keluarkan sangat manis, dan aku tidak tahu sudah berapa kali salah tingkah dibuatnya.

Kami tidak pernah menjalin hubungan sebelumnya, sekalipun dengan orang lain. Karena kami tahu, hal tersebut dilarang dalam agama. Kami hanya saling mengetahui, suami ku adalah teman dekat dari kakak laki-laki ku. Kami juga tidak pernah berteman atau bertukar pesan. Suami ku adalah pria yang pemalu. Dan aku pun tidak ada urusan dengannya saat itu, jadi untuk apa mengirimkan pesan?

Namun saat takdir sudah digariskan oleh Allah, apa yang akan menjadi milik ku pasti akan datang menghampiri. Dan salah satu takdir indah yang telah Allah ukir untuk ku adalah menjadi istri darinya. Dari ia yang tidak pernah bertegur sapa dengan ku. Dari ia yang selalu menghindar kala mata kami bertemu. Dari ia yang pemalu. Dan dari ia yang ternyata menaruh rasa pada ku.

Kakak menjadi perantara antara kami saat ia mengutarakan niatnya pada Ayah dan Bunda untuk menikahi ku. Kakak adalah lelaki yang sangat keras jika sudah menyangkut tentang hidup ku. Kakak sangat sayang padaku, karenanya dia selalu menjaga diriku.

Aku tidak tahu apa yang membuat kakak mengizinkan temannya untuk menikahi ku. Tapi apapun alasannya, aku sangat berterima kasih pada kakak.

Hei, kau tahu? Saat itu aku sangat terkejut. Baru saja aku menyelesaikan acara wisuda di kampus. Saat pulang, ternyata ia dan keluarganya sudah tiba. Aku yang tidak tahu apapun pergi menuju kamar tidur untuk beristirahat. Ternyata aku keliru. Mereka datang untuk meminta ku secara sah. Seperti kebanyakan anak perempuan lainnya, tanpa pikir panjang aku menolaknya dengan tegas. Aku marah, apa-apaan keluarga ku? Apa aku sangat merepotkan sehingga mereka ingin menikahi ku secepat ini? Dan lagi, ia berusia 30 tahun. Usia yang terpaut cukup jauh dengan ku yang saat itu baru berusia 21 tahun.

Err, memikirkannya saja aku sudah takut.

Namun, ia tidak pernah menyerah. Sekalipun aku menolaknya, baik langsung ataupun tidak, ia selalu berusaha. Bukan dengan usaha yang curang, aku melihat sendiri bagaimana usahanya untuk meyakinkan ku. Aku tahu, menikah bukan hanya soal keyakinan disaat itu. Menikah adalah hal yang ingin kulakukan sekali seumur hidup, jika bisa.

Aku tidak semata-mata yakin begitu saja dengannya.

Berkali-kali sudah ku acuhkan, ia tetap berusaha. Beribu kali aku menjauh, ia tetap bersabar. Kakak bilang, suami ku tidak pernah jatuh cinta sedalam ini dengan wanita lain dan tidak pernah berusaha sebesar ini untuk seorang wanita. Jika ia mau, ia bisa saja memilih dari sekian banyak wanita lain yang mengantri untuk dinikahi olehnya.

Namun, ia memilih ku, sebagai pelabuhan terakhirnya.

Sampai saat dimana aku tersadar, bahwa ternyata aku telah jatuh pada dirinya. Aku pun menerima lamaran suami ku, dan segera keluarga kami menyiapkan segalanya. Butuh 1 tahun untuk kami bisa berada di atas pelaminan bersama.

Tapi sekarang, bolehkah aku menyesali pernikahan ini? Jika aku tahu, bahwa pada akhirnya ia akan pergi meninggalkan ku sendiri. Harusnya tak usah aku terima. Harusnya ku biarkan saja semua usaha yang telah ia keluarkan berakhir tidak berarti.

Ini benar-benar sakit, ia pergi saat aku sedang mencintainya dengan sangat. Aku terluka.

"Kalau aku pergi, kamu marah ga?" ia pernah bertanya suatu hal yang menimbulkan amarah ku.

"Ngomong apa sih kak?! Emang mau pergi kemana?" tidak, mungkin bukan amarah, lebih tepatnya aku takut itu akan terjadi.

"Haha nggak, nggak. Kakak bercanda." ia mencoba untuk menenangkan ku. Mendekap hangat tubuh ku sembari mengelus lembut surai hitam milikku. Ia juga mengcup singkat pangkal rambut ku dan mendekap erat tubuh ku seakan tidak ingin melepas. Tidak tahu kah ia? bahwa dari saat itu hingga hari kepergiannya, aku selalu ketakutan, dan dipeluk oleh kekhawatiran yang besar.

Perkataannya menjadi nyata. Hari itu, hari dimana putri kami datang. Satu jam setelah segala usaha yang ku keluarkan untuk putri kami. Ia yang sedang dalam perjalanan sekembalinya dari tempat bekerja, tertabrak oleh sebuah mobil yang berasal dari arah berlawanan, menghantam dengan keras mobil suami ku.

Hancur semua, termasuk suami ku. Darah mengucur deras dari tubuhnya, aku tak sanggup melihat. Suami ku pasti sangat kesakitan. Aku tidak habis pikir, mengapa ia masih bisa tersenyum?

"Putri kita sudah hadir, ia menunggu kehadiran mu. Lalu mengapa sekarang kau pergi? Kakak ga mau melihat putri yang selalu kita banggakan ini?" aku benar-benar terluka, aku menangis tanpa henti, bahkan anak ku pun tidak ku sentuh sedikitpun. Aku tahu itu salah dan tidak benar.

Ia pergi meninggalkan cinta, meninggalkan putri kami tanpa kasih sayang seorang ayah.

Arsera Senja, nama putri kami yang telah disiapkan oleh suami ku. Ia sangat menyukai senja, katanya senja itu cantik, sama seperti ku. Makanya dia suka. Lihat, ia benar-benar pria yang manis. Aku jatuh hati padanya. 

Saat tubuh kaku itu berada tepat dihadapan ku, sekuat tenaga aku menahan tangis. Perlahan ku sejajarkan tubuhku di samping telinganya, dan aku berbisik, "Pergilah, tidak apa. Aku akan menjaga, merawat, melindungi, menuntun, dan mendidik Sera dengan baik. Jangan khawatir, tenanglah. Terima kasih atas segala hal yang telah kau perjuangkan untuk kami." aku berjanji, sebagaimana janjinya.

Pada kenyataannya, aku sedikit berbohong, aku sedang tidak baik-baik saja bahkan sampai sekarang.

Bisakah aku sembuh dari luka ini?

Ya Allah, aku merindukannya.

Sejenak, ku pejamkan kedua mata. Menahan diri agar tidak menciptakan sungai kecil di pipi. Menarik napas dengan tergesa dan menghembuskannya dengan kasar. Sesak sekali dada ku. Seperti ada yang menghantamnya dengan keras.

"Kamu ga boleh terus seperti ini, Selin. Kamu kuat. Anakmu membutuhkan mu. Ayah, Bunda, Mama, Papa, dan Kakak sangat mengkhawatirkan mu. Kak Aksa juga pasti akan sedih saat dia melihatmu sekarang. Kak Aksa, aku janji akan segera sembuh dari luka ini. Tapi ku mohon, jangan pernah menghilang dari pikiran ku." ku pukul pelan dada ini, berharap dapat menghilangkan rasa sesak yang ada.

Sudah aku bilang, aku tidak ingin menangis. Tapi mengapa air mata ini turun? Aku jatuh terduduk. Baiklah, sebentar saja. Izinkan aku untuk menumpahkan segala rasa rindu dan sakit pada kak Aksa melalui air mata ku.

Sejenak, ku biarkan air mata ini menjadi pengganti dari setiap kata yang tidak mampu terucap.

"Di sini lagi rupanya."

Di tengah tangis, suara yang sangat ku kenali terdengar dengan jelas. Segera ku bangkit dan menghapus sisa air mata dengan kasar. Aku membalikkan badan, terlihat jelas tubuh tegap kakak laki-laki ku, kak Sean. Kak Sean selalu mengetahui tempat favorit ku dan kak Aksa, salah satunya pantai ini. Tidak heran jika dia bisa menemukan ku di sini.

"Kakak? Sendirian?" aku takut kak Sean tidak datang sendiri dan membawa orang lain.

"Sendiri. Ayo pulang, Sera nungguin kamu di rumah. Sedari siang dia mencari Bundanya. Tadi Sera jatuh di sekolah. Kakinya sedikit terluka, tapi Gibran sudah mengobatinya. Jadi, ayo pulang sekarang. Orang Tua Aksa ada di rumah Bunda, mereka rindu sama kamu, katanya ingin bertemu."

Ahh, aku baru ingat. Sudah 5 tahun semenjak kepergian kak Aksa. Putri kami sudah memasuki bangku Taman Kanak-Kanak. Selama itu ya aku terluka?

Sera pasti sangat sedih, aku tidak berada di sampingnya saat ia terluka.

Orang lain yang aku maksud adalah kak Gibran, dia salah satu teman kakak ku juga. Dan dia adalah seorang dokter. Pria ini, kakak bilang akan menjadi obat penyembuh luka ku. Kau pasti mengerti apa maksud kakak ku bukan? Tapi aku masih ragu, rasanya tidak ingin mengganti nama pria dalam hatiku ini dengan nama pria lain. Kak Gibran juga memiliki nasib yang serupa dengan ku, istrinya meninggal sesaat setelah melahirkan anak mereka, lalu anak mereka pun menyusul kepergian ibunya satu minggu kemudian. 

"Ngapain bengong? Bunda udah telpon tadi, Sera nangis, mencari kamu. Kamu nggak kasian? Jangan egois. Kamu ga sendiri disini Selin. Ada kami semua yang selalu di sampingmu."

Kembali menangis, kali ini aku meminjam pundak kak Sean untuk menumpahkan segala luka yang ku simpan rapat dalam lubuk hati.

"Kakak ga melarang kamu untuk menangis, Selin. Kakak memang tidak paham bagaimana perasaanmu. Tapi, kamu ga boleh seperti ini terus. Waktu selalu berjalan, hari demi hari pun berganti. Kamu wanita kuat Selin." kak Sean menarik tubuh ku untuk jatuh dalam dekapannya, mengelus lembut rambut ku yang tertutup kain hijab, kak Sean juga menepuk punggungku pelan, setidaknya untuk memberi ketenangan.

Selain dekapan kak Aksa dan Ayah, dekapan kak Sean juga menjadi favorit ku. Dalam dekapannya aku merasakan kehangatan yang hampir mirip dengan kak Aksa.

"Ayo pulang. Aku janji, aku akan menyembuhkan luka ini. Kakak bantuin ya?"

"Semua orang membantumu Selin. Ayo, Gibran juga ada di rumah Bunda. Dia kelihatan khawatir tadi."

Aku menggandeng tangan kak Sean, dan kami berjalan bersama menuju parkiran untuk segera kembali ke rumah Bunda. Kak Sean benar, sejatinya aku tidak sendiri di dunia ini. Ada keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat lainnya yang selalu mendukung dan menyemangati ku. Serta, Allah yang selalu ada dan menyertai disetiap jalan hidupku.

Juga, putri kami. Dia sangat membutuhkan Bundanya. Dan aku disini, akan menjadi Bunda sekaligus Ayah untuknya. Kelak saat dia beranjak remaja, akan aku ceritakan bagaimana sosok ayahnya yang sangat luar biasa.

Mengenai aku dan kak Gibran, ia memiliki niat baik yaitu menikahi ku. Sosoknya sudah sangat dekat dengan Sera, siapapun yang melihat pasti akan mengira bahwa mereka adalah sepasang ayah dan anak. Secara resmi, dia sudah memintaku pada Ayah, namun aku memintanya untuk sedikit memberi waktu agar aku dapat berpikir.

Bolehkah ku terima dia kak? Dirinya hampir mirip dengan mu. Aku tahu, aku tidak boleh menyamakan mu dengannya. Tapi kalian terlihat begitu sama. Izinkan aku untuk menyembuhkan luka ini ya? Aku tidak akan pernah melupakan mu. Bagaimanapun juga, kamu adalah pria istimewa ku. Aku janji akan segera sembuh dan kembali ke sini dengan dia agar kau dapat mengenalnya. Kak Gibran pria yang baik.

Aksara Langit Muhammad, terima kasih atas segala cinta, usaha, kasih sayang, dan perjuangan yang telah kamu beri saat sebelum maupun sesudah kita bersama. Aku tidak akan pernah melupakan sosok indah mu. Aku tidak pernah menyesal telah mengenal mu, beristirahatlah. Aku akan menjaga anak kita di sini. Tunggu kami ya kak.

- Istrimu, Selin Hasya

Ikuti tulisan menarik Sekar Tanjung Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler