x

Suasana Kota Tua di malam hari (Foto: Instagram \x40iyan_93)

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 5 Agustus 2022 14:50 WIB

Jakarta dan Cinta

Seseorang memberitahumu, tepat sebelum kamu pergi, untuk berhati-hati terhadap Jakarta. Yang suram. Tak membantu menghadapi serangan terbaru suasana hati hitam yang kamu rasakan. Ingatanmu terlontar ke hari melihat gerhana matahari ketika berusia tiga belas, burung-burung pergi ke peraduan saat hari tiba-tiba padam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(1)

Seseorang memberitahumu—tepat sebelum kamu berangkat—untuk berhati-hati terhadap Jakarta. Yang sungguh suram. Tak membantumu menghadapi serangan terbaru kelamnya suasana hati yang kamu rasakan. Ingatanmu terlontar ke hari melihat gerhana matahari ketika berusia tiga belas, burung-burung pergi ke peraduan saat hari tiba-tiba padam.

Seperti juga burung, masalahmu adalah kamu percaya bahwa kegelapan sementara. Padahal, abadi selamanya. Kamu dengan patuh menutup mata, menutup hati, berpura-pura mati. Kamu membangun rumah di sana dan benar-benar percaya bahwa tidak ada jalan untuk kembali. Maka kamu mulai merasa gugup tentang Jakarta. Mungkin sebaiknya kamu tidak pergi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

(2)

Kamu baru berada di Jakarta selama satu setengah hari dan Jakarta sudah merasuk di pembuluh darahmu. Seperti si pandir malang yang baru jatuh cinta, kamu berpikir bahwa setiap fitur Jakarta, setiap lekuk likunya, hanya untukmu. Cintamu terasa sangat dalam dan sangat benar adanya. Kamu menyukai cara seluruh kota bergerak seperti topografi hibriditas, perkotaan alam, mekanis yang tak dapat dibedakan dari organik.

Cintamu juga dangkal. Kamu suka bahwa kamu bisa merokok di tempat-tempat khusus perokok dan naik angkot Jaklingko nyaris gratis. Jakarta tak menginginkan apa pun darimu. Jakarta hanya memberi.

 

(3)

Saat kamu berdiri di plasa Kota Tua, Kamu menyadari bahwa Jakarta memiliki pendekatan yang kuat dan sehat terhadap rasa sakit historisnya. Dia memahami tentang memar masa lalu dan bahwa tanda-tanda itu tidak akan memudar.

Mencoba untuk menutupinya adalah trik penyangkalan yang tidak efektif dan tak menghilangkan daya magisnya. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menggunakan memori untuk memberikan kedalaman dan bobot pada kekinian. Jadi di Museum Sejarah, kamu tidak hanya melihat sekumpulan lukisan di dinding dan diorama miniatur beku. Kamu sedang melihat reklamasi ruang literal dan metaforis yang pernah dengan kejam mengamputasi kota. Hal yang tidak dapat dilupakan, tetapi Jakarta tahu bahwa harus ada cara untuk tumbuh kembang di seputar masa lalu, untuk tidak melupakannya, tetapi untuk memilikinya dan menggunakannya. Selalu. Untuk tumbuh.

Perlawanan pribumi dan pesta dekaden tentara penjajah dengan seragam dan bendera mereka. Senyum mereka, olok-olok mereka dengan para pelancong, lalu lintas yang mengalir bebas di sekitar mereka, semua ini adalah kutipan subversif dari penindasan yang pernah diwujudkan tempat ini. Merujuk pada Jakarta, tetapi tidak tunduk pada kekuatan diskursifnya. Kota Tua, seperti sekarang ini, adalah tempat pengakuan tetapi juga perlawanan, mengubah kekuatan yang dipegang sebelumnya melawan dirinya sendiri untuk menghasilkan makna baru. Bukan penyangkalan tapi penandaan ulang. Selalu. Untuk tumbuh.

 

(4)

Teman gaulmu membawamu ke taman hiburan yang terbengkalai di pinggir Jakarta, yang dijaga ketat oleh banyak penjaga. Tentu saja, hanya membuatnya lebih menggoda. Selalu ada dorongan untuk memencet tombol 'jangan ditekan', untuk menutupi area terlarang dengan jejak kakimu. Saat kamu mencoba menyelinap melewati mereka, pacar temanmu berbisik padanya untuk 'melipat lutut!' karena dia tidak tahu kata 'jongkok'.

Bahasa setipis kertas pembungkus kacang goreng rebus mengungkapkan dirinya dalam momen komik itu, dan kamu diingatkan bahwa ada lebih banyak cara berkomunikasi daripada kata-kata. Dan tempat itu lebih dari sekadar kata-kata. Seperti mainan masa kanak-kanak yang usang dan sudah lama ditinggalkan oleh seseorang, teronggok berdebu di sudut gudang, sekarang hanya tersisa gema riang dan sensasi yang samar dalam kenang.

Seperti semua hal lain di Jakarta, ini adalah tempat yang kamu pikir kamu tahu, dan dibayangkan kembali. Dan itu adalah pengingat bahwa waktu dapat meninggalkan luka. Kemudian kamu mengetahui bahwa segera, taman itu akan dibuka untuk umum lagi karena video viral di media sosial dengan seribu komentar. Tidak ada yang tidak mungkin, kecuali liang ular dan tikus got yang mengancam keselamatan.

 

(5)

Cinta tidak pernah benar-benar baru. Cinta hanya bisa menjadi transposisi, hantu ketidakpastian melayang di atas cinta sebelumnya. Hanya ada dalam paralelisme dengan apa yang datang sebelumnya.

Jadi cintamu untuk Jakarta mengingatkanmu bahwa masa lalu mungkin memar, tetapi seluruh kota, seluruh cinta, telah dibangun kembali di atas luka. Bahwa tidak ada rasa sakit yang begitu hebat sehingga menyerah atau berpura-pura mati bisa dibenarkan. Hidup tetap keniscayaan. Dan hidupmu bersinar terang dengan sejuta cahaya kebolehjadian.

 

Bandung, 5 Agustus 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler