x

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Senin, 6 Maret 2023 20:26 WIB

Lustitium dan Sejarah Lahirnya Intelijen

Dalam kekuasaan yang kosong, hukum seringkali tidak berlaku. Dibutuhkan banyak pengetahuan untuk mengambil keputusan. Prioritasnya adalah ketepatan waktu dan relevansinya, bukan detail dan keakuratannya. Intelijen bekerja dalam situasi kedaruratan permanen. Ia tak masuk dalam criminal justice system mana pun. Sebab semua peraturan perundang-undangan selalu terlambat satu langkah dalam menangkap realitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap orang pasti mempunyai film favorit. Untuk saya, itu adalah serial trilogi Lord of the Rings. Sebuah masterpiece dari produser kenamaan Peter Jackson ini berhasil secara runtut menggambarkan alur cerita dalam novel karangan sang maestro J.R.R Tolkien.

Novel tersebut ditulis karena Tolkien yang seorang profesor di bidang filologi menciptakan bahasa baru–Quenya dan Sindarin, lalu berpikir bahwa bahasa tersebut butuh latar belakang cerita. Dan voila! Terciptalah kisah-kisah roman nan heroik di tanah Middle Earth yang melegenda.

Dari film tersebut kita mengenal sosok Aragorn, putra dari raja Arathorn, pewaris sah tahta kerajaan Gondor yang akhirnya kembali. Diceritakan bahwa Gondor sebelumnya mengalami kekosongan pemimpin selama 968 tahun sejak Raja Earnur menghilang. Dalam bahasa Romawi kondisi ini disebut interregnum (inter : di antara, regnum: reign, raja, kekuasaan).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Interregnum dan Iustitium

Interregnum adalah kondisi kosongnya kekuasaan di suatu periode transisi ketika kekuasaan berganti. Kondisi seperti ini muncul ketika pergantian kekuasaan tidak berjalan mulus, misalnya dengan adanya revolusi. Dalam kekuasaan yang kosong tersebut, hukum seringkali tidak berlaku.

Keadaan di mana hukum untuk sementara tidak berlaku disebut Iustitium. Sekarang ini makna Iustitium diperluas tidak hanya yang terjadi dalam pergantian kekuasaan tetapi juga menunjukkan situasi diberlakukannya pembekuan hukum dengan sengaja –kondisi di mana hukum tidak berlaku karena suatu sebab yang darurat. Sejalan dengan makna adagium neccecitas non habet legem yaitu kedaruratan tidak mengenal hukum.

Filsafat Intelijen

Dalam bukunya yang berjudul Filsafat Intelijen, A.M Hendropriyono berusaha mengawinkan antara pengetahuan-teoritis khas filsafat dan kelihaian-praktis khas intelijen. Kedua hal tersebut berhubungan erat dan hubungan itu dapat disajikan dengan apik oleh sang penulis. Selain itu, buku tersebut juga menjelaskan alasan mengapa intelijen ada di luar hukum.

Intelijen berasal dari kata intelligence yang berarti kecerdasan. Dalam melakukan tugasnya, seorang personel intelijen dituntut untuk cerdas terutama dalam mengambil keputusan. Dibutuhkan tidak sedikit pengetahuan untuk mengambil keputusan yang memprioritaskan ketepatan waktu dan relevansinya, bukan detail dan keakuratannya. Sedangkan falsafat adalah induk dari segala pengetahuan.

Hanya dengan ketajaman filosofis, realitas dapat ditangkap apa-adanya. Tanpa pemikiran filosofis yang tajam, operasi intelijen akan kehilangan arah. Menurut Hendropriyono, ada 7 hal yang membuat seorang personel intelijen kehilangan arah yaitu:

 

  1. Fallacies, yang dicontohkan dalam buku tersebut adalah ad hominem, yaitu fokus kepada siapa yang mengatakan, bukan apa yang dikatakan. Misalnya pendapat yang menyatakan: Dia pasti benar karena dia adalah seorang presiden.

  2. Bandwagon, sikap latah yang mengikuti tren dan opini publik. Tidak berani menentang arus karena sendirian.

  3. Hasty Generalization, penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa. Target yang keluar dari sebuah rumah sakit tidak berarti sedang sakit. Ada kemungkinan bahwa target tersebut sedang menjenguk kerabat atau malah merupakan pegawai rumah sakit.

  4. Post Hoc bukan Propter Hoc, kesimpulan yang salah karena menganggap A merupakan sebab terjadinya B karena A semata-mata terjadi lebih dahulu, tanpa melihat korelasi antara A dan B.

  5. False Dichotomy, memaksa penarikan kesimpulan untuk memilih satu di antara dua opsi tanpa melihat bahwa masih terdapat banyak opsi lain. Misalnya, kalau dia bukan seorang Nasionalis, pasti dia seorang PKI.

  6. Circular Reasoning, meletakkan sebab sebagai akibat dan sebaliknya. Misalnya kalimat: Penting untuk membawa senjata saat operasi lapangan karena membawa senjata itu penting.

  7. Red Herring, terperangkap pada petunjuk palsu yang sengaja ditinggalkan oleh lawan sehingga kesimpulan menjadi menyesatkan (misleading).

Namun, satu pengetahuan yang utama dalam melakukan operasi intelijen yang harus diketahui oleh seluruh personel adalah bahwa tujuan intelijen menginduk kepada tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, bukan menginduk kepada hukum yang berlaku.

Intelijen di Luar Hukum

Karena intelijen tidak bergerak sesuai ketentuan hukum yang berlaku, intelijen bukanlah operasi penegakkan hukum yang sibuk bergumul dengan bukti-bukti, data dan informasi yang telah terverifikasi sebelum menentukan apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau tidak. Karena walaupun akurasi itu penting, di dunia intelijen kecepatan jauh lebih penting.

Oleh karena itu, kerja intelijen yang demikian tidak dapat serta merta dipayungi oleh criminal justice system. Intelijen bekerja dalam situasi kedaruratan permanen yang tidak diandaikan oleh criminal justice system mana pun. Hal ini disebabkan karena semua peraturan perundang-undangan selalu terlambat satu langkah dalam menangkap realitas. Dalam konteks kedaruratan, tentu diperlukan sebuah iustitium, suatu keputusan cepat yang tidak menunggu eksekusi hukum dan bukan pula sedang melanggarnya. Iustitium menciptakan kondisi di mana tatanan sosial dan hukum untuk sementara tidak berlaku.

Kasus pertama dari penggunaan iustitium adalah ketika Roma diserang bukan oleh kota lain, tetapi oleh pemberontak yang secara administrasi merupakan warga sendiri. Sementara undang-undang yang berlaku pada saat itu melarang pembunuhan sesama warga negara. Maka kaisar menetapkan Iustitium, sebuah kondisi darurat untuk melawan pemberontak –termasuk dengan membunuh sesama warga negara— dan di rentang waktu tersebut hukum untuk sementara dibekukan. Hasilnya, pemberontakan dihentikan dan Roma kembali distabilkan.

Dalam kondisi darurat, hukum memang terpaksa harus dibekukan. Jika tidak, maka akan terjadi kekacauan. Masyarakat akan kebingungan dan tidak tahu harus bagaimana dalam merespons suatu ancaman yang muncul. Dalam kondisi darurat semacam itu, negara harus diposisikan sebagai pihak yang terancam. Negara yang diposisikan dalam keadaan terancam seperti inilah yang akhirnya melahirkan intelijen.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler