Opera Belati

Rabu, 20 Desember 2023 19:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lagi sebuah cerpen Opera Belati. Panorama imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.

Sebuah rumah sahabat. Ketukan pintu, tak ada jawaban. Bayang-bayang melintas cepat, sekelebat berkelebat. Aku sedang tidak ingin berdebat tentang apapun, termasuk politik hipnosis kenduri, kau paham. Hentikan permainanmu. Semakin terasa ruangan menghimpit oksigen, sesak bernapas.

Waktu kita tak cukup bermain, sedang berjalan menguntit semua hal hidup, kerbau tulipun dikuntit sistem, udara sudah tak sehat. Sampai kapan bertahan permainan kocok dadu macam begini. Korban berjatuhan, meski perang belum dimulai. Hibernasi musim gagap sampai dalam kepala kucing garong sekalipun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak perlu kau bungkam akibat ketakutanmu pada seekor lalat sekalipun, moral macam mana kau pilih kalau segala hal terhitung algoritme numerik. Kau lupa sistem setepat apapun ada ambang batas kadaluarsa. Bolong di dalam bocor akibatnya, tak ubahnya hipotesis telur ayam berubah dalam waktu singkat menjadi antitesis telur bebek.

Kau pikir mudah menelan ludah sendiri, tanpa diketahui tuhan sekalipun, oral-isme memamah biak tinggal menunggu melemahkan diri sendiri, secara bulat semakin bulat lalu meledak lantas musnah, tergilas musim dalam asumsi kesertaan pikiran tak waras, sangat mudah membedakan makhluk jejadian atau siluman asli.

Tak perlu menimbang alternatif kontekstual atau bukan, realitas bergulir kehendak ambang lini masa garis setengah badan, sekaligus berubah memaki diri, berteriak kecewa kian kemari setelah mereguk tuak surgawi transisi sulit dibedakan, kecewa, amarah, viral di nurani, amuk tak bertuan menulis di laman pesan singkat.

Kalau tak juga kau hentikan trik macam itu, kau akan menelan lidahmu sendiri, maka terpaksa perlawanan membuncah menembus alibi telah kau buat sendiri untuk tidak melakukan perlawanan, kau malu ya, lalu mengapa sekian tahun lampau kau mencuci kakinya bagai berhala kristal, sembari menulis nasibmu di dunia pertikaian dirimu.

Sekarang kita jumpa lagi kawan dalam keadaan masing-masing bebeda, kau tak lagi ditemani kelompok sektarian kampiunmu jumlahnya sulit dihitung kalkulator. "Hah!" Lengkapkan pertarungan. Jangan cengeng menulis menu di media sosial, berkabar kekecewaanmu. "Hah!" Mengapa ketika lampau kau mau disuapi sampah ke mulutmu.

Ini musim halilintar, waktunya kita bertarung secara terbuka. Siapa pujangga piawai, siapa si pandir mengutip kata di balik koma, saling melempar hamburger, ketika dulu menjadi menu makanan utama, kini seolah-olah kau, telah terjebak masa lampau bergelimang ratna mutu manikam. Alamak, kau si pandir tak punya malu.

"Lepaskan belati dari sangkarnya." Jangan diam seperti tak waras tapi ngoceh laiknya maling kesiangan, setelah melewati masa kemapanan hidupmu. "Tarik  belatimu." Pertarungan tak bisa menunda alasan paling klise di isme badak sekalipun. Menggeram, dalam satu lompatan cepat belati menancap di ubun-ubun masing-masing. "Zleb!"

 ***

Jakarta Indonesiana, Desember 20, 2023.
Salam NKRI Pancasila, banyak hari baik setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Eskrim Pop Up (37)

Rabu, 16 Oktober 2024 13:31 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua