x

Photo Tempo.com

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Kamis, 21 Desember 2023 19:10 WIB

Opera Merah

Panorama imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak ada pilihan. Kalau terdesak aku musnahkan. Bagaimana mungkin kejahatan itu dilakukan para satria. Adik kandungnya dipermalukan sekeji itu. "Kakak jangan ada pembalasan. Kakak janji di pusara ibu, tidak ada lagi kelanjutan peperangan. Selesai sejak kakak mengubur senjata sakti itu. Perang saudara baru reda."

Tak ada jawaban apapun. Tidak ada kata bergulir, dalam kalimat-tidak. Padahal dia baru menyelesaikan beberapa nyawa satria hitam sekaligus. Pemangku kebijakan pemerhati peristiwa dari kahyangan mengamati secara saksama. Pembunuhan para satria berhati hitam membatu barangkali kebenaran baru, tumpas keonaran. 

Sejumlah kelicikan para satria hitam permainan parodi di balik layar kalibut hipokrisi. Praduga bukan penyelesaian dalam aturan permainan kejahatan dalam diam. Perubahan warna langit penentukan nasib para satria hitam layak hidup atau tidak. Gelombang lautan memberi isyarat, pernyataan dukungan tak ubahnya tsunami.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gelegar petir menghantam menyala api pertempuran, bukan Maharesi kalau ia tak mampu menanggulangi segala bentuk ilmu gerombolan satria hitam berhati batu kejam selangit pembuat onar jagat. Badai perubahan percepatan tempur mengubah purnama menjadi gerhana berdarah, amuk melewati ambang batas.

Tumpah magma gunung-gunung berapi melibas gerombolan satria jahat mereka terus menerus berdatangan memburu bagai gelombang dahsyat melawan badai puting beliung. Maharesi mengibaskan senjata sakti terus menerus, porak poranda segala bentuk konfigurasi serangan lawan. Bumi berguncang menggelegar.

Lagu setan menyukai angka-angka angkara murka berkumandang mendukung semangat kekacauan para satria hitam semakin berdatangan gelombang pasukan lawan. Maharesi terus terdesak, jika ia tak segera merubah diri pecah berkeping menjadi jumlah tak terhingga dipastikan kalah dalam pertempuran itu.

Di puncak kesaktiannya Maharesi membaca mantra metal orchestra dalam format kitab sakti heavy metal. Gelegar gelombang timpani elektrik menghajar mundur tubuh-tubuh para satria hitam, lebur jadi bubur. Maharesi berhasil memusnahkan satria hitam amoral pembuat onar jagat buana.

"Kakak tidak seharusnya sekejam mereka," suara lembut adik kandungnya meluluhkan hati Maharesi.
"Kakakmu berjanji, bersedia kalah oleh satria murni maha suci," suara Maharesi singkat.

Rembulam melukis malam dalam kisah-kasih insan kamil. Jagat raya tenteram indah berseri, damai di hati, tak ada lagi pertikaian dalam bentuk apapun, sejak peristiwa kitab metal orchestra. Hingga tiba waktunya kabar datang di pelataran pertapaan Maharesi. Adiknya meminta Maharesi menepati janjinya untuk takluk pada satria suci.

Telah lahir di belahan Bumi Timur satria suci atas kehendak alam raya. Tumbuh dewasa secepat suara, keren, gagah tidak sombong rendah hati tubuhnya bersinar kristal. Maharesi sendirian mendatangi kediaman satria suci bijaksana, menantang satria itu adu sakti sebagaimana kehendak satria itu jika bersedia. 

Sang satria menolak menghaturkan sembah sungkem, meminta Maharesi untuk tidak melakukan tindakan adu sakti. "Mohon ampun Maharesi, hamba hanyalah manusia biasa sederhana tak mempunyai kesaktian apapun. Ampuni hamba."

"Enak aja. Tidak bisa. Kau harus kalahkan aku," suaranya galak menggelegar "Aku mendesakmu orang muda dengan satu syarat."
"Hormat hamba Maharesi. Apa syaratnya," dengan suara teramat santun.
"Kalau kamu berhasil merebut senjata sakti ini dari tanganku. Maka aku berhak mati di tanganmu tanpa perlawanan." Satria suci itu bersedia memenuhi tantangan Maharesi.
 
Maharesi bersiap menghimpun kekuatan sakti sepenuh jiwa. Keduanya berhadapan di puncak gunung tertinggi kala itu. Langit berubah terang temarang matahari dadakkan sejuk. Satria suci merebut senjata sakti dari tangan Maharesi secara amat mudah. Seketika itu, Maharesi moksa. Cahaya merah menuju langit. 

Suluk akhir kisah

Bumi gonjang ganjing
Langit jungkir balik
Koruptor tetap cuek
tak jua takut, tetap 
jahat jadi pencuri.

Walahkadalah.

***

Jakarta Indonesiana, Desember 21, 2023.
Salam NKRI Pancasila, banyak hari baik setiap hari.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler