Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Salah satu dari 9 masalah fundamental bangsa Indonesia adalah kerapuhan kemandirian pangan, dengan impor gandum, beras, kedel, jagung, susu dsb, menelan devisa besar US$ 8,33 miliar setara Rp 100 triliun/tahun.Untuk menjembatani kondisi pangan nasional yang tertera di Neraca Pembayaran Indonesia dengan kondisi ketersediaan pangan per provinsi guna optimasi logistik pangan, sangatlah tepat apabila dapat disusun Neraca Pangan tiap provinsi yakni, “laporan atau catatan sistematik tentang keseimbangan antara produksi komoditi pangan terhadap konsumsi (kebutuhan) dalam kurun waktu satu tahun”. Catatan Neraca Pangan yang menerus, bermanfaat memberi gambaran ketersediaan pangan apakah surplus atau deficit secara periodik dari tahun ke tahun. Struktur Neraca Pangan (komoditi tertentu): Produksi – Konsumsi (Kebutuhan) = Ketersediaan (surpus atau defisit) = Ekspor atau Impor.adanya Neraca Pangan tiap provinsi yaitu untuk membantu Pemerintah Pusat dan tiap Pemda Provinsi guna mengambil keputusan dalam penyusunan program pembangunan pertanian pangan yang lebih tepat pada masa mendatang. Tulisan ini memberi contoh penyusunan RPJP 20 tahun infrastruktur irigasi untuk Provinsi Maluku. Di akhir tulisan disarankan Bappenas dan K/L terkait menyusun perumusan Pengembangan Irigasi RPJP 2024-2045 dengan sasaran surplus produksi beras untuk ekspor dan substitusi impor gandum pakan ternak. Sebagai referensi dapat digunakan studi serupa yang pernah dilakukann di Indonesia.
Kebijakan impor pangan yang ugal-ugalan diduga untuk mengejar rente oleh pejabat dan pengusaha. Tapi akibatnya, petani makin miskin dan rakyat menderita
Problematik pengeloaan impor pangan patut dipertanyakan, karena di beberapa wilayah Indonesia justru surplus, lantas mengapa pemerintah impor pangan?
Jokowi tidak kunjung memecat Enggar yang kebijakan impor pangannya sangat merugikan rakyat. Apakah karena dia tersandera persyaratan PT?