Salah satu dari sembilan masalah fundamental multi dimensi bangsa Indonesia adalah sangat lemah kemandirian /ketahanan pangan nasional. Besar sekali volume impor berbagai jenis bahan pangan tahunan (gandum > 11 juta ton, beras 0,5 – 1,5 juta ton, jagung 3 juta ton, kedele, bawang putih, buah-buahan, gula, garam, daging sapi, ayam ras, susu segar 80 % - 2,8 juta ton, dsb). Hitungan rerata tahun 2010 s/d 2017 impor bahan pangan telah menguras devisa US $ 8,33 miliar setara Rp 100 trilliun per tahun.
Data impor bahan pangan tersebut tertera dalam arus masuk pada Neraca Pembayaran, yaitu catatan yang sistematik tentang transaksi ekonomi internasional antara penduduk Indonesia dengan penduduk Negara lain. Kita paham, Neraca Pembayaran adalah keseimbangan antara arus masuk dan arus keluar transaksi, yang apabila dijumlah biasanya akan menunjukkan ketidakseimbangan yang akan menghasilkan apa yang disebut: surplus dan deficit neraca pembayaran.
Untuk menjembatani kondisi pangan nasional yang tertera di Neraca Pembayaran Indonesia dengan kondisi ketersediaan pangan per provinsi guna optimasi logistik pangan, sangatlah tepat apabila dapat disusun Neraca Pangan tiap provinsi yakni “Laporan atau catatan sistematik tentang keseimbangan antara produksi komoditi pangan terhadap konsumsi (kebutuhan) dalam kurun waktu satu tahun”. Catatan Neraca Pangan yang menerus, bermanfaat memberi gambaran ketersediaan pangan apakah surplus atau deficit secara periodik dari tahun ke tahun, baik secara historik maupun futuristik.
Struktur Neraca Pangan (komoditi tertentu): Produksi – Konsumsi (Kebutuhan) = Ketersediaan (surpus atau defisit) = Ekspor atau Impor
Lebih jauh, dalam menyusun sebuah neraca pangan, Dolog dan pemda provinsi juga harus memastikan bahwa ada hubungan timbal balik yang menunjukkan keseimbangan antara produksi dengan kebutuhan dan modal sumber daya pertanian pangan yang tersedia di suatu provinsi. Dengan demikian mengacu pada besarnya kekurangan/defisit atau kelebihan/surplus pangan dikaitkan modal sumber daya pertanian pangan yang tersedia, akan memberikan gambaran bagaimana kinerja Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Pusat dalam mengelola asset produksi pangan yang dimiliki tiap provinsi dan nasional.
Dari uraian di atas dapat terlihat tujuan adanya Neraca Pangan tiap provinsi yaitu untuk membantu Pemerintah Pusat dan tiap Pemda Provinsi guna mengambil keputusan dalam penyusunan program pembangunan pertanian pangan yang lebih tepat pada masa mendatang (jangka panjang).
Sebagai contoh, cara menyusun program pembangunan pertanian pangan beras jangka panjang 20 tahun ke depan provinsi Maluku (Data diolah dari Satgas Ketahanan Pangan Maluku dan BPS). Kondisi 2020 jumlah penduduk 1.800.000 orang, proyeksi penduduk 2025= 1.900.000, 2030 = 1990.000, 2035= 2.070.000 orang, dan 2040= 2.140.000 orang. Konsumsi beras rata-rata 75 kg/kap/th. Luas daerah irigasi (DI) eksisting 24.242 Ha, Padi ladang 1852 ha. Intensitas Pertanaman (IP) untuk DI = 1,35 / th. Hasil panen (yield) 3.5 ton/ha/panen; padi ladang hasil panen 1,3 ton/ha/th. Ke depan bila diterapkan Modernisasi Pertanian Beririgasi, pastilah IP/th dan Yield/ha bisa dinaikkan secara siknifikan (Saatnya Modernisasi Pertanian Beririgasi untuk Capai Surplus Produksi Beras” oleh Napitupulu Na07)
Neraca beras Provinsi Maluku tahun 2020:
Produksi: Padi = (Luas Sawah DI + Luas Padi Ladang) x Intensitas Tanam/th x Hasil /ha/tanam = (24.242 ha x 1,35 /th x 3.5 ton/ha) + (1852 x 1/th x 1,3 ton/ha) = 114.543,45 ton + 2407,6 = 116.951,05 ton/th. Produksi dalam beras dengan rendemen 0,6 = 70.170,63 ton beras / tahun
Konsumsi = Jumlah penduduk x konsumsi/kap/th = 1.800.000 x 75 kg/kap/th = 135.000 ton/th
Neraca Beras 2020: 70.170,63 ton – 135.000 ton = - 64.829,37 dibulatkan 65.000 ton Defisit (Kekurangan) / tahun atau 5402 ton beras per bulan. Kalau harga beras per ton Rp 5 juta maka Pemda provinsi Maluku harus mengeluarkan Dana 65.000 ton beras x Rp 5. Juta / ton = Rp 325 miliar / tahun
Proyeksi Kebutuhan infrastruktur Pertanian Beririgasi untuk 20 tahun ke depan (RPJP II Maluku), dapat dilihat dalam tabel berikut.
No |
Tahun Proyeksi |
Jumlah Penduduk |
Konsumsi Beras (ton) |
Keb. Produksi Gabah Kering (ton) |
Keb. Areal Pertanian Beirigasi |
||
IP/th |
Yield ton/ha |
Ha |
|||||
|
|
|
|
(1) |
(2) |
(3) |
(4)=(1)/(2)/(3) |
1. 2. 3. 4. 5 |
2020 2025 2030 2035 2040 |
1.800.000,- 1.900.000,- 1.990.000,- 2.070.000,- 2.140.000,- |
135.000 142.500 149.250 155.250 160.500 |
225.000 237.500 248.750 258.750 267.500 |
1.35 1,4 1,45 1,5 1,55 |
3,5 3,55 3,65 3,8 4,0 |
47.620 47.787 47.000 45.395 43.100 |
|
Untuk penyederhanaan hitungan padi ladang tidak masuk. |
Untuk Provinsi Maluku dari kondisi Neraca Beras 2020 dan proyeksi 20 tahun ke depan tersebut di atas dapat disampaikan beberapa poin penting berikut: (i) Kondisi sekarang 2020 Provinsi Maluku Neraca Berasnya deficit 65.000 ton setara PDB Rp 325 miliar. (ii) Seandainya tersedia lahan dan sumber air yang potensial seyogianya Provinsi Maluku perlu diberi prioritas pengembangan irigasi baru dengan luas mencapai swasembada beras adalah 47.620 ha – 24242 ha = 23.000 ha. (iii) Kalau kapasitas konstruksi bisa 2.300 ha per tahun maka 12 tahun ke depan bisa swasembada beras. (iv) Pulau-pulau kecil terpecil dengan penduduk relative sedikit alternative pangan setempat perlu dikembangkan untuk mengurangi konsumsi beras mengingat biaya logistiknya besar.
Apabila semua provinsi sudah mencatat neraca beras secara teratur, bersama dengan neraca beras nasional akan dapat dirumuskan proyeksi dan strategi penyediaan kebutuhan infrastruktur pertanian beririgasi yang lebih tepat di masing-masing provinsi sejalan dengan kondisi neraca beras yang diinginkan dan potensi sumber daya lahan dan air yang tersedia setempat.
Selanjutnya bagaimana dengan Perumusan Pengembangan Irigasi RPJP II 2025-2044 guna mencapai target sasaran swasembada beras dan jika mungkin surplus untuk ekspor beras atau substitusi impor gandum pakan ternak? Untuk itu disarankan agar Bappenas bersama K/L terkait dengan nara sumber masing-masing Pemda provinsi, dapat memerakarsai upaya studi tersebut dengan menggunakan referensi dua kegiatan serupa yang pernah dilakukan yaitu (i) “The Study for Formulation of Irrigation Development Program in the Republic of Indonesia” bantuan JICA 1993. (ii) “Assessment of Option for Sustainable Irrigation Development in Indonesia” ADB TA 2679-INO tahun 1998. Waktunya sangat tepat, kiranya masukan ini bermanfaat. Sekian
Ikuti tulisan menarik Napitupulu Na07 lainnya di sini.