x
perlindungan perempuan
Oleh: honing

Selasa, 7 April 2020 09:06 WIB

Terlalu Sulit Menjadi Perempuan

Seorang pemikir perancis bernama Jacques Rousseau pernah berkata: “Manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.” Kira-kira begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara. Di penjara oleh apa? dipenjara oleh sistem kolot yg ingin mendominasi. Jadi musuh utama perempuan adalah mental patriarki. Apa itu mental patriarki? mental patriarki adalah mental yang menindas perempuan dengan menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan secara bodoh dan serampangan. Mental ini seringkali dibiarkan dan akhirnya semacam menjadi sistem sosial yang di legalkan. Dalam kebudayaan kita, sistem ini begitu halus sehingga sebagian perempuan pun tidak merasakannnya. Jadi untuk menjelaskan hal ini, saya punya satu contoh cerita dalam keluarga saya. Ceritanya begini: Saya punya seorang sepupu (laki-laki) yang seusai tamat SMA, ia kembali ke kampung. Disana ia menikah dengan seorang perempuan yg ia kenal saat berkunjung ke sebuah kecamatan. Keluarga akhirnya berkumpul untuk melangsungkan acara adat (Masok minta). Setelah itu mereka akhirnya dikarunia 3 orang anak. Dalam beberapa tahun, keluarga kecil mereka baik-baik saja. Hanya saja, semua berubah saat sepupu saya mulai bekerja di kantor koperasi. Ia sering kali keluar ke beberapa kecamatan untuk menagih utang. Karna pekerjaan inilah, saudara saya akhirnya bertemu dan berkenalan dengan perempuan lain. Setelah berkenalan, kehidupan keluarga mereka berubah. Sepupu saya sering marah-marah dan memukul istrinya. Ia pun menyuruh istrinya untuk meninggalkan rumah mereka. Beberapa bulan kemudian, sepupu saya mulai membawa perempuan yang ia kenal ke rumah mereka. Ia kenalkan perempuan baru ini kepada ayah dan ibunya. Istri sah-nya yang memiliki 3 orang anak ini hanya bisa menangis. ia tidak tau harus mengadu kemana. Ia pun malu dan bingung karna sudah diusir oleh suaminya. Jika ia memilih untuk tetap bertahan, ia sudah tidak dianggap lagi. Sedangkan kalau dia memilih untuk meninggalkan suaminya, bagaimana dengan tiga orang buah hatinya. Oh iya, dalam bahasa daerah kita (bahasa dawan) , diceraikan biasa disebut dengan mpoli. Mpoli artinya diceraikan/dibuang/ditinggalkan. Sungguh, ini adalah sebuah kata yang justru semakin mendiskrimanasi seorang perempuan. Lanjut soal cerita diatas. Singkat cerita, istri sah dari sepupu saya ini akhirnya memilih meninggalkan suaminya. Ia membawa tiga orang anaknya kembali ke orang tuanya. Sesampainya dikeluarganya, 3 orang anaknya ia titipkan kepada kedua orang tuanya, lalu beberapa bulan kemudian ia memilih menjadi TKW di Malaysia. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi sekitar 5 tahun lalu. Dalm tulisan ini, saya hanya mau mengajak kita untuk coba memikirkan masalah-masalah seperti ini dari sudut pandang perempuan. Coba bayangkan, sudah punya 3 orang anak lalu suaminya memilih bersama perempuan lain. Pertanyaan yang muncul setelah ini adalah bagaimana nasip 3 orang anak tersebut yg akan tumbuh dan besar tanpa kasih sayang orang tua? lalu coba kita pikirkan perasaan seorang perempuan yang diceraikan dan diperlakukan seolah tidak berharga. Bayangkan, laki-laki yang adalah sepupu saya, membawa perempuan lain ke rumah mereka. Kebetulan selama ini mereka tinggal dirumah tua atau tinggal bersama orang tua laki-laki. Salah satu hal yang membuat saya tidak bisa bayangkan adalah saat diceraikan, diusir dari rumah, bagaimana perasaan perempuan tersebut? Ia harus malu pada keluarga laki-laki, juga malu pada orang kampung yang sudah mengnggap rendah perempuan yang telah di ceraikan. Dalam kondisi seperti itu, tentunya perempuan akan depresi, dan sangat rentan pada banyak masalah-masalah sosial lainnya. Cerita seperti yang terjadi diatas sangatlah banyak dalam kehidupan kita. Sayangnya, dalam masalah-masalah seperti itu sudah dianggap biasa dalam kebudayaan kita. Dalam banyak kasus, laki-laki bahkan tidak pernah disalahkan. Yang sering terjadi adalah perempuan yang dianggap tidak mampu memuaskan suami, tidak becus urus keluarga dan lain-lain. Cerita diatas hanya salah satu contoh saja bahwa dalam kebudayaan kita, masih tersembunyi sistem patriarki yang membuat posisi perempuan selalu berada dibawah. Untuk itu, kita perlu dengan jeli untuk mendeteksi hal-hal dalam kebudayaan kita, agar hal-hal seperti diatas bisa kita tolak dan kalau bisa kita hilangkan sistem patriarki ini. Untuk melawan hal itu, perempuanlah yang harus berani untuk bersuara dan melawan. Perempuan harus betul-betul mampu melihat setiap masalah yang terjadi dgn jernih. Ini penting agar tidak malah menyalahkan perempuan dengan cepat-cepat mendukung posisi laki-laki. Banyak berita yang kalau kita baca di berbagai media. Perempuan hanya disuruh mengurus anak dan masalah-masalah rumah tangga lainnya, sedangkan laki-laki bebas bepergian kemana pun. Saat anak kekurangan susu, laki-laki masih terus santai dengan menarik rokok tanpa henti. Jika ada masalah dalam rumah tangga, perempuanlah yang akhirnya dikorbankan. Kalau perempuan dikorbankan, makan anak juga ikut dikorbankan. Selanjutnya, kita perlu menghilangkan sistem patriarki ini dengan mendidik anak laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan. Jangan menanam sistem patriarki pada anak laki-laki dengan membiarlan memukul saudara perempuannya, karna kalau tidak, ini akan terus terbawa sampai kelak ia berumah tangga. Kita semua memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar manusia menjadi penghuni rahim perempuan selama sembilan bulan. Disanalah kehidupan tercipta. Ketika pertama kali menginjak dunia, kita juga dibimbing oleh perempuan. Cara-cara hidup dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan. Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa kasih sayang perempuan, keluarga akan tersesat di jalan. Sayangnya, hampir di seluruh penjuru dunia, perempuan dipenjara. Budayalah yang memenjarakannya. Masyarakat menjajahnya. Perempuan memberi, namun ia tak pernah sungguh dihargai. Dia tak boleh belajar. Kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh bekerja. Seumur hidupnya, semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para laki-laki. Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan ini. Ia mesti sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Berbagai pilihan ada di tangannya. Kaum perempuan perlu sadar bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka. Mereka mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan oleh masyarakat. Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci perubahan sosial ada di dalam cara perempuan memandang dunianya. Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Sudah waktunya, dilema ini diakhiri. Kita perlu mendorong pembebasan kaum perempuan. Sekarang.

Oleh: honing

Selasa, 7 April 2020 07:27 WIB

Perbedaan Identitas kok Jadi masalah?

Terlalu banyak konflik di Indonesia terjadi karena perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama, sampai dengan pemikiran hampir setiap hari kita saksikan di berbagai media. Perbedaan ini seringkali dijadikan sebagai pembenaran untuk memupuk dendam, saling hujat, hingga saling menaklukan. Lingkaran kebencian dan dendam pun seakan berputar pada masalah identitas semacam ini. Sayangnya, kita tak pernah belajar dari berbagai konflik yang diakibatkan dari kesalahpahaman kita akan identitas ini. Kita punya setumpuk pengalaman akibat perbedaan identitas, mulai dari deskriminasi mayoritas terhadap minoritas, perpisahan sepasang kekasih akibat berbeda suku, hingga tawuran antar pelajar yang adalah contoh kongkrit dari kesalahpahaman kita akan identitas. Lantas apa itu identitas? dan kenapa perbedaan identitas selalu menjadi masalah? Identitas itu adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita. Label itu ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok atau komunitas tertentu. Nah, didunia ini ada beragam bentuk identitas atau label yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari organisasi, ras, agama, suku, negara, hingga gender. Lalu dari mana kita menerima label-label itu? Kita menerima label atau identitas itu dari tempat, keluarga atau komunitas dimana kita dilahirkan. Kita menerima label atau identitas ini sejak lahir tanpa diberi pilihan. Identitas itu pun bisa berubah kapan saja, jika diinginkan. Bahkan identitas diri sendiri seperti nama pun bisa kita ubah kapan saja. Bisa kita buatkan julukan, samaran dan sebagainya. Sekali lagi, semua itu dimungkinkan, jika kita mau. Hal itu sama dengan berbagai identitas lainnya, salah sagunya adalah agama. Siapapun bisa masuk ke agama tertentu, dan juga bisa keluar atau berpindah ke agama yang lain, jika diinginkan. Perubahan keyakinan atau agama itu sejatinya adalah suatu hal yang lumbrah dalam proses kehidupan ini. Bukankah kita semua sepakat bahwa dalam hidup ini semuanya berubah? bahkan kata orang, yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri. Masalahnya adalah, kita sering menyamakan dan melekatkan diri kita pada identitas sosial yang kita punya. Akhirnya banyak konflik terjadi akibat dari orang menyamakan dirinya dengan identitasnya. Kemelekatan akan identitas atau label ini menjangkit banyak kalangan tanpa kenal usia dan jabatan. Contoh dari kemelekatan seperti ini bisa kita temukan dimana saja. Banyak pembela agama yang berlagak melebihi Tuhan adalah hasil dari kesalahan mereka dalam memahami identitas. Mereka akhirnya begitu cepat tersinggung hanya karna menganggap agama sebagai diri mereka sendiri. Bahkan tak sesekali menafsirkan dan bertindak melebihi Tuhan itu sendiri. Para plitisi bermental feodal yang suka membangun politik dinasti adalah contoh lain dari kesalahan memahami identitas. Mereka menyamakan jabatan dengan dirinya, atau keluarganya sendiri. Akibatnya, saat kita mengkritisi posisinya sebagai kepala daerah, ia sangat mudah tersinggung karena merasa kita sedang menghina dirinya. Contoh lain dari kemelekatan seperti ini juga bisa kita temukan dalam hubungan (pacaran) kawan-kawan muda. Banyak yang saat masih berpacaran, sudah cepat-cepat menyamakan dan menganggap bahwa kekasihnya adalah miliknya. Padahal dalam hubungan berpacaran, semua bisa berubah kapan saja. Akhirnya, saat kekasihnya memutuskan hubungan atau berselingkuh, ia mengalami depresi yang sangat berat hingga bunuh diri hanya akibat dari kemelekatan semacam ini. Kemelekatan pada identitas atau label ini juga seringkali membuat kita sangat sensitif. Ketika salah satu label yang kita pegang itu dikritik, kita pun merasa terhina. Saat ada salah satu anggota dari komunitas (agama) kita berpindah keyakinan, kita pun menghujat karena merasa identitas kita tak dijaga atau tak diistimewakan. Tapi pada saat anggota dari komunitas yang lain masuk ke komunitas kita, kita justru merasa bangga. Tahun lalu, dalam sebuah seminar disalah satu kampus swasta di Surabaya. Salah seorang Dosen filsafat asal Surabaya, Rizal A Watimena, pernah berkata bahwa identitas itu punya dua karakter dasar, yakni kesementaraan dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya, sama dengan ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh. Saya sepakat dengan beliau, identitas itu sementara dan rapuh, karena ia bisa berubah kapan saja. Konsep-konsep identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, adalah ciptaan dari pikiran manusia. Karena ia adalah hasil ciptaan dari pikiran manusia, maka ia pun bisa kita ubah kapan saja, jika diinginkan. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, suku atau agama tertentu, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua label atau identitas tersebut, kalau ia mau. Semua ini penting untuk dipahami. Ini bukan berarti kita tidak membutuhkan label atau identitas dalam hidup. Tapi kita menjaga jarak dari identitas itu sendiri agar kita tidak terjebak dalam lingkaran kebencian, saling hujat, memuja fanatisme buta, atau jatuh pada diskriminasi yang justru kita langgengkan sendiri. Sudah saatnya kita sadar dan belajar bahwa banyak konflik di Indonesia ini terjadi bukan karna perbedaan identitas, tapi karna banyak orang salah memahami perbedaan identitas. Hanya dengan menyadari hal ini, kita bisa dan mampu melihat setiap perbedaan dan pilihan identitas setiap orang bukan sebagai neraka, tapi sebagai kekayaan yang lahir warna-warni surga kehidupan itu sendiri. Salam

Oleh: honing

Jumat, 20 Maret 2020 16:34 WIB

Masyarakat "Pemerkosa"

Persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan mendesak yang menuntut jalan keluar yang tepat. Sayangnya, dibanyak daerah, persoalan seperti ini dianggap bukan persoalan serius. Kekerasan terhadap perempuan menjadi unik, karena seringkali melibatkan pemerkosaan. Tubuh perempuan dilecehkan sebagai tanda penguasaan dan penghinaan dari pelaku pemerkosa. Setelah terpuaskan, si pelaku pemerkosa seakan merasa tak berdosa. Dalam banyak kasus, diketahui para pemerkosa seringkali adalah orang-orang terdekat. Kita tentu geram serta merasa ngeri ketika membaca berita-berita pemerkosaan. Misalnya, pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan yang masih dibawah umur di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bunga (bukan nama sebenarnya) diperkosa oleh kakeknya sendiri, saat rumah dalam keadaan kosong. (Suara.id 19/11/2019) Pada bulan yang sama, seorang gadis berumur 17 tahun juga diperkosa oleh seorang sopir angkot sesudah mabuk karna dipaksa mengkomsumsi minuman keras. (Lintas ntt, 19/11/2019) Sebulan sebelumnya, seorang siswi kelas X di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri dikabupaten Timor Tengah Selatan juga diperkosa di atas mobil Izusu berwarna biru. (Realitarakyat.com 13 oktober/2019) Tiga kejadian itu hanyalah contoh saja. Sesungguhnya, kejadian serupa sangatlah banyak dalam masyarakat kita. Dengan membaca sejumlah berita tentang kasus pemerkosaan, kita seringkali marah, dan menuntut keadilan bagi semua pihak. Namun, persoalan ini tetap saja muncul, bahkan dengan tingkat brutalitas yang semakin mengerikan. Kita lantas bertanya-tanya, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan hal ini? Pendekatan legalistik Pendekatan legalistik adalah pendekatan kuno yang sering kita gunakan saat mendekati permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan. Pendekatan kuno yang saya maksud adalah pendekatan dengan memberikan ancaman hukuman yang berat bagi pelaku. Meski begitu, pendekatan ini tidaklah mencukupi. Permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosa seakan tak pernah berhenti. Hal ini karena pendekatan hukum selalu bersifat setelah kejadian, sehingga korban sudah menderita, baru pelaku bisa dihukum. Pendekatan ini jelas sudah terlambat. Pendekatan legalistik semacam ini juga cenderung memaksa. Sedangkan, pada dasarnya, pemaksaan selalu mengundang pemberontakan. Semakin besar pemaksaan, semakin besar pula pemberontakan yang akan terjadi. Pendekatan legalistik, walaupun diperlukan, jelaslah tidak mencukupi. Pendekatan Moralistik Di sisi yang lain, kita juga cenderung mendekati permasalahan pemerkosaan dengan pendekatan moralistik. Artinya, kita memaksa perempuan untuk menutupi tubuhnya dengan alasan-alasan moral. Juga dengan berpijak pada moral, kita menghambat gerak perempuan, sehingga mereka, misalnya, tidak boleh pulang malam, atau berjalan kaki di daerah-daerah tertentu. Pada saat yang sama, kita tidak mendidik para pelaku, yang biasanya adalah pria, untuk mengenali dan mengelola dorongan-dorongan hasrat mereka. Kita hanya sibuk dengan memberi himbauan-himbauan dan larangan-larangan moral yang biasanya bersifat agamis kepada mereka. Tema seksualitas dan hasrat kenikmatan dijadikan tema tabu yang tak pernah dibahas. Ini jelas sebuah kesalahan besar. Cara berpikir pemerkosa Saat kita diperhadapkan dengan berbagai berita pemerkosaan. Ada satu pertanyaan yang sering kita ajukan. Pertanyaannya adalah apa yang ada di pikiran para pemerkosa itu? Jika kita tenang, dan diam sejenak untuk merenungi cara berpikir pemerkosa, kita tentu bisa menemukan jawabannya. Kesalahan mereka tentu ada pada kesalahan berpikir. Mereka (pemerkosa) melihat perempuan sebagai benda yang bisa digunakan untuk kepuasan mereka. Perempuan dilihat bukan sebagai manusia, tetapi hanya sebagai obyek yang tak punya arti, kecuali arti pemberian kepuasan sesaat. Cara berpikir ini semakin diperkuat oleh kecenderungan berpikir orang jaman sekarang, yakni menyayangi barang, dan menggunakan manusia, dalam hal ini perempuan. Seorang filsuf asal Jerman, Immanuel Kant, dalam sebuah bukunya, ia pernah merumuskan imperatif kategoris sebagai panduan rasional untuk kehidupan moral manusia. Butir kedua imperatif kategoris adalah melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri,dan bukan semata sebagai alat untuk tujuan-tujuan lainnya. Para pemerkosa jelas tidak mengenal ajaran tersebut. Mereka tidak pernah melihat manusia lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat untuk pemuas hasrat gelap mereka. Para pelaku ini tidak hidup dengan bimbingan akal sehat, melainkan dengan dorongan hasrat yang tidak pernah dikenali dan dikelola. Akhirnya, banyak orang tak bersalah menjadi korban dari kesalahan cara berpikir ini. Di dalam teori Marxis, pola pikir ini biasa disebut juga sebagai reifikasi. Reifikasi artinya adalah pembendaan. Kita melihat dan memperlakukan manusia lain hanya sebagai bagian dari alat-alat produksi untuk peraihan keuntungan ekonomis. Logika pelacuran dan pemerkosaan tentu tidak lepas dari pola pikir reifikasi semacam ini. Sesungguhnya, semua itu bukanlah sesuatu yang alami. Manusia tidak pernah terlahir sebagai pemerkosa, pelacur, pencuri, pembunuh dan lain-lain. Ini semua dibentuk dari budaya yang akhirnya berbuah menjadi kebiasaan. Pertanyaan selanjutnya, masyarakat macam apa yang menghasilkan manusia-manusia pemerkosa semacam itu? Masyarakat pemerkosa adalah masyarakat yang mengedepankan pendidikan hafalan dan kepatuhan buta, daripada pengertian dan berpikir kritis. Masyarakat yang suka memaksa orang berperilaku tertentu atas dasar moralitas tradisional agamis, tanpa ruang untuk berpikir dengan akal sehat. Masyarakat yang lebih mementingkan hasil dan nilai, tanpa mau peduli pada proses. Masyarakat yang melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua yang mesti di penjara, supaya tidak mengundang nafsu laki-laki. Masyarakat seperti ini, biasa kita kenal dengan masyarakat patriarki. Itulah masyarakat pemerkosa yang saya maksudkan. Tak heran, di dalam masyarakat semacam ini, pemerkosaan terus berulang. Semua ini dibarengi dengan semakin maraknya himbauan-himbauan moral agamis di berbagai mimbar dan media. Ini jelas sebuah kemunafikan yang menjadi akar dari beragam masalah. Perubahan cara berpikir Perubahan cara berpikir di dalam pendidikan jelas amat diperlukan di sini. Perubahan cara berpikir di dalam hidup bersama juga mutlak diperlukan, misalnya di dalam penguatan sistem hukum dan perubahan paradigma di dalam hidup beragama. Hasrat dan seksualitas bukanlah tema tabu yang semata harus dilarang, melainkan harus disadari, dikenali dan kemudian dikelola. Hanya dengan begitu, pemerkosaan bisa sungguh menjadi bagian sejarah masa lalu di dalam masyarakat kita. Sejarah yang panjang dan kelam, namun mengandung pelajaran berharga.