x

(Foto: Kabare.id/ Baskoro Dien).

Iklan

honing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Maret 2020

Selasa, 7 April 2020 07:27 WIB

Perbedaan Identitas kok Jadi masalah?

Terlalu banyak konflik di Indonesia terjadi karena perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama, sampai dengan pemikiran hampir setiap hari kita saksikan di berbagai media. Perbedaan ini seringkali dijadikan sebagai pembenaran untuk memupuk dendam, saling hujat, hingga saling menaklukan. Lingkaran kebencian dan dendam pun seakan berputar pada masalah identitas semacam ini. Sayangnya, kita tak pernah belajar dari berbagai konflik yang diakibatkan dari kesalahpahaman kita akan identitas ini. Kita punya setumpuk pengalaman akibat perbedaan identitas, mulai dari deskriminasi mayoritas terhadap minoritas, perpisahan sepasang kekasih akibat berbeda suku, hingga tawuran antar pelajar yang adalah contoh kongkrit dari kesalahpahaman kita akan identitas. Lantas apa itu identitas? dan kenapa perbedaan identitas selalu menjadi masalah? Identitas itu adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita. Label itu ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok atau komunitas tertentu. Nah, didunia ini ada beragam bentuk identitas atau label yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari organisasi, ras, agama, suku, negara, hingga gender. Lalu dari mana kita menerima label-label itu? Kita menerima label atau identitas itu dari tempat, keluarga atau komunitas dimana kita dilahirkan. Kita menerima label atau identitas ini sejak lahir tanpa diberi pilihan. Identitas itu pun bisa berubah kapan saja, jika diinginkan. Bahkan identitas diri sendiri seperti nama pun bisa kita ubah kapan saja. Bisa kita buatkan julukan, samaran dan sebagainya. Sekali lagi, semua itu dimungkinkan, jika kita mau. Hal itu sama dengan berbagai identitas lainnya, salah sagunya adalah agama. Siapapun bisa masuk ke agama tertentu, dan juga bisa keluar atau berpindah ke agama yang lain, jika diinginkan. Perubahan keyakinan atau agama itu sejatinya adalah suatu hal yang lumbrah dalam proses kehidupan ini. Bukankah kita semua sepakat bahwa dalam hidup ini semuanya berubah? bahkan kata orang, yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri. Masalahnya adalah, kita sering menyamakan dan melekatkan diri kita pada identitas sosial yang kita punya. Akhirnya banyak konflik terjadi akibat dari orang menyamakan dirinya dengan identitasnya. Kemelekatan akan identitas atau label ini menjangkit banyak kalangan tanpa kenal usia dan jabatan. Contoh dari kemelekatan seperti ini bisa kita temukan dimana saja. Banyak pembela agama yang berlagak melebihi Tuhan adalah hasil dari kesalahan mereka dalam memahami identitas. Mereka akhirnya begitu cepat tersinggung hanya karna menganggap agama sebagai diri mereka sendiri. Bahkan tak sesekali menafsirkan dan bertindak melebihi Tuhan itu sendiri. Para plitisi bermental feodal yang suka membangun politik dinasti adalah contoh lain dari kesalahan memahami identitas. Mereka menyamakan jabatan dengan dirinya, atau keluarganya sendiri. Akibatnya, saat kita mengkritisi posisinya sebagai kepala daerah, ia sangat mudah tersinggung karena merasa kita sedang menghina dirinya. Contoh lain dari kemelekatan seperti ini juga bisa kita temukan dalam hubungan (pacaran) kawan-kawan muda. Banyak yang saat masih berpacaran, sudah cepat-cepat menyamakan dan menganggap bahwa kekasihnya adalah miliknya. Padahal dalam hubungan berpacaran, semua bisa berubah kapan saja. Akhirnya, saat kekasihnya memutuskan hubungan atau berselingkuh, ia mengalami depresi yang sangat berat hingga bunuh diri hanya akibat dari kemelekatan semacam ini. Kemelekatan pada identitas atau label ini juga seringkali membuat kita sangat sensitif. Ketika salah satu label yang kita pegang itu dikritik, kita pun merasa terhina. Saat ada salah satu anggota dari komunitas (agama) kita berpindah keyakinan, kita pun menghujat karena merasa identitas kita tak dijaga atau tak diistimewakan. Tapi pada saat anggota dari komunitas yang lain masuk ke komunitas kita, kita justru merasa bangga. Tahun lalu, dalam sebuah seminar disalah satu kampus swasta di Surabaya. Salah seorang Dosen filsafat asal Surabaya, Rizal A Watimena, pernah berkata bahwa identitas itu punya dua karakter dasar, yakni kesementaraan dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya, sama dengan ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh. Saya sepakat dengan beliau, identitas itu sementara dan rapuh, karena ia bisa berubah kapan saja. Konsep-konsep identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, adalah ciptaan dari pikiran manusia. Karena ia adalah hasil ciptaan dari pikiran manusia, maka ia pun bisa kita ubah kapan saja, jika diinginkan. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, suku atau agama tertentu, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua label atau identitas tersebut, kalau ia mau. Semua ini penting untuk dipahami. Ini bukan berarti kita tidak membutuhkan label atau identitas dalam hidup. Tapi kita menjaga jarak dari identitas itu sendiri agar kita tidak terjebak dalam lingkaran kebencian, saling hujat, memuja fanatisme buta, atau jatuh pada diskriminasi yang justru kita langgengkan sendiri. Sudah saatnya kita sadar dan belajar bahwa banyak konflik di Indonesia ini terjadi bukan karna perbedaan identitas, tapi karna banyak orang salah memahami perbedaan identitas. Hanya dengan menyadari hal ini, kita bisa dan mampu melihat setiap perbedaan dan pilihan identitas setiap orang bukan sebagai neraka, tapi sebagai kekayaan yang lahir warna-warni surga kehidupan itu sendiri. Salam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penulis: Honing Alvianto Bana

Terlalu banyak konflik di Indonesia terjadi karena perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama, sampai dengan pemikiran hampir setiap hari kita saksikan di berbagai media.

Perbedaan ini seringkali dijadikan sebagai pembenaran untuk memupuk dendam, saling hujat, hingga saling menaklukan. Lingkaran kebencian dan dendam pun seakan berputar pada masalah identitas semacam ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sayangnya, kita tak pernah belajar dari berbagai konflik yang diakibatkan dari kesalahpahaman kita akan identitas ini. Kita punya setumpuk pengalaman akibat perbedaan identitas, mulai dari deskriminasi mayoritas terhadap minoritas, perpisahan sepasang kekasih akibat berbeda suku, hingga tawuran antar pelajar yang  adalah contoh kongkrit dari kesalahpahaman kita akan identitas.

Lantas apa itu identitas? dan kenapa perbedaan identitas selalu menjadi masalah?

Identitas itu adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita. Label itu ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok atau komunitas tertentu.

Nah, didunia ini ada beragam bentuk identitas atau label yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari organisasi, ras, agama, suku, negara, hingga gender.

Lalu dari mana kita menerima label-label itu?

Kita menerima label atau identitas itu dari tempat, keluarga atau komunitas dimana kita dilahirkan. Kita menerima label atau identitas ini sejak lahir tanpa diberi pilihan.

Identitas itu pun bisa berubah kapan saja, jika diinginkan. Bahkan identitas diri sendiri seperti nama pun bisa kita ubah kapan saja. Bisa kita buatkan julukan, samaran dan sebagainya. Sekali lagi, semua itu dimungkinkan, jika kita mau.

Hal itu sama dengan berbagai identitas lainnya, salah sagunya adalah agama. Siapapun bisa masuk ke agama tertentu, dan juga bisa keluar atau berpindah ke agama yang lain, jika diinginkan. Perubahan keyakinan atau agama itu sejatinya adalah suatu hal yang lumbrah dalam proses kehidupan ini. Bukankah kita semua sepakat bahwa dalam hidup ini semuanya berubah? bahkan kata orang, yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.

Masalahnya adalah, kita sering menyamakan dan melekatkan diri kita pada identitas sosial yang kita punya. Akhirnya banyak konflik terjadi akibat dari orang menyamakan dirinya dengan identitasnya. Kemelekatan akan identitas atau label ini menjangkit banyak kalangan tanpa kenal usia dan jabatan. Contoh dari kemelekatan seperti ini bisa kita temukan dimana saja.  Banyak pembela agama yang berlagak melebihi Tuhan adalah hasil dari kesalahan mereka dalam memahami identitas. Mereka akhirnya begitu cepat tersinggung hanya karna menganggap agama sebagai diri mereka sendiri. Bahkan tak sesekali menafsirkan dan bertindak melebihi Tuhan itu sendiri.

Para politisi bermental feodal yang suka membangun politik dinasti adalah contoh lain dari kesalahan memahami identitas. Mereka menyamakan jabatan dengan dirinya, atau keluarganya sendiri.  Akibatnya, saat kita mengkritisi posisinya sebagai kepala daerah, ia sangat mudah tersinggung karena merasa kita sedang menghina dirinya.

Contoh lain dari kemelekatan seperti ini juga bisa kita temukan dalam hubungan (pacaran) kawan-kawan muda. Banyak yang saat masih berpacaran, sudah cepat-cepat menyamakan dan menganggap bahwa kekasihnya adalah miliknya. Padahal dalam hubungan berpacaran, semua bisa berubah kapan saja. Akhirnya, saat kekasihnya memutuskan hubungan atau berselingkuh, ia mengalami depresi yang sangat berat hingga bunuh diri hanya akibat dari kemelekatan semacam ini.

Kemelekatan pada identitas atau label ini juga seringkali membuat kita sangat sensitif. Ketika salah satu label yang kita pegang itu dikritik, kita pun merasa terhina. Saat ada salah satu anggota dari komunitas (agama) kita berpindah keyakinan, kita pun menghujat karena merasa identitas kita tak dijaga atau tak diistimewakan. Tapi pada saat anggota dari komunitas yang lain masuk ke komunitas kita,  kita  justru merasa bangga.

Tahun lalu, dalam sebuah seminar disalah satu kampus swasta di Surabaya. Salah seorang Dosen filsafat asal Surabaya, Rizal A Watimena, pernah berkata bahwa identitas itu punya dua karakter dasar, yakni kesementaraan dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya, sama dengan ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.

Saya sepakat dengan beliau, identitas itu sementara dan rapuh, karena ia bisa berubah kapan saja. Konsep-konsep identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, adalah ciptaan dari pikiran manusia. Karena ia adalah hasil ciptaan dari pikiran manusia, maka ia pun bisa kita ubah kapan saja, jika diinginkan. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, suku atau agama tertentu, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua label atau identitas tersebut, kalau ia mau.

Semua ini penting untuk dipahami. Ini bukan berarti kita tidak membutuhkan label atau identitas dalam hidup. Tapi kita menjaga jarak dari identitas itu sendiri agar kita tidak terjebak dalam lingkaran kebencian, saling hujat, memuja fanatisme buta, atau jatuh pada diskriminasi yang justru kita langgengkan sendiri.

Sudah saatnya kita sadar dan belajar bahwa banyak konflik di Indonesia ini terjadi bukan karna perbedaan identitas, tapi karna banyak orang salah memahami perbedaan identitas.

Hanya dengan menyadari hal ini, kita bisa dan mampu melihat setiap perbedaan dan pilihan identitas setiap orang bukan sebagai neraka, tapi sebagai kekayaan yang lahir warna-warni surga kehidupan itu sendiri. Salam

Ikuti tulisan menarik honing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler