Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Pada 15 tahun silam, ketika tahun ke-9 usiaku, mahligai kami yang semula sunyi mendadak bising dipenuhi tangisan bayi dalam gendongan ibu. Ibu muncul di depan pintu sembari memandangi ayah dan menghampirinya dengan takut-takut. “Maaf.” Ibu menyambut ayah dengan berlutut. Satu tangannya melingkar di kaki ayah. Ibu tersedu sedan, sedangkan ayah menegang dengan raut muka yang tidak terbaca. Naluriku mengatakan ada yang salah. Sepasang purnamaku menatap mereka silih berganti, tapi tetap saja aku tidak mengerti.
Sebab hatimu tak tenang, pikiranmu juga terlanjur dikuasai kemungkinan-kemungkinan buruk yang membuatmu tidak bisa berpikir jernih一pontang-panting kamu berlari menuju toko kelontong milik keluargamu setelah mendengar suara tembakan dari ujung gang. Lajumu laju seribu, menembus gulita malam, bertelanjang kaki sekaligus mengabaikan seruan ibumu untuk tetap tinggal. Ayahmu masih di dalam toko, kamu harus mengetahui apa yang terjadi.
Hati menggalau tiada dapat dihalau, Pak Zai melangkah gontai menyusuri jalan setapak menuju rumah sembari menyeret gerobak sayur miliknya yang hanya diisi udara kosong. Sayur mayur yang ia jajakan tersapu bersih seperti biasa. Namun, langkah kakinya terasa gamang ketika menapak. Sanubarinya diselimuti kebimbangan. Ucapan Pak Turai terngiang-ngiang.