x

Iklan

Amirah Fathinah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Kamis, 29 Februari 2024 06:35 WIB

Ayahku Seorang Sastrawan

Sebab hatimu tak tenang, pikiranmu juga terlanjur dikuasai kemungkinan-kemungkinan buruk yang membuatmu tidak bisa berpikir jernih一pontang-panting kamu berlari menuju toko kelontong milik keluargamu setelah mendengar suara tembakan dari ujung gang. Lajumu laju seribu, menembus gulita malam, bertelanjang kaki sekaligus mengabaikan seruan ibumu untuk tetap tinggal. Ayahmu masih di dalam toko, kamu harus mengetahui apa yang terjadi. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

   Ayahmu selalu menghilang setiap senja memboyong serta mesin tik kesayangannya. Belakangan kamu tahu, beliau kabur ke toko kelontong. Di sana, beliau melentikkan jari pada mesin tik, menghabiskan berlembar-lembar kertas yang berkisah tentang malangnya kehidupan yang ia jalani.

Ayahmu kerap menjual cerita sedih yang diromantisasi dan setelahnya melabeli dirinya seorang sastrawan. Kecintaan dan kecerdasannya dalam merangkai frasa memang tidak perlu disangsikan. Tapi keputusan ayahmu untuk memberi predikat sastrawan pada dirinya一menurutmu berlebihan. Tulisan beliau hanya dimuat di beberapa surat kabar lokal, tak pernah tembus sampai ke tingkat nasional. Bila disandingkan dengan sastrawan tenar pada masa itu seperti Pram, Widji Thukul atau W.S. Rendra, ayahmu hanya butiran debu.

Pun, kamu tidak mengharapkan ayahmu jadi seperti mereka yang dikriminalisasi akibat gencar mengkritik rezim yang tengah berkuasa. Lagipula tulisan ayahmu bukan satu-satunya ladang mencari makan. Perekonomian keluarga kalian masih bisa bertumpu pada toko kelontong yang diwariskan mendiang kakekmu. Tapi belakangan toko itu tidak menghasilkan rupiah sebagaimana yang diharapkan. Beberapa warga datang silih berganti bukan untuk membeli, melainkan mengambil barang pokok dengan bayaran yang ditangguhkan. 

Ayahmu paham betul dengan situasi begini keluarganya bisa sulit barang untuk menanak segenggam nasi. Maka dari itu, beliau membelokkan setir perekonomian keluargamu kepada tulisan-tulisan yang lahir dari otak sastrawan yang melulu ia agung-agungkan. Berkat kegigihan ayahmu, kalian bisa makan maksimal tiga kali sehari. Ayahmu akhirnya dikontrak oleh sebuah redaksi surat kabar daerah sebagai penulis tetap yang karyanya nangkring setiap seminggu sekali pada rubrik yang telah ditentukan. Ekonomi keluargamu benar-benar stabil sehingga kamu bisa menamatkan pendidikan SMP tanpa khawatir disinggung wali kelas soal bayaran SPP. 

Sore itu tanah menjadi basah akibat guyuran hujan dari pagi hingga siang. Langit baru membaik ketika pukul tiga. Ayahmu tergesa keluar sembari mendekap mesin tik menuju toko kelontong yang telah tutup sebulan lalu di ujung gang, melewati genangan air di halaman depan. Kamu paham betul, pada jam segini masa ayahmu merengkuh segudang inspirasi dan mencurahkan ide-ide brilian di kepalanya ke dalam bentuk tulisan. Kamu memandangi punggung ayahmu yang perlahan lenyap dari jarak pandang.

Akhir-akhir ini ayahmu menghabiskan lebih banyak waktu di toko kelontong untuk menulis. Beliau baru bertolak ke rumah saban lewat tengah malam. Kamu mulai berpikir macam-macam. Isi kepalamu menerka-nerka, tulisan jenis apa yang sedang ayahmu garap sampai menyita waktunya demikian banyak. Bukan apa-apa, desas-desus semakin banyaknya para sastrawan yang dibungkam oleh pemerintah telah merisaukan pikiranmu sedemikian rupa. Kamu berusaha melenyapkan pikiran negatif tersebut dengan menduga ayahmu tengah menulis novel romansa. Membayangkannya saja sudah membuatmu berbangga. Ayahmu akan menjadi sastrawan sungguhan. Harapmu tak muluk-muluk; novelnya minimal bisa laku dua puluh biji. 

Pada sore lainnya, saat kamu lagi-lagi mengiringi kepergian ayahmu dalam kebisuan, kamu gegas mendatangi ibumu yang tengah menyiram kembang di halaman belakang sebab firasatmu tak enak. “Ayah kira-kira sedang mengerjakan proyek apa ya, Bu?” tanyamu semerta menyodorkan tangan, meminta supaya gembor yang dipegangnya berpindah ke tanganmu. 

“Biar Abi saja yang siram.” Ibumu tanpa pikir panjang mengangsurkan gembor ke dalam tanganmu yang terbuka. “Terima kasih, ya.” Kata ibumu tersenyum lembut. 

“Ah, barangkali ayah tengah mendapat proyek besar.” Ujarmu menyambung topik yang terputus. “Proyek besar apa maskudmu?! Yang bekerja dengan pemerintah? Yang tugasnya menulis berita untuk menyembunyikan borok rezim yang berkuasa? Kamu sudi ayahmu bekerja jadi ‘anjing’ mereka?!” Reaksi ibumu tidak terduga. Alih-alih berdiskusi, beliau justru meradang. Kamu membeku sebentar. Kalimat ibumu memantik siluet yang bukan-bukan di kepalamu. Selepasnya kamu menggeleng diiringi kekehan canggung, menyembunyikan gusar yang menyergap. “Ndak mungkin ayah mau, Bu.” Timpalmu menyahuti dengan penuh keyakinan. Air muka ibumu yang tegang berhasil dinetralkan. 

“Ah, iya benar juga. Ayahmu tidak ada cerita apa-apa soal pekerjaan. Tapi belakangan terlihat sibuk sekali.” Gerakanmu yang tengah menyiram bunga terhenti seketika. Kamu tertegun mendengar pernyataan ibumu barusan. Pikiranmu semakin kalut saja. 

Malamnya hatimu diselimuti kegundahan. Seusai menamatkan rakaat terakhir shalat isyamu yang terlambat, kamu mendengar kegaduhan dari ujung gang. Sebab hatimu tak tenang, pikiranmu juga terlanjur dikuasai kemungkinan-kemungkinan buruk yang membuatmu tidak bisa berpikir jernih一pontang-panting kamu berlari menuju toko kelontong milik keluargamu setelah mendengar suara tembakan dari ujung gang. Lajumu laju seribu, menembus gulita malam, bertelanjang kaki sekaligus mengabaikan seruan ibumu untuk tetap tinggal. Ayahmu masih di dalam toko, kamu harus mengetahui apa yang terjadi. 

Lajumu dimatikan setelah menyaksikan segerombolan pemuda berseragam loreng tengah menggeledah toko kelontong milik keluargamu. Kamu menggeram marah tatkala seorang dari mereka menendang ayahmu yang telah tersungkur di lantai. Lampu dari mobil kargo menyoroti wajah ayahmu yang bersimbah darah. 

“Biadaab!” Kamu yang melompat dari kegelapan cukup mengagetkan mereka. Ketika kamu mendekati ayahmu, tentara yang tadi menendang ayahmu kini menodongkan senapan laras panjang ke hadapanmu. Dua orang dari belakang menggamit lenganmu, mencengkramnya dengan kuat. Kamu meronta sambil bersumpah serapah. “Ayahku salah apa?! Biadab kalian!!! Dasar kacung pemerintah!!!”

Tapi gertakanmu percuma. Ayahmu layu, terbatuk-batuk dengan napas tersengal. Wajahnya hampir tak berbentuk. Lebam di sana sini, bersimbah darah. “A…a…abi..” Tangan ayahmu yang lunglai berusaha mencengkram kaki dua orang yang menahanmu. Namun, gerakannya lamban akibat kehabisan tenaga setelah dihajar habis-habisan. Mereka menyeret ayahmu dengan brutal seperti karung pupuk. Memasukkannya ke dalam mobil kargo yang terbuka. Kamu masih terus meronta sembari meraung kesetanan. Tapi tengkorokanmu tercekat setelah sebuah cairan disuntikkan ke tengkukmu. Kamu terkulai seperti terong goreng. Setelahnya pandanganmu mengabur dan semuanya menjadi gelap. 
….. 
     “Ayahku hanya seorang sastrawan biasa. Tulisannya pun tidak aneh-aneh. Tapi oleh ‘mereka’, ayahku dikambing-hitamkan karena beliau menentang perubahan jalur. Redaksi surat kabar tempat ayahku bekerja, bertolak menjilati penguasa sebab mereka takut gulung tikar.” 

 Kamu membuat pernyataan itu dengan manik berkilat. Aku bisa merasakan emosi kuat. Sendu dan geram bermuara satu di dalam sana. Sampai detik ini aku masih merinding ketika menonton ulang video wawancara denganmu yang kuunggah ke kanal youtube beberapa menit lalu. Video itu langsung diserbu oleh ratusan penonton.

Cerita-cerita pada zaman itu memang bikin candu sekaligus haru. Setiap berhadapan dengan narasumber yang kebanyakan adalah saksi kunci, serasa membawaku menjelajah museum sejarah masa lalu. Tapi kenapa kamu harus menyebut nama redaksi tempat ayahmu bekerja. Aku jadi teringat cerita lainnya.

Cerita itu disampaikan oleh ayahku. Katanya beberapa tahun silam ia gagal menyelamatkan perusahaan surat kabar miliknya sekalipun telah melakukan beragam upaya. Bahkan cara kotor dan keji yang menjadikannya binal dengan mengorbankan nyawa orang lain tidak dapat menyelamatkan bisnis itu dari kebangkrutan.

Tak lama setelah tragedi penangkapan orang itu, rezim yang berkuasa tumbang. Reformasi negeri besar-besaran dilakukan. Orang yang dimaksud ayahku dalam ceritanya, bukan ayahmu, ‘kan?

Ikuti tulisan menarik Amirah Fathinah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB