Wajah Dalam Foto
Kamis, 18 November 2021 07:51 WIBSayup-sayup kudengar kembali suara biola dengan lagu yang sama. Tanpa pikir panjang aku segera turun ke lantai dasar. Dan, aku melihat gadis itu lagi. Berdiri di pelataran museum dengan rambut terurai. Inginku mendekatinya, tapi niatku selalu urung. Aku tak berani ! tapi mataku tak berpaling sedikitpun dari gadis itu. Saat lagu selesai gadis itu melempar senyumnya padaku. Aku terpana sesaat dan tersadar bahwa gadis tersebut telah menghilang dari pandanganku.
Tumpukan kertas berjejer di hadapanku, lama-lama aku muak melihatnya. Ini hari kedua aku lembur mengerjakan tugas-tugas kantor. Workaholic?sepertinya memang kata yang cocok untukku. Karena aku merasa puas saat bekerja apalagi menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan orang lain.
Entahlah, karena terlalu di porsir tapi hari ini aku merasa lelah, sangat lelah sehingga kertas-kertas yang menjadi keseharianku menjadi hal yang memuakkan. Perlahan aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian aku membuka tirai yang menutup jendela ruangan. Di seberang gedung kantor berdiri megah bangunan bergaya art deco yang sekarang menjadi bangunan museum. Aku terpesona melihatnya. Malam ini bangunan itu terasa sangat megah dari biasanya, atau sebenarnya sudah megah tapi aku tidak memperhatikannya karena kesibukanku. Aku menutup kembali tirainya dan menuju kursiku, tapi aku mengurungkan niat saat sayup-sayup kudengar suara biola dari seberang. Penasaran aku membuka kembali tirainya, tapi tak terlihat seorang pun. Aku semakin penasaran, kemudian memutuskan untuk turun ke lantai dasar. Suara biola semakin jelas dan samar-samar kulihat seorang gadis cantik dengan rambut terurai memainkan biola di pelataran museum dan aku hapal lagu itu, air on g string-nya Bach. Mungkin gadis ini sedang sedih, pikirku. Tapi, entah magnet apa yang menempel dalam tubuhku sehingga aku terus terpaku disini, di pintu masuk kantorku, sampai suara biola dan gadis itu menghilang.
Aku kembali ke mejaku, berusaha menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.
“Di, bangun…!”. Aku terperanjat saat temanku, Bram membangunkanku.
“Kebiasaan…”, cela Bram.
Aku terkekeh karena salah satu kebiasaan burukku tidur telungkup di meja.
“Sana …ke kamar mandi dulu, bau… .”, ledek Bram
“Bram, tadi malam aku melihat gadis cantik di bangunan itu”, ucapku setelah kembali dari kamar mandi sambil menunjuk kearah museum dan meneguk air teh hangat.
Bram tertawa terbahak-bahak “Gadis cantik? Semalam? Hantu…kaliii…Sejak kapan kau mulai memperhatikan wanita? Si Carla yang cantik saja kau abaikan”.
“Bukan di abaikan, tapi waktunya tidak tepat. Lagi pula gadis semalam itu bukan hantu, buktinya dia tidak melayang ”, sahutku membela diri.
“Ya…terserahlah, kalau berdebat denganmu aku selalu kalah. Sebenarnya wanita yang kau sukai seperti apa sih, Di?” tatap Bram dari balik koran yang dibacanya.
“Ya…seperti wanita lah”
“Ah, bodoh sekali aku…percuma menanyakan hal itu padamu”, kata Bram sambil melipat Koran. “Proyekanmu sudah selesai?”, Bram mengalihkan.
“Belum”, sahutku.
“Lembur lagi?”
“Mungkin”
“Atau mau melihat gadis cantik yang kau sebutkan itu?”
Aku mengangkat bahu.
“Bagaimana kalau ku temani kau malam ini. Penasaran aku dengan gadis cantik versimu”.
Aku tertawa. “Silahkan saja, kalau kamu sanggup”.
Bram terkekeh.
Malam ini malam ketiga aku lembur, ada rasa penasaran dalam hatiku untuk bertemu gadis yang memainkan biola. Bram sudah tergeletak di atas sofa, tidur dengan nyenyaknya. Dia memang mudah sekali tertidur, sehingga mendapat julukan 'raja tidur' di kantor ini.
Sayup-sayup kudengar kembali suara biola dengan lagu yang sama. Tanpa pikir panjang aku segera turun ke lantai dasar. Dan, aku melihat gadis itu lagi. Berdiri di pelataran museum dengan rambut terurai. Inginku mendekatinya, tapi niatku selalu urung. Aku tak berani ! tapi mataku tak berpaling sedikitpun dari gadis itu. Saat lagu selesai gadis itu melempar senyumnya padaku. Aku terpana sesaat dan tersadar bahwa gadis tersebut telah menghilang dari pandanganku.
Malam keempat. Aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku seperti mengenal gadis itu, apakah de javu? Ah, tak mungkin… aku berusaha menepis pikiran tersebut. Pekerjaanku hampir terbengkalai jika Bram tidak mengingatkanku. Dia setia menemaniku lembur demi melihat gadis yang kuceritakan, tapi seperti biasa dia selalu tertidur sebelum gadis itu datang. Tapi, malam ini, malam kelima, Bram berusaha untuk tidak tidur.
“Secantik apa sih gadis itu?”
“Yang aku rasakan kecantikannya seperti mentari yang bersinar diantara kabut dan embun pagi”, jawabku sambil mencorat-coret kertas di depanku, tidak tahu apa yang ku kerjakan.
“Sakti sekali orang ini sampai mengubah workaholic menjadi melankolis?”, ledek Bram sambil membuka tirai.
Aku menengok ke kearah Bram. “Tidak usah di buka, dia pasti ada jika ada suara biola”
“Bagaimana kau seyakin itu?”
“Feeling”, jawabku pendek
“Kenapa kau tidak menyapanya?”
“Itulah…seperti tidak mengenal aku saja. Aku tak berani!”
Bram tertawa terbahak-bahak, “Menghadapi klien yang sangar aja berani, giliran menghadapi wanita kaya kerupuk kena air, melempem “, cela Bram sambil membaringkan tubuhnya di sofa.
“Hei…Bram kau dengar itu…”, aku mengacuhkan ucapan Bram, jantungku berdetak kencang karena bahagia.
“Eh, apa?” Bram terperanjat, terbangun dari tidurnya.
“Itu…suara biola dari gadis yang kuceritakan”.
“Mana...mana? kok aku gak mendengar apa-apa”, dengan malas Bram membuka tirai, ”Tidak kelihatan, Di?”,
“Tapi kau dengar suaranya kan?”
“Belum terdengar”
“Aku turun, ya?” jawabku sambil berlalu.
“Eh...,” sebelum Bram menyelesaikan kata-katanya aku sudah turun ke lantai bawah.
Sekarang aku mendekati pelataran museum menuju kearah gadis tersebut. Aku bertepuk tangan setelah dia menyelesaikan lagunya. Dia tersenyum dan menganggukan kepala. Kemudian dia berlalu dari hadapanku.
“Tunggu !” tanpa sadar keluar kata itu dari mulutku. Dia berhenti dan menengok kearahku.
“Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Wandira”, sambil menganggukan kepala.
“Aku …Adi....”. Dia tersenyum lagi dan meninggalkanku sendiri.
Aku terduduk di pelataran museum. Rasa penasaran menyelimuti pikiranku. Kenapa gadis itu selalu datang dan pergi begitu saja. Aku meremas rambutku, entahlah apa aku jatuh cinta pada gadis itu.
“Bagaimana? berhasil,Bung?” olok Bram saat melihatku kembali. “Kok aku gak bisa melihatnya ya?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya karena dipikirannku hanya gadis itu saja.
“Hei…kau tega sekali tidak menjawab pertanyaanku?”
“Aku lelah, Bram., nanti saja” jawabku sambil merebahkan tubuh diatas sofa.
“Waah..kau tega sekali…kalau kamu tidur di sofa, aku tidur dimana?”, keluh Bram. Tapi, aku sudah tertidur pulas.
Aku terus memikirkannya, setiap hari mungkin setiap detik yang kulalui tidak lepas darinya. Aku rela tidur di kantor demi mendengar alunan biolanya yang merdu dan menyayat hati.
Sekarang, hampir tiap malam aku berada di kantor ini. Malam ini, aku sudah berada di pelataran museum menunggu Wandira.
“Kau menungguku?”
Aku terkejut mendengar suara yang ku kenal tersebut. Aku menengok kearahnya sambil tersenyum. Malam ini dia terlihat begitu anggun menggunakan kebaya dan menyanggul rambutnya.
“Ya, aku menunggumu” kemudian kami duduk bersama di sebuah kursi taman.
“Hari ini kau tidak membawa biola?”
Dia menggeleng “biola tidak kubawa tapi alunan musiknya selalu disini”sambil merapatkan tangan kanan ke dadanya.
“Aku selalu ingin mendengar alunan biolamu, membuatku bahagia”.
Dia tersenyum dan senyuman terindah bagiku.
“Kenapa hanya tiap malam aku bisa menemuimu?”
Dia mengerling “Apakah itu aneh?”
“Tidak, tapi aku selalu ingin menjumpaimu disetiap detik”
“Terimakasih “, jawabnya pendek, kemudian melanjutkan “Aku menunggunya….”sambil menerawang. Aku tersentak, ada rasa kecewa dalam hatiku, jadi dia sudah punya tambatan hati.
“Tapi, penantianku sepertinya sia-sia”
Aku berpaling padanya “apa maksudmu?”
“Dia tak kembali”
“Kenapa kau begitu yakin?”
“Kalau dia kembali aku tidak akan memainkan biola setiap malam”
“Bodoh sekali laki-laki yang meninggalkanmu”
Dia tersenyum.
“Apakah kamu pulang dari pesta?”
Dia melihatku dengan rasa heran “kenapa kamu menyangka seperti itu?”
“Bajumu”
Dia tertawa “aku terbiasa dengan pakaian seperti ini. Apakah aneh?”
Aku menggeleng “Seperti seorang ningrat awal abad 19, kamu anggun sekali. Jarang aku menemukan perempuan yang masih senang berkebaya”
“Aku memang keturunan ningrat”
Aku merasa heran, zaman modern seperti sekarang masih ada yang mengakui dirinya keturunan ningrat dan masih menggunakan baju tradisional. Tapi semua itu terkalahkan dengan kecantikan wajahnya yang terterpa sinar lampu museum. Kulitnya putih bersih dengan mata bulat dan bulu matanya yang lentik. Aku baru menemukan wajah yang begitu ayu pada masa sekarang.
“Kenapa kau terus menerus memandangku?”
“Karena aku mengagumimu?”
“Terimakasih”.
“Sebentar lagi purnama, berarti genap setahun aku menantinya”
“Boleh aku tahu siapa yang kau nantikan, kekasihmu?”
“Mungkin”
“Kenapa kekasihmu tidak kembali?”
Dia terdiam tak menjawab. Hanya air mata yang keluar dari ujung matanya dan tatapan kosong.
“Maaf…”
Dia menggeleng.
Aku memberanikan diri menggengam tanggannya yang halus “Bolehkah aku ada di hatimu?”
Dia tersenyum dan menatap wajahku dalam.
…
“Di, bangun…Di... siang ini!”
Aku terkejut dan langsung melihat sekeliling.
“Dimana aku?”
“Ya...di kantor laah, susah sekali kau bangun, tidak biasanya…”
“Dimana Wandira?”
Bram mengerutkan kening, “Siapa Wandira?”
“Pura-pura lupa… itu wanita yang aku ceritakan padamu”, jawabku sambil melihat sekeliling.
Bram tambah mengerutkan kening dan menatapku heran.
“Kamu menginap disini semalam, Bram?” aku mengalihkan pertanyaan.
“Wah…wah… wah... keajaiban dong aku mau tidur di kantor. Kapan aku pernah tidur di kantor?” jawab Bram sambil geleng-geleng kepala.
Aku mengingat-ngingat apa yang aku alami, aku tidak mau menerima kalau semua itu hanyalah mimpi. Aku mengamati mejaku tidak ada yang berubah sama sekali, pekerjaanku masih menumpuk. Sebuah foto tua berada di atasnya. Perlahan aku mengambilnya “Wandira ...” gumanku.
“Di, kenapa tidak bersiap-siap dulu, sebentar lagi bos datang. Kamu mau di damprat?” goda Bram yang melihatku bengong.
“Bram berapa lama aku tertidur?” aku tidak peduli dengan ucapan Bram.
“Ya…semalaman lah, pekerjaanmu yang kemarin kulihat belum beres. Kalau kamu lelah, kamu bisa mengajukan cuti dulu, Di".
“Aah…kenapa kau membangunkanku..” sesalku sambil menatap foto tua yang bergambar seorang gadis cantik.
“Ada apa denganmu?! tidak biasanya…” Bram merasa heran.
Aku beranjak dari kursiku tanpa memperdulikan Bram dan menuju kearah museum. Aku memejamkan mata mengingat-ingat pertemuanku dengan Wandira. Aku terus mengingatnya dan berharap untuk bertemu. Aku terus mencoba segala cara agar bisa bertemu termasuk dengan cara tidur di kantor.
Ketika terbangun, aku mendapati diriku di tempat asing dengan kedua tangan dan kakiku diikat.
“Dimana aku?”
“Di rumah sakit, Pak”, jawab seorang suster.
“Aku tidak sakit!Lepaskan aku!”, teriakku sambil berusaha melepasakan ikatan.
“Tenang, Pak…tenang.... “, seorang dokter mencoba menenangkanku, tapi aku semakin beringas. Dan sebuah suntikan mendarat di lenganku sehingga aku jatuh lunglai.
Sementara itu. dibalik kaca pintu rumah sakit jiwa, Bram menatap dengan perasaan iba.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Titik
Minggu, 28 November 2021 14:58 WIBWajah Dalam Foto
Kamis, 18 November 2021 07:51 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler