x

From pixabay.

Iklan

Nakhla Bāsiqāt

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Rabu, 24 November 2021 19:28 WIB

Desa Bahasa

Mengisahkan kehidupan sebuah desa terpencil yang ajaib dan unik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Jadi, kedatangan kamu kemari untuk apa?”

“Kerja sementara, Pak.”

“Berapa bulan tinggal di sini?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kurang tahu, Pak. Mungkin hanya dua-empat pekan saja.”

“Orang lewat, rupanya.” Bapak berjenggot itu mengetuk-etukkan penanya di meja, berpikir keras sambil menatap selembar kertas di tangan kirinya. Tatapannya begitu mengintimidasi. Brosur kerjaku dibuat klepek-klepek di sana. Aku mulai tidak yakin dengan apa yang akan dipikirkan bapak tua itu terhadap nama baruku nantinya.

“Lalu, apa kamu sudah punya tempat tinggal?”

“Saya tinggal sementara bersama teman saya, Pak, namanya Poliglot.”

“Oo! Jadi kamu teman pramuwisata itu, ya?”

“Iya, Pak.” Aku mencuri-curi pandang terhadap lembaran bapak berjenggot di seberangku yang sudah ditintai secepat kilat. Pasti bapak itu sudah memikirkan nama baruku. Dengan tegang aku menghadap bapak berjenggot yang duduk tegak melepas penanya, pertanda bahwa dia telah menyelesaikan tugasnya. Dia menyodorkan kartu identitas baruku.

“Kuucapkan selamat datang, Nak Figu. Dengan ini kamu resmi menjadi penduduk sementara Desa Bahasa!” Bapak itu tersenyum lebar, membuat jenggotnya ikut naik bersama kulit-kulit dagunya. Lipatan keriput di dahinya terbuka, alisnya terangkat gembira. Aku mengangguk sungkan, menerima kartu identitas itu meskipun reaksi bapak berjenggot itu terasa berlebihan. Mataku nyaris membelalak membaca nama yang akan menjadi milikku, namun wajah batu alamiku menyelamatkan. Bapak berjenggot yang kutahu namanya Aptro menyilakanku pergi dari tempat duduk. Poliglot menyambutku di luar ruangan.

“Apa nama barumu, ha?” semburnya penasaran, aku kaget melihat tangannya begitu gesit merampas kartu identitasku bahkan sebelum aku hendak mengamankannya. Maluku mati kutu. Perempuan berpasmina putih tulang itu seketika membelalak lalu tertawa nyaring. Dia berjongkok di lantai, menarik-narik rokku dan menahan perutnya yang sakit karena tertawa.

“Ya Allah, ya Allah—” Tawanya masih berderai. “Sungguh ajaib nama barumu, sungguh ajaib! Hei, Figu!” Poliglot seakan lupa dengan nama ajaibnya yang juga berasal dari ruangan itu. Poliglot lupa semua orang di desa ini memiliki nama ajaib. Tetapi tidak bisa dipungkiri, namaku memang terdengar seperti bahan lawakan.

“Figu... Figu...!” Poliglot berguling-guling di lantai, seakan tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Aku buru-buru pergi meninggalkannya sebelum rasa maluku meruah dan orang-orang yang mendengarnya juga akan menertawakanku. Poliglot memukul-mukul lantai. Mulai sadar kalau aku pergi mendahuluinya.

“Tunggu-ahah. Jangan ninggal kenapa sih-ahahah, Fig... hahahaha Figu... Figuraaan!!” Poliglot kembali menggila. Aku mati-matian menahan rona merah di pipiku. Ya, Figuran—nama baruku.

 

*

 

Dua hari semenjak kejadian itu, Poliglot masih menertawakanku. Aku jadi tidak bisa tertawa ketika memutar episode kenangan dimana Poliglot mangkir melihat oleh-oleh ‘langka’ku begitu aku sampai di Desa Bahasa. Aku membawakannya kayu dan batu dari hutan. Dan mungkin semacam hukum sebab-akibat, giliran Poliglot yang tertawa hari itu. Aku jadi bertanya-tanya mengapa ada budaya ‘penjulukan’ di Desa Bahasa. Penjulukan yang juga bisa dianggap sebagai pemberian nama baru bagi setiap penduduk di desa itu. Katanya, menyebutkan nama asli di hadapan orang-orang selain saudara dekat adalah sebuah sikap terecela.

Dari sana aku jadi tahu arti nama temanku yang seorang pramuwisata itu. Dia memang pandai berbagai bahasa dan oleh karenanya dia bekerja sebagai pegawai abdian di Desa Bahasa. Dia bertugas menyambut turis dari berbagai negara yang mendatangi desa terpencil ini, jadi tidak heran jika kefasihnya terjamin juga. Bapak Aptro, yang kutahu kepanjangannya ternyata Aptronim memberi nama Poliglotisme padanya.

Sesuai kataku sebelumnya, tidak hanya kami yang diberi nama ajaib. Tetapi dapat dipastikan semua yang menginjakkan kaki di desa ini sebagai penduduk sementara maupun yang permanen akan memilikinya. Seperti halnya perempuan bersongkok sepunggung di depanku, namanya Dik meskipun usianya dua puluh tahun lebih di atasku. Kepanjangan dari Diksi, Nyonya Dik. Nyonya Dik sebagai atasanku membawaku menuju perpustakaan di desa itu. Dia mengenalkanku pada Pusta, pustakawan satu-satunya di sana dan aku diberitahu akan dipekerjakan di sana sebagai cleaning service. Maksudnya, tukang rapi-rapi buku. Pernah suatu aku memasuki sebuah bilik rak buku kecil untuk bekerja, aku tersentak melihat seorang laki-laki sedang membaca sebuah majalah sambil angkat kaki. Pusta bilang namanya Pars, dia memang gemar melakukan semacam hobi aneh yang jika dikatakan dalam deskripsi tulisan akan terlihat sebagai sebuah gaya bahasa sinekdoke pars pro toto. Dan benar memang, suatu hari aku masuk lagi di bilik favorit orang itu, dan aku melihat wajah Pars, sementara tubuhnya yang lain hilang ditelan buku-buku. Pusta pernah bercerita juga bila dahulu Pars pernah mendatangi perpustakaan itu, dan batang hidungnya tidak terlihat.

Kemudian aku mengenal lebih banyak orang di Desa Bahasa. Terutama kala Poliglot mengajakku paksa menuju sebuah pentas drama di malam Jumat yang diselenggarakan di taman pusat desa. Aku kira itu pentas biasa tetapi ketika sampai, semua penduduk desa sudah berkumpul di sana. Aku duduk tepat di sebelah Poliglot, si pramuwisata terkenal, tetapi orang-orang tidak melihatku sebagai temannya. Jadi walau aku mengenal lebih banyak penduduk desa dari percakapan bersama Poliglot, tetapi mereka tetap tidak mengenalku. Aku tetap seorang Figuran. Poliglot tertawa memikirkannya. Sampai di tengah pementasan, ada seorang laki-laki berbadang ceking-tinggi yang memainkan perannya. Dia memakai kostum jubah hitam dan memakai topeng besi dan baju baja untuk ksatria. Aku tidak tahu mengapa para perempuan seketika bersorak menyambut gendang telinga yang pecah, tetapi Poliglot bilang si cekinglah pemeran utamanya, namanya Baku dan dia terkenal di desa itu. Aku bertanya mengapa namanya tidak sekalian aktor, jawabnya karena baku artinya pokok dan utama. Jika diibaratkan, Baku ialah seorang bintang utama dan pokok pikiran para remaja putri. Berbanding terbalik dengan figuran sepertiku. Di akhir acara, saat aku pergi ke toilet yang letaknya tidak jauh dari panggung. Aku melihat laki-laki berbadan ceking itu di sana.

“Siapa kamu?” tanyanya. Mungkin dia waspada dibuntuti stalker, atau apapun. Tetapi aku terdiam kemudian tersenyum sendiri. Berkata, “Figuran.” Kemudian aku pergi meninggalkannya dan dia menatapku sebagai perempuan aneh. Aku berpikir, jika ini adalah novel maka dialogku hanya akan berakhir di sana, dan Baku segera lupa dengan wajahku.

Besoknya ketika pagi, aku terbangun begitu jeritan seseorang memenuhi atap-atap rumah penduduk desa. Dialah Interjeksi, si pembawa berita. Int jika mendapat berita darurat, akan berseru-seru mengelilingi desa dengan sepeda bututnya. Jika itu terjadi, maka semua orang akan berdiri di teras rumah hanya untuk melihatnya lewat. Orang-orang akan mulai membanding-bandingkannya dengan saudara-saudaranya; Numeralia dan Verba. Nume seorang ahli matematika, dia kaya. Begitupun Ver, penggila kerja baik dulu, sekarang, dan seterusnya. Mereka semua kaya, Int tidak. Kemudian pembahasan akan berakhir mengenai Argumen, pembesar yang keranjingan bermain tipu-tipu jika ditanyai uang kas desa. Dan ketika perdebatan itu menjadi-jadi, Tritagonis datang menengahi dan membubarkan perkumpulan maksiat itu. Sementara Poliglot dan aku kembali bekerja.

Di hari ke sepuluh aku bekerja sebagai tukang rapi-rapi, Pusta tiba-tiba datang menghampiriku dengan berbunga delima. Dia bilang Majas, penyair terkenal Desa Bahasa sedang datang mampir. Kebetulan Pars tidak datang, jadi kebiasaan menenggelamkan diri dalam tumpukan buku ikut absen hari itu. Aku ikut lega karena tidak perlu menata ulang hasil perbuatan Pars. Kemudian sambil mencarikan buku yang dimintai Maja, aku mendengar suara tembakan di sudut ruang lain dan tak lama Plot, detektif dari kepolisian datang menyerbu. Rupanya uang bank sebelah perpustakaan lenyap dan pelaku diduga bersembunyi tidak jauh dari sini. Plo meminta semua karyawan berkumpul, dan tersaring dua saksi untuk kelengkapan kasus itu. Maja dan Hiperbola. Hiper adalah staf bank yang melihat pelaku. Sedangkan Maja kebetulan duduk menungguku di samping jendela. Dia bersaksi melihat orang mencurigakan melewati jalanan.

“Aku melihat debu-debu beterbangan dan matahari menyorot orang itu di tengah kegelapan,” kata Maja dramatis. Padahal sekarang matahari bersinar terik merata. “Jantungku berdebar aneh melihat jaket pekatnya yang berkibar misterius, dia seakan menyihirku dengan satu persatu langkahnya yang gagah-gumawa.”

“O, ya, benar! Orang itu memakai pakaian serba hitam, sepertinya semua kegelapan mengendap di tubuhnya.” Hiper memanas-manasi dengan hiperbola. “Langkahnya begitu cepat, bumi ini dibuat miring untuknya.” Aku tidak tahu apakah Plo akan percaya pada mereka. Tetapi aku tidak menduga Plo akan diam saja.

“Sudah kuduga...” selanya. “Pelakunya pasti Krim! Kriminal!” Semua orang di ruang interogasi menatap Plo. Plo telah menyusun alur pencurian itu di kepalanya, dan menemukan jawabannya sendiri. Aku bahkan tidak tahu pelakunya akan ditemukan secepat itu. Tetapi Pusta segera tertawa melihat reaksiku.

“Dia memang pintar menyusun alur-alur kejadian di kepalanya dengan rapi, Fi. Tetapi sebenarnya memang tidak ada penjahat di desa ini selain Krim(inal) dan Argu(men),” bisiknya padaku. Aku menatapnya tidak percaya dan Pusta hanya balas mengedikkan bahu tidak peduli.

Lai,” gumamku. Melihat langit-langit Desa Bahasa dari jendela. Langit mulai merona dan awan-awan bergumbul dekat sang surya. Desa ajaib yang terpencil mulai menemui gelap. Lalu aku merendahkan pandanganku pada jalanan di luar yang tersiram sisa cahaya senja, dan aku tidak sengaja saling bertatapan dengan orang lewat. Dia tersenyum ramah padaku dan aku ikut tersenyum kaku padanya. Ketika orang itu pergi, satu kalimat yang terlintas dipikiranku adalah:

Aku melihat debu-debu beterbangan dan matahari menyorot orang itu di tengah kegelapan.[*]

Ikuti tulisan menarik Nakhla Bāsiqāt lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB