Sinyo Sipit - Anak Tionghoa yang Ikut Mempertahankan Kemerdekaan di Surabaya

Selasa, 11 Maret 2025 09:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sinyo Sipit
Iklan

Novel karya Basuki Soejatmiko yang menggambarkan dilema orang-orang Tionghoa di awal Kemerdekaan.

Judul: Sinyo Sipit

Penulis: Basuki Soejatmiko

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun terbit: 2017 (e-book)

Penerbit: Rama Press Institue

Tebal: 315

ISBN:

 

“Aku ikut berjuang bersamamu...”

Novel Sinyo Sipit karya Basuki Soejatmiko ini memang belum pernah terbit cetak. Kisah perjuangan pemuda Tionghoa Surabaya ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Jawa Pos dari 29 Desember 1985 – 18 Maret 1986. Sedangkan versi ebook dibuat oleh Adam Huri (Adam Huri menyebutnya mengetik ulang) dan diterbitkan oleh Rama Press Institute, Surabaya.

Novel ini sangat istimewa karena menggambarkan suasana batin orang-orang Tionghoa di awal Kemerdekaan, khususnya di Surabaya. Basuki Soejatmiko melengkapi kisahnya dengan fakta-fakta sejarah yang sudah ditulis maupun yang menjadi ingatan banyak pihak. Misalnya tentang pembentukan Po An Tui, posisi press Tionghoa dan keterlibatan para pengusaha Tionghoa Surabaya dalam mendukung pejuang kemerdekaan. Basuki Soejatmiko juga menyinggung posisi Negeri Tiongkok terhadap kemerdekaan Indonesia. Basuki bahkan menyebut Tiongkok telah mengakui kemerdekaan Indonesia sebelum India dan Mesir.

Tokoh utama novel ini adalah seorang pemuda Tionghoa bernama Hian Biaw. Hian Biaw adalah anak seorang Tionghoa kaya, yaitu Mayor Phe Boen Gwan. Hian Biaw dijuluki Sinyo Sipit oleh kawan-kawan seperjuangannya. Anak tunggal Mayor Tionghoa tersebut ikut berperang karena ikut-ikutan teman mainnya. Hian Biaw tidak paham apa sesungguhnya perang mempertahankan kemerdekaan itu. Tetapi karena kawan-kawan bermainnya ikut bergerilya melawan Belanda, Hian Biaw juga ikut serta. Hian Biaw masih remaja saat memutuskan bergabung dengan para pemuda pejuang. Hian Biaw meninggalkan keluarganya untuk berjuang bersama para pemuda. Ayahnya sangat mendukung pilihan Hian Biaw. Namun ibunya tidak setuju atas keputusan anaknya. Ibunya sangat khawatir pada keselamatan anaknya.

Konflik antara Hian Biaw, serta ayah dan ibunya dipakai oleh Budiman Soejatmiko untuk menggambarkan betapa galaunya orang-orang Tionghoa dalam menghadapi situasi awal Kemerdekaan. Kutipan-kuptipan berikut menggambarkan bagaimana sang pemuda Hian Biaw dan masyarakat Tionghoa Surabaya memaknai keterlibatannya dalam perang: “Apa yang dapat dilakukan seorang anak muda seusia itu untuk berjuang? Lagi ... apa yang mau diperjuangkan? Proklamasi... Bukankah itu urusan orang Jawa? Bukankah itu urusan Bung Karno?”. Bukankah mereka orang-orang Tionghoa tak ada sangkut-pautnya dengan Proklamasi itu? Bukankah pemerintah Belanda selama ini memberikan kecukupan hidup pada mereka? Mengapa mereka harus membantu orang-orang Jawa memberontak dari Belanda setelah Jepang jatuh?“

Selain keraguan di internal orang Tionghoa, keraguan tentang motif perjuangan orang Tionghoa juga dipertanyakan oleh orang-orang Jawa. Effendi, teman seperjuangan Hian Biaw mempertanyakan untuk apa Hian Biaw ikut berjuang. “Habis untuk apa perjuanganmu? Apa yang mau kau perjuangkan? Kau orang Tionghoa. Ini urusan orang Indonesia”. Perjuangan orang Tionghoa tidak diterima oleh pihak Indonesia.

Perang memang membawa dilema. Perang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya tidak hanya menimbulkan keraguan di kalangan orang Tionghoa. Orang Jawa pun ada yang tidak setuju dengan perjuangan. Ayah Effendi yang ambtenar tidak merestui anaknya ikut berjuang. Sebab ayah Effendi ingin Belanda kembali dan ia bisa bekerja seperti jaman Belanda dulu. Semua pihak terbelah pendapatnya.

Orang Tionghoa terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang pro Tiongkok. Kelompok kedua adalah mereka yang pro Belanda atau yang lazim disebut sebagai kelompok Packard. Sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok pro Indonesia. Bagi kelompok yang pro Tiongkok, abai terhadap perjuangan kemerdekaan atau mendukung Belanda. Sedangkan yang pro Belanda sangat berharap Belanda bisa kembali memerintah Hindia Belanda sehingga posisi mereka sebagai warga kelas dua bisa dipulihkan.

Kelompok yang pro Indonesia tidak sepenuhnya solid. Ada yang terang-terangan mendukung perjuangan kemerdekaan, ada pula yang sembunyi-sembunyi. Tokoh-tokoh Tiongha Jawa Timur dalam novel ini. Mereka yakin bahwa Indonesia akan merdeka sepenuhnya. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari Indonesia, orang-orang Tionghoa juga harus ikut berjuang. Basuki Soejatmiko bahkan memuat utuh pidato Oei Tjong Hauw, tokoh pro Kemerdekaan di Jakarta untuk menunjukkan posisi orang Tionghoa terhadap kemerdekaan Indonesia.

Kesadaran untuk membantu pejuang di Surabaya muncul di Sebagian orang Tionghoa. Namun bagaimana mewujudkan dukungan ternyata berbeda-beda. Ada yang percaya kepada para pejuang, sehingga mendukung langsung para pejuang ini dengan menyediakan senjata dan dukungan keuangan. Sebab mereka meragukan para pejuang itu benar-benar berjuang dan bukan hanya kelompok perampok. Namun ada juga yang lebih suka mendukung perjuangan orang Tionghoa yang sudah lebih jelas arahnya seperti John Lie. Mereka lebih suka mendukung John Lie yang sudah jelas-jelas berjuang untuk mencarikan senjata bagi laskar yang terorganisir.

Selain dari posisi politiknya, Basuki Soejatmiko juga menunjukkan orang-orang Tionghoa avonturir yang memanfaatkan keadaan chaos untuk kepentingannya sendiri. Orang-orang Tionghoa ini membobol gudang-gudang di Tanjung Perak untuk mengambil barang-barang yang disimpan oleh Jepang yang sudah disegel oleh Republik. Mereka ini merampok!

Ada juga Tionghoa bajingan yang mengkhianati sesama Tionghoa demi mendapat untung. Misalnya Babah Tan yang memalsukan senjata dalam peti saat Mayor Phe Boen Gwan memesan senjata darinya untuk mendukung para pejuang. Bukannya berisi senjata, tetapi peti-peti tersebut berisi batu. Tapi ada juga yang secara diam-diam mendukung, seperti Liem Seeng Tee (pengusaha rokok) yang membantu dengan mengirimkan senjata yang disembunyikan dalam truk-truk yang mengangkut rokok dari Surabaya ke daerah para pejuang.

Di bagian akhir novel, Basuki Soejatmiko melanjutkan kisah kesengsaraan orang Tionghoa melalui tokoh Hian Biaw. Hian Biaw kehilangan ibunya yang dibunuh oleh pejuang yang salah paham. Pejuang mendatangi rumah Mayor Phe karena meraka Mayor Phe mendukung Po An Tui.

Setelah Indonesia merdeka, Hian Biaw dan ayahnya membaktikan dirinya dengan ikut serta mendirikan sekolah dan koperasi di desa. Namun mereka harus terusir karena adanya kebijakan PP 10. Perjuangan mereka tidak patah. Setelah terusir dari desa, Mayor Phe dan Hian Biaw mendukung upaya Bapperki untuk membenahi pendidikan Indonesia. Namun nasip malang menimpa mereka. Mereka ditangkap karena dianggap komunis. Hian Biaw dibuang ke Pulau Buru. Setelah bebas dari Pulau Buru, Hian Biaw mendatangi bekas rumahnya. Ternyata rumahnya telah beralih kepemilikan. Akhirnya Hian Biaw menjadi tukang becak di Surabaya. 909

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler