Refleksi Singkat: Awan Hitam Menyelimuti 27 Tahun Reformasi

Rabu, 21 Mei 2025 08:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Royan Reformasi
Iklan

27 tahun Reformasi menyisahkan banyak tantangan. Reformasi mendapatkan banyak tantangan dan perlawanan dari kekuatan lama di masa lalu.

Bulan Mei 1998 menjadi bagian sejarah penting bagi kelompok aktivis pro demokrasi, mahasiswa, dan elemen masyarakat sipil lainnya dalam menciptakan reformasi dan demokrasi di Indonesia. Mereka berhasil menumbangkan rezim tirani Orde Baru setelah berkuasa kurang lebih 3 dekade.

Lengsernya Orde Baru juga dipicu oleh sejumlah momentum. Dari krisis moneter, ketidakpercayaan sekaligus ketidakstabilan politik, terbelahnya elite partai dan militer, hingga penembakan secara brutal kepada mahasiswa yang menelan korban jiwa. Faktor-faktor tersebut membuat mahasiswa dan elemen sipil lainnya turun ke jalan dan merasa sudah saatnya rezim korup ini turun dari kekuasaannya.

Aksi-aksi yang awalnya berjalan damai dari mahasiswa berubah menjadi aksi brutalitas aparat yang sewenang-wenang. Begitulah cara main dari rezim otoriter dan korup. Mereka selalu menggunakan cara-cara kekerasan dan menggunakan hukum sebagai alat legitimasi untuk meredam gerakan mahasiswa.

Namun, perlawanan dari mahasiswa dan elemen sipil lainnya terus membesar, meluas, dan tak terbendung. Hingga akhirnya, pada 21 Mei 1998, seorang diktator bernama Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Mundurnya Soeharto merupakan kemenangan bagi kelompok pro-demokrasi.

Pernyataan resmi terkait pengunduran diri dari Soeharto disambut gembira oleh para mahasiswa dan elemen sipil lainnya. Sambutan itu diluapkan dengan cara berpelukan satu sama lain, berteriak sambil mengepalkan tangan ke langit, hingga linangan air mata. Itulah luapan emosi dari hasil perjuangan yang panjang dan melelahkan.

Di balik kemenangan kecil tersebut ada harga yang harus dibayar mahal. Ada orang tua yang harus merelakan anaknya yang hilang atau tertembak. Ada kejahatan sistematis yang ditujukan kepada orang-orang etnis Tionghoa dalam bentuk penjarahan, teror, hingga pemerkosaan atau kekerasan seksual. Dalam sejumlah laporan, pelakunya bercirikan berambut cepak dan berbadan tegap.

 Orde Baru telah meninggalkan luka mendalam bagi banyak orang. Tidak hanya situasi ekonomi dan politik yang kacau, melainkan juga konflik horizontal, kebal hukum, hingga budaya KKN yang kental. Lalu, setelah 27 tahun Reformasi, bagaimana kondisi demokrasi dan hak asasi di Indonesia? Apakah Reformasi telah berhasil mencapai titik keberhasilan?

Sayangnya, tidak sama sekali. Seorang yang bijak mengatakan, lebih mudah menggapai sesuatu daripada mempertahankan sesuatu. Itulah kondisi reformasi saat ini. Walaupun, mencapai reformasi sama sulitnya dalam mempertahakan reformasi, agar selalu berada dalam jalur.

Dalam proses Reformasi 98 silam, aktivis-aktivis pro-demokrasi diculik dan dilenyapkan. Kendati demikian, ada yang diculik lalu dihilangkan, tetapi ada juga yang hilang, kemudian masuk bilik kekuasaan. Kini, agenda-agenda Reformasi pun turut hilang. Kekuasaan dari pemerintahan  hari ini terus berupaya untuk menghilangkan jejak sejarah dan agenda perjuangan Reformasi 1998.

Setidaknya, dapat dilihat dari sejumlah hal. Pertama, penyensoran terhadap ekspresi seni dan media. Rezim yang baru— juga diisi oleh kekuatan orang-orang masa lampau terlihat anti terhadap ekspresi seni dan kebebasan media.

Dimulai dari pembredelan terhadap karya lukis, lagu, dan teater. Tak hanya itu, baru beberapa bulan berkuasa, sudah ada teror kepada media. Teror itu dilakukan dengan mengirimkan kepala babi dan bangkai tikus. Ini bentuk ancaman terhadap kebebasan ekspresi yang dijamin oleh konstitusi.

Kedua, baliknya kekuatan militer ke dalam ranah-ranah sipil. Reformasi 1998 membawa agenda untuk memukul mundur militer ke barak dan menjaga jarak dari kehidupan sipil. Akan tetapi, beberapa bulan lalu, revisi UU TNI yang kontroversial disahkan tanpa proses partisipasi dan transparansi yang cukup. Dengan UU yang baru, tentara bisa menduduki jabatan-jabatan sipil sebagaimana di masa Orde Baru.

Masuknya atau meluasnya peran tentara ke dalam kehidupan sipil tidak hanya menciderai amanat reformasi, melainkan juga mengancam supremasi sipil. Dalam negara demokrasi, supremasi sipil menjadi penting untuk mengontrol dan mengawasi angkatan bersenjata dan penuh kekuatan. Tanpa supremasi sipil, tentara dapat melakukan tindakan-tindakan berlebih sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru.

 Ketiga, upaya sistematis untuk menghilangkan jejak kotor Soeharto dan menjadikan dirinya sebagai pahlawan nasional. Soeharto adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Dia juga adalah simbol dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dan juga salah satu pemimpin terkorup di dunia pada abad ke-20

Gelar pahlawan tidak pantas disematkan kepada mereka yang korup, tidak memiliki integritas dan moralitas, haus kekuasaan, dan tamak. Soeharto menjadi Presiden dan turun dari kekuasaannya dengan mengorbankan banyak darah dan nyawa demi ambisi politiknya. Dan, hal tersebut tidak mencirikan sosok pahlawan.

Situasi hari-hari ini cukup sulit dan menantang bagi orang-orang yang mencoba mempertahankan dan menjaga reformasi dan demokrasi yang diraih dengan susah payah. Hingga saat ini, reformasi dan demokrasi mendapatkan perlawanan keras dari orang-orang yang masih menjadi bagian dari rezim korup masa lalu.

Mahasiswa dan masyarakat sipil harus terus solidaritas dan merapatkan barisan demi menjaga serangan demi serangan dari orang-orang yang memainkan isu-isu populis dan nasionalis. Meskipun, ciri-ciri dan gaya kepemimpinannya tak lebih dari seorang fasis

Bagikan Artikel Ini
img-content
Arman Ramadhan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler