Gerakan Konservasi Bersama di Ende untuk Merawat Bumi dan Menabur Masa Depan

Rabu, 9 Juli 2025 14:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Foto Tanam Pohon
Iklan

Merawat Bumi, Memelihara Kehidupan: Kolaborasi Strategis Tananua dan Universitas Flores dalam Gerakan Konservasi di Kabupaten Ende

***

Di tengah krisis ekologis global yang kian mengancam, sebuah gerakan lokal hadir memberikan harapan: kolaborasi antara Tananua Flores, Universitas Flores, dan pemerintah desa dalam gerakan konservasi bertajuk Merawat Bumi, Memelihara Kehidupan! Gerakan ini bukan sekadar simbol perayaan ulang tahun emas Universitas Flores, tetapi sebuah langkah kolektif yang menegaskan bahwa merawat bumi adalah tanggung jawab lintas sektor dan lintas generasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada 5 Juli 2025, lebih dari 558 peserta yang terdiri dari warga, tokoh adat, tokoh perempuan, pemuda, dan akademisi Universitas Flores terlibat dalam kegiatan konservasi yang dilaksanakan serentak di empat desa: Detubela, Mautenda Barat (Wewaria), Mbobhenga, dan Malawaru (Nangapanda), Kabupaten Ende. Sebanyak 14000 anakan pohon kayu-kayuan (Muntin, Merbau, Sengon) dan 1.000 anakan durian disalurkan, dengan lebih dari 2.189 anakan telah berhasil ditanam. Kegiatan ini menjangkau 16 titik strategis: 8 di titik sumber mata air 4 titik di kebun warga 6 dibantaran sungai.

Kolaborasi sebagai Strategi Konservasi Sosial-Ekologis

Keterlibatan Universitas Flores, sebagai institusi pendidikan tinggi, menjadi nilai tambah yang signifikan. Melalui gerakan "Kampus Berdampak", kampus tidak hanya mendidik di ruang kelas, tetapi hadir langsung di lapangan—belajar bersama masyarakat dan menjadi bagian dari solusi lingkungan. Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Flores, Lori Gadi Djou, bahkan menyuarakan harapan besar bahwa desa-desa seperti Detubela dapat menjadi “desa wisata makan durian” di masa depan. Ini bukan sekadar retorika, tetapi visi ekologis yang berpadu dengan impian ekonomi berkelanjutan.

Sementara itu, Tananua Flores terus mempertegas peran strategisnya dalam memperkenalkan model hutan keluarga, sebagai pendekatan berbasis kearifan lokal yang menjawab kebutuhan kayu tanpa harus menebang hutan alam. Menurut Hironimus Pala, Ketua Pengurus Yayasan Tananua, kerja sama dengan desa dan perguruan tinggi adalah bentuk adaptasi terhadap krisis iklim yang juga dirasakan para petani di pelosok.

Konservasi tidak lagi menunggu kehancuran terjadi. Kepala Desa Detubela, Eustakheus Kota, menyadari pentingnya tindakan preventif untuk menjaga mata air Lou dan Muru Menge, yang menopang kehidupan tidak hanya di desanya, tetapi juga di Tanali dan Welamosa. Dalam sudut pandang lokal, ini adalah bentuk kepemimpinan ekologis: bertindak sekarang, bukan menunggu bencana datang.

Konservasi yang Inklusif dan Partisipatif

Salah satu kekuatan dari gerakan ini adalah inklusivitasnya, dari berbagai unsur yang hadir, termasuk perempuan dan pemuda. Meskipun penanaman belum bisa dilakukan secara keseluruhan karena kondisi cuaca yang kering dan ada wilayah yang hujan, antusiasme warga tetap tinggi. Agnes Inemete (52), tokoh perempuan dari desa malawaru , menyampaikan rasa syukur atas dukungan Unflor dan Tananua. Ini membuktikan bahwa konservasi bukan hanya ranah teknis, tetapi juga ranah sosial—tempat suara perempuan dan komunitas didengar dan dihargai.

Pemerintah Desa Malawaru pun menunjukkan kehati-hatian yang bijak: menunda sebagian penanaman hingga curah hujan cukup agar upaya konservasi tidak mubazir. Keputusan ini mencerminkan kedewasaan dalam mengelola sumber daya secara adaptif dan berorientasi jangka panjang.

Dari Simbolik ke Sistemik

Apa yang dilakukan oleh Tananua dan Universitas Flores adalah model kolaborasi lintas sektor yang layak ditiru. Di tengah banyak program konservasi yang berakhir sebagai seremonial atau proyek jangka pendek, gerakan ini menunjukkan arah baru: konservasi yang berbasis komunitas, didukung ilmu pengetahuan, dan diikat oleh nilai gotong royong. Peran-peran tokoh-tokoh penting harus menunjukan jalan agar masyarakat di desa-desa mudah diajak untuk sadar dalam melakukan konservasi.

Namun, tantangan besar masih membentang: bagaimana memastikan keberlanjutan pemeliharaan pohon-pohon yang telah ditanam? Bagaimana menjadikan konservasi ini sebagai bagian dari kebijakan desa, bukan hanya kegiatan incidental semata? Perlu ada sistem monitoring, pelibatan sekolah dan pemuda secara terus menerus, serta pembiayaan berkelanjutan yang tidak hanya mengandalkan dana hibah perluh sebuah kesadaran dari komunitas masyarakat itu sendiri.

Gerakan “Merawat Bumi, Memelihara Kehidupan” harus menjadi awal dari gerakan konservasi yang sistemik, bukan akhir dari sebuah proyek atau sekedar seremonial semata namun ada keberlanjutan.

Dalam wajah-wajah petani, perempuan, pemuda, dan akademisi yang turun tangan langsung di tengah ladang dan hutan, kita melihat harapan. Bumi tidak dijaga oleh teori saja, tapi oleh tindakan nyata—oleh tangan-tangan yang menanam, merawat, dan berharap. Jika setiap desa, setiap kampus, dan setiap lembaga berjalan bersama seperti ini, maka masa depan bumi akan lebih terjaga—bukan hanya untuk kita, tetapi untuk anak cucu di masa mendatang.***

Oleh: JFM

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler