x

Iklan

Syukri MS

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

[10 Tahun Tsunami] Kehilangan Ibu Tak Membuat Mereka Runtuh

Mengenang 10 tahun tsunami Aceh: mendekati Lambaro Aceh Besar, bau amis mulai menusuk hidung. Ternyata, di simpang empat Lambaro, ribuan mayat terjejer dibawah pohon waru

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk melupakan sebuah kehilangan. Ketika ibu dan sanak keluarga hilang dan tewas dihempas gelombang tsunami yang sangat dahsyat. Begitulah tali sejarah telah ditorehkan di bumi Aceh, untuk dikenang dan dijadikan pelajaran.

Masih terang dalam ingatan saya, hari paling bersejarah bagi sebuah generasi di Aceh,  Minggu 26 Desember 2004, sepuluh tahun silam. Pagi itu, saya keluar rumah untuk menghadiri sebuah acara gerakan penghijaun (gerhan) di Kampung One-one Aceh Tengah. Acara itu akan dibuka oleh Pangdam Iskandar Muda (IM) waktu itu Mayjen Endang Suwarya.

Begitu bersiap-siap keluar dari rumah, baru mau melangkah keluar dari pintu, tiba-tiba ada hentakan keras. Bumi bergoyang makin lama makin keras. Tiang listrik yang berada di Jalan Al Muslim Takengon, tepat di depan rumah saya, nyaris copot dihentak gempa dahsyat itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang-orang berlarian keluar rumah, menjerit, sambil memekikkan kalimah tauhid berulang-ulang. Beberapa orang yang sedang berjalan, terpaksa duduk di atas badan jalan. Guncangan gempa menyebabkan mereka tak bisa berjalan normal.

Telepon kehilangan sinyal

Saya belum pernah merasakan guncangan gempa yang demikian lama dan dahsyat. Belum ada informasi tentang kekuatan gempa hari itu. Apakah gempa ini juga melanda seluruh daerah di Aceh, belum ada informasinya. Mencoba menghubungi kakak sulung Anisah yang tinggal di Desa Lampulo Banda Aceh, sinyal telepon rumah maupun handphonenya tidak aktif.

Nomor telepon saudara, kerabat dan sejawat di Banda Aceh juga tidak aktif. Memang selama ini sinyal telepon dari Takengon kurang baik. Saya sempat berpikir bahwa sinyal telepon di Takengon yang bermasalah.

Sebenarnya masih penasaran, apakah mereka yang di Banda Aceh juga merasakan gempa ini? Mencoba menghubungi ponakan yang sedang studi S-2 di UI Jakarta, sinyalnya tersambung. Dia juga belum tahu keadaan sanak keluarga yang berada di Banda Aceh. Menurut dia, telepon di Banda Aceh terputus sama sekali akibat gempa tersebut. Saya sampaikan, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa terhadap mereka.

Setelah itu, saya melanjutkan langkah menuju ke Kampung One-one,  menghadiri acara penanaman pohon yang dipimpin oleh Pangdam IM. Anehnya, belum selesai acara gerhana itu, tiba-tiba Panglima sudah meninggalkan lokasi acara dengan helikopter. Kami tidak pernah tahu, ternyata Panglima mendapat berita radio tentang Kota Banda Aceh yang dilanda tsunami.

Akhirnya semua peserta gerhan kembali ke rumah masing-masing tanpa pernah mengetahui bahwa ibukota Provinsi Aceh telah luluh lantak disapu tsunami. Soalnya, Takengon adalah kawasan yang paling sering diguncang gempa. Gempa pagi Minggu itu dianggap biasa oleh warga, meskipun saya masih tetap cemas terhadap sanak keluarga di Banda Aceh.

Di rumah, beberapa stasion TV menyiarkan breaking news tentang warga yang panik di Medan. Kemudian, disiarkan pula gambar air laut yang sedang naik di Panton Labu, Aceh Utara. Sampai malam itu, belum ada sebuah stasion televisi pun menyiarkan kondisi yang terjadi di Banda Aceh.

Banda Aceh porak-poranda

Senin 27 Desember 2006, seorang sejawat yang baru pulang dari Banda Aceh menceritakan tentang ibukota Provinsi Aceh itu telah porak-poranda di terjang air laut. Hotel Medan Peunayong tempatnya menginap dipenuhi mobil dan kapal nelayan. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalanan Peunayong.

Sebelum pulang ke Takengon, dia sempat naik ke lantai tiga Hotel Medan itu untuk mengambil koper. Dia terkejut ketika melihat Rutan Kedah dan rumah penduduk di Kampung Kedah sudah hilang semuanya. Dari lantai tiga Hotel itu sudah terlihat bibir pantai dan laut.

Saya mulai bimbang mendengar kisah dari sejawat itu. Apabila Rutan Kedah sudah hancur, tentu rumah kakak sulung yang terletak di Lampulo pasti lebih hancur lagi. Pasalnya, Kampung Lampulo berada sangat dekat dengan bibir pantai. Ditengah kebimbangan itu, handphone berdering.

Ponakan yang dari Jakarta memberitahukan bahwa Kota Banda Aceh telah hancur diterjang tsunami. Informasi yang diperolehnya menyebutkan bahwa ibu, dua kakaknya serta adiknya paling bungsu telah hilang. Hanya, abang dan ayahnya yang selamat. Mereka menumpang di rumah pamannya.

Saya minta dia segera terbang ke Banda Aceh. Ibu, kakak dan adiknya harus segera ditemukan. Saya juga akan segera berangkat ke Banda Aceh dengan menyiapkan semua perbekalan, diantaranya air kemasan dan dua jerigen premium, Selasa pagi (28/12/2004), saya  berangkat ke Banda Aceh bersama beberapa teman yang juga kehilangan kerabatnya.

Mayat terjejer dibawah pohon

Perjalanan Takengon ke Banda Aceh yang biasanya dapat ditempuh dalam waktu 6 jam, hari itu harus memakan waktu selama 10 jam lebih. Keterlambatan ini karena sebagian besar permukaan jalan dipenuhi oleh material kayu dan bangunan sisa hempasan gelombang tsunami.

Sekitar pukul 20.00 WIB, kami tiba di depan Polsek Sibreh Aceh Besar yang dijadikan posko warga Aceh Tengah selama peristiwa tsunami itu. Setelah memperoleh informasi di Posko itu tentang jalur jalan yang bisa dilalui menuju ke pusat Kota Banda Aceh, kami melanjutkan perjalanan ke arah kota.

Mendekati Lambaro Aceh Besar, bau amis mulai menusuk hidung. Ternyata, di simpang empat Lambaro, ribuan mayat terjejer dibawah pohon waru (siren), termasuk di kaki lima ruko. Dengan jantung yang berdebar, mobil bergerak perlahan menuju ke pusat Kota Banda Aceh.

Di simpang Surabaya Banda Aceh, mobil Kijang biru itu berbelok kekanan melintasi jembatan Surabaya. Subhanallah, ribuan mayat mengapung diantara material kayu dan sampah bangunan. Aroma bau amis makin menyengat. Tidak pernah terbayang dalam hidup ini bakal melihat mayat sebanyak itu.

Sampai di ujung jembatan, mobil membelok ke arah kiri menuju ke Kampung Kuta Alam, pusat Kota Banda Aceh. Menuju ke rumah mertua seorang penumpang yang semobil dengan saya, alhamdulillah mertua teman itu selamat dari ganasnya tsunami.

Dari Kampung Kuta Alam, mobil menuju ke arah Simpang Lima. Pusat Kota Banda Aceh biasanya gemerkap, kini sangat gelap karena tidak ada penerangan listrik. Di beberapa simpang jalan, orang-orang yang selamat sedang menyalakan api unggun.

Di depan api unggun, orang-orang itu semuanya tertunduk tanpa sepatah kata pun yang terucap. Disekitarnya terlihat mayat-mayat orang dewasa dan anak-anak terbujur kaku. Mayat itu sudah dipindahkan ke median dan trotoar jalan sehingga jalan protokol itu dapat dilalui oleh kenderaan evakuasi.

Kakak sulung meninggal

Saya makin cemas melihat mayat-mayat yang bergelimpang. Saya meminta sopir mobil Kijang warna biru itu untuk menerobos ke arah Kampung Lampulo melalui Jalan Darma, Kampung Laksana.

Memasuki Jalan Dharma, mobil bergerak lurus ke arah Lampulo. Mobil itu hanya mampu menembus sampai depan masjid Kampung Laksana karena jalan berikutnya terhalang material bangunan. Ternyata, permukiman yang padat penduduk  itu telah menjadi kota mati. Kota tanpa kehidupan, tanpa listrik, mayat menumpuk di masjid Kampung Laksana.

Benar-benar seperti berada di medan perang “Sekigahara,” seperti digambarkan Eiji Yoshikawa dalam novel Musashi. Penuh dengan mayat, tidak tahu mau bertanya kepada siapa. Sekali lagi, Banda Aceh benar-benar menjadi kota mati pada waktu itu.

Saya meminta sopir menuju ke Kampung Lamlagang, di Timur Banda Aceh. Menurut informasi petugas Posko Sibreh, kawasan itu tidak terkena gelombang tsunami. Benar, di Kampung Lamlagang, saya bertemu dengan keluarga kakak ipar. Disinilah saya dapatkan informasi akurat tentang kakak sulung dan keluarganya.

Rupanya, kakak sulung bersama dua putrinya digulung oleh gelombang tsunami saat berlari meninggalkan rumahnya. Kedua putrinya selamat, suami dan dua putranya juga selamat. Mayat kakak sulung sudah ditemukan hari Minggu sore setelah kejadian. Malam itu juga jenazah kakak sulung dimakamkan di kampung halaman, sekitar 120 Km dari Banda Aceh.  

Setahun setelah tsunami, suaminya meninggal dunia, menyusul kakak sulung ke alam baqa. Kelima ponakan itu akhirnya menjadi anak yatim piatu. Hebatnya, kehilangan ibu tidak membuat semangat mereka runtuh.

Mereka beruntung, karena menjadi yatim piatu bukan untuk ditangisi. Tsunami tidak menghentikan langkah untuk sukses. Semua peristiwa itu malah membuat mereka menjadi anak-anak tangguh. Tsunami makin mengkristalkan tekad mereka untuk mewujudkan “mimpi” sang bunda. Mimpi itu sederhana, sang bunda ingin anak-anaknya dapat menempuh sekolah setinggi-tingginya.  

Mimpi sang ibunda akhirnya menjadi kenyataan. Huwaida, putri tertuanya berhasil menyelesaikan pendidikan S-3 di Australia. Siddiq, putra keduanya sudah bekerja sebagai tenaga pengajar di IAIN Ar Raniry Banda Aceh, kini sedang menyelesaikan desertasi S-3 dari Anglia Ruskin University-Cambridge, Inggris.

Najwa, putri ketiganya telah menyelesaikan S-2 dari sebuah perguruan tinggi ternama di Malaysia, kini mengajar pada sebuah SMA di Banda Aceh. Syathiri, kandidat PHD pada sebuah universitas ternama di Inggris. Kemudian, putra bungsunya Syauqi sedang menempuh kuliah di Madinah, Arab Saudi. Lengkaplah mimpi sang bunda.

Tsunami dan kehilangan kedua orang tuanya bukan halangan bagi mereka untuk bangkit meraih masa depan, termasuk anak-anak lain di Aceh. Tsunami menjadi bagian sejarah dari kehidupan mereka, termasuk sejarah bagi penduduk Provinsi Aceh yang selamat dari bencana itu. Sepuluh tahun sudah peristiwa itu berlalu, banyak kisah mengharukan yang belum terceritakan.

 

Ikuti tulisan menarik Syukri MS lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB