x

Iklan

Moh Alie Rahangiar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Istana dan Represi

adalah represi, represi, dan represi yang membetuk menjadi NKRI—sebuah akronim yang sejak dalam pikiran (juga secara psikologis) bermakna represif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Negara hukum oportunis adalah negara yang, melalui konstitusinya, secara tegas mendasarkan diri pada hukum (dan kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban). Tapi penegakan hukum, dalam praktek, bergantung pada selerah dan kepentingan politik-ekonomi kekuasaan, berikut kelompok opportunist di lingkaran dan sekitar kekuasaan.

Tesis populer yang diajukan bertalian dengan kecenderungan oportunisme negara adalah sebab negara dikuasai para bandit pengejar rente yang lazim disebut oligark. Pada negara (dan hukum) yang digerogoti oligark, kejahatan negara terhadap warganya adalah rangakaian yang akan bergulir, berulang, dan terus-menerus. Negara, dengan segala perangkat yang ada padanya selama belum mampu di-reform secara total, akan menjadi mesin yang selalu mereproduksi kejahatan.

Reproduksi kejahatan bagi negara menjadi hal penting, sebab dengan begitu, aspirasi politik warga sedapat mungkin ditekan ke level paling minimal, bila perlu dihilangkan. Terlebih terhadap aspirasi yang menginginkan penegakan hukum dan keadilan atas kejahatan negara—yang melibatkan perangkat negara—yang terjadi baik di masa lalu maupun yang baru terjadi beberapa waktu belakangan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Intinya, karena negara di masa lalu adalah (atau setidaknya pernah menjadi) monster yang menculik, menghilangkan, dan membunuh; menggusur, merampas, dan menyingkirkan warganya, maka represi adalah konsekwesi turunan dari perilaku negara di masa lalu.

Kira-kira kalau dianalogikan menggunakan teori evolusinya Darwin, Indonesia adalah negara yang evolusinya stagnan—jika tidak bisa dibilang gagal. Sebabnya, evolusi indonesia dieksepsi oleh gerombolan oligarki. Jadilah ia setengah kera dan setengah manusia. Setengah keranya adalah kekuatan oligrarki yang rakus, tamak, korup, dan represif-intimidatif yang tersebar dan mengusai suprastruktur politik (negara) hingga sumber-sumber kehidupan (ekonomi) kolektif warga negara. Sedangkan setengah manusianya adalah kita, warga negara yang, selalu direpresi sejak Papua hingga Pulau Jawa, berlanjut ke Sumatera; dari sawah-ladang, pabrik-pabrik, sampai ke jalan-jalan kota dan depan istana negara saat berdemonstrasi.

Kekerasan negara bekerja mirip cara kerja kebohongan: kebohongan awal selalu atau sering kali diikuti kebohongan-kebohongan lanjutan/turunan. Tujuan kebohongan lanjutan adalah menutupi atau menyamarkan kebohongan awal. Demikian halnya kejahatan negara. Kejahatan negara—yang paling minimal seperti mengahalang-halangi penikmatan warga negara atas hak-haknya (hak sipil dan politik maupun ekonomi, sosial, budaya) adalah kejahatan dalam bentuk paling laten—yang terjadi hari-hari ini adalah kejahatan turunan guna menutupi kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelumnya hingga yang terjadi masa lalu, sekaligus menutupi ketidak mampuan negara menjawab dan mengakomodir aspirasi warga.

Pada konteks ini, pelarangan aksi kamisan di depan istana negara saat peringatan hari HAM 10 Desember 2015 lalu, misalnya, dapat dipahami. Istana negara, pada pengertian ini tidak sekedar wujud fisik. Lebih dari itu, istana negara adalah locus ketidak mampuan bersemayam; situs ketidak berdayaan politik, hukum, ekonomi, dst. Istanah tsb praktis tidak ada guna-gunanya. Sebab sejak bertahun-tahun yang lalu, istana telah kehilangan daulat dirinya, ia sesungguhnya tidak berdaulat atas dirinya sendiri. Bahkan mungkin sejak dalam pikirannya, ia tidak berdaulat.

Istana, sebagai simbol negara, hanya berfungsi ke dalam, kiri dan kanan. Sebatas lingkaran terdekat. Tapi jika berhadapan dengan warga, istana hanyalah simbol sebagimana simbol. Anda tentu pernah melihat patung Dewi Themis (atau Iustitia versi Roma), simbol keadilan dengan mata tertutup, pedang di tangan kanan, dan timbangan di tangan kirinnya. Patung tsb adalah Dewi Keadilan yang diambil dari mitologi Yunani,  simbol kebajikan, kadilan dan penegakan hukum.

Tapi itu hanyalah patung, benda mati. Seperti itulah istana negara dan isinya ketika berhadapan dengan aspirasi warga negara. Ia adalah eksiten yang non-eksistensial. Ia eksisten hanya dalam bentuk ide, dalam keadaan real, ia bersama sederet konsepsi ideal tentangnya adalah nothing!

Ia nothing, sebab eksisten haruslah konkret dan bukan sekedar dipikirkan. Harus faktual, real, nyata. Batasannya adalah dialamai, peng-alam-an, dirasakan. Dengan kata lain, satu-satunya ukuran keber-ada-an adalah (hanya melaui) dialami.

Istana pada pengertian ini persis seperti apa yang sebut Sartre (1943) sebagai etre en soi, segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, tak mampu menyusun tujuan keberadaan sendiri. Tujuan keber-ada-anya sepenuhnya ditentukan oleh eksistensi yang lain. Sama halnya kursi, meja, atau patung dewi keadilan. Keberadaan dirinya sepenuhnya di bawah kuasa eksistensi lain.

Kembali ke pembubaran aksi kamisan, sialnya, aksi menyambut hari HAM ini dialakukan tepat di hadapan episentrum kekuasaan yang sudah sejak lama dilucuti daulat dirinya—otoritas tanpa kedaulatan. Dan yang tersisah untuk diperhadapakan kepada warga negara hanyalah represi, represi, dan represi.

Istana dan isinya tidak lebih dari sekedar penanda bahwa negara ini juga punya istana negara, tempat tinggal kepala negara, yang juga hanya simbol. Kedunya, istana dan isinya (kepalanya) sama-sama telah kehilangan keber-ada-an, baik secara politik, hukum, ekonomi, dll.

Hal ini pula yang terbaca saat aksi Buruh di depan istana menolak PP No. 78/2015 yang dijawab dengan represi aparat pada 30 Oktober 2015 lalu. Atau represi aparat terhadap warga Paniai, Papua, yang terjadi sejak Desember 2014 lalu, dan dibiarkan berlalu tanpa proses hukum apapun.

Represi/kejahatan negara yang terjadi secara beruntun dari Paniai, Papua, sampai ke Pulau Jawa selama lebih satu tahun Jokowi-JK memimpin, adalah jelamaan negara dalam bentuknya yang paling eksistensial (konkret).

Dan sejauh ini hanya dengan itu negara menampakan dirinya. Jadi bila orang bicara tentang negara hari-hari ini, maka penggalan demi penggalan fakta yang bisa disusun adalah represi, represi, dan represi yang membetuk menjadi NKRI—sebuah akronim yang sejak dalam pikiran (juga secara psikologis) bermakna represif.

 

*Foto: Merdeka.com

 

Ikuti tulisan menarik Moh Alie Rahangiar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB