x

Iklan

Moh Alie Rahangiar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengutamakan Lebenswelt

Lebenswelt adalah solidaritas sosial dalam masyarakat yang dibangun melalui koordinasi efektif berkualitas tinggi. Lebenswelt diintroduksi oleh Jurgen Habermas sebagai suatu tatanan alamiah yang ideal dan telah hidup dalam masayarkat tradisional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lebenswelt adalah solidaritas sosial dalam masyarakat yang dibangun melalui koordinasi efektif berkwalitas tinggi. Lebenswelt diintrodusir Jurgen Habermas sebagai suatu tatanan alamiah yang ideal dan telah hidup dalam masayarkat pra-modern: tradisional. Lebenswel, menurut Habermas, adalah sebuah konsensus yang terbangun melalui proses komunikasi intersubjektif yang setara (egaliter), rasional dan saling pengertian, serta nirkekerasan. Syarat-syarat dalam pembangunan konsensus itu adalah mutlak. Habermas menyebut konsensus yang dibangun dalam frame intersubjektif itu sebagai konsensus yang legitim. Selain dari itu–konsensus yang dibangun tanpa memperhatikan syarat tersebut–adalah tidak legitim.

Pada perkembangannya, lebenswelt kemudian tersubordinasi oleh sistem–sistem dalam pengertian Habermas adalah pasar (uang) + negara (kuasa)–melalui sebuah proses yang disebutnya sebagai kolonialisasi. Seiring perekembangan masyarakat, lebenswelt kemudian tersubordinasi di bawah bayang-bayang sistem yang dominan dalam tatanan masyarakat pasca-tradisional: kapitalisme maju.

Bila ditarik ke dalam terma politik dan hukum Indonesia, maka secara sederhana, lebenswelt dapat diartikan sebagai nilai luhur-filosofis yang mengkristal menjadi buti-butir Pancasila. Pembentukan lebenswelt (Pancasila) ini pun selaras dengan rumusan yang diajukan Habermas, yakni konsensus intersubjektif yang rasional, saling pengertian, serta nirkekerasan tadi–setidaknya sejak dirumuskan dan disepakti sebagai ideologi negara, hingga saat ini, tidak ada penolakan ekstrim terhadap Pancasila–dalam pembangunannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hukum, dalam pengertian Habermas, diposisikan sebagai transformator. Habermas menempatkan hukum sebagai poros–kadang-kadang sebagai jembatan–yang  mestinya mampu mendorong sistem dan lebenswelt ke dalam horizon yang proporsional: tidak saling mendominasi. Hukum, sesungguhnya juga adalah konsensus. Dan aturan hukum yang ideal, menurut Habermas, adalah konsensus yang juga dibangun melalui proses intersubjektif, berikut sejumlah syarat tadi.

Di Fakultas Hukum, mahasiswa diajarkan bahwa lembaga Negara berikut aparatusnya adalah hukum yang berjalan secarah sosiologis. Polisi adalah hukum, Komisioner KPK dan Penyidik KPK adalah hukum, Jaksa, Hakim, Advokat adalah hukum yang hidup dan berjalan dalam masyarakat.

Hanya saja, perlu ditarik pembatas yang tegas, mana konsensus (hukum) yang dalam proses pembangunannya, memenuhi syarat, atau paling tidak mendekati proses intersubjektif dan idealisasi yang dibangun sebagai konsensus legitim yang bisa diterima secara luas. Pada konteks ini, saya melihat KPK sebagai konsensus yang mendekati legitim dalam prespektif Habermas. Argumentasinya, KPK lahir atas keinginan melawan korupsi akut pada pemerintahan pra-reformasi. Pada titik ini, tidak ada yang tidak setuju bahwa korupsi adalah kejahatan yang merugikan Negara dan harus dilawan.

Pengalaman korup negara orde-baru di bawah Soeharto adalah pelajaran sahih yang selalu bisa kita rujuk dalam melihat betapa korupsi tidak sekedar merugikan keuangan negara. Tapi juga berkelindan: berhubungan kosekwensional dengan pelanggaran/pengabaian hak-hak dasar warga negara di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun sipil-politik.

Selain itu, KPK, sebagaimana diketahui, lahir guna menjawab mandulnya Kejaksaan dan Polri ketika berhadapan dengan kejahatan korupsi selama bertahun-bertahun. Argumentasi lanjutannya, sudah menjadi rahasia umum, bahwa Polri dan Kejaksaan adalah lembaga yang korupnya mengakar sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini–tentang kebenaran klaim korupnya Polri dan Kejaksaan, bisa dilihat di surat kabar atau literatur yang tersebar di sekitar kita. Sedangkan KPK, masi lebih bisa dipercaya dibanding Polri dan Kejaksaan. Di atas beberapa argumentasi inilah, KPK kemudian didesign sebagai trigger mechanism: mendorong perbaikan terhadap lembaga Negara lainnya, termasuk Kejaksaan dan Polri agar dijalankan dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel.    

Kembali ke lebenswelt

Gonjang-ganjing dramatis yang menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah konflik KPK vs Polri. Seteruh ini tampaknya semakin memasuki babak yang menjengkelkan. Betapa tidak, semua pimpinan KPK dilaporkan atau lebih tepatnya dikriminalisasi oleh setting yang patut diduga didalangi sebagian petinggi Polri dan partai politik. Agenda pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Jokowi pun memasuki masa-masa kritis. Padahal, pemberantasan korupsi bagi Indonesia adalah bagian dari pra-syarat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan lebih luas.

Sementara Presiden Jokowi sendiri hingga saat ini belum memperlihatkan sikap tegas atas seteru ini. Banyak pihak menduga, Presiden disandera kepentingan kelompok tertentu yang ingin meraup manfaat lebih atas konflik ini. Meski telah menegaskan hanya akan tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat pada masa kampanye lalu, nampaknya Presiden tidak mampu berbuat banyak di hadapan para oligark. Visi-misi Nawacita rupanya tidak cukup menjadi kompas bagi Pemerintahan Jokowi.

Sebetulnya, selain janji politik yang terporgram dalam sembilan program prioritas bernama Nawacita itu, presiden bisa  dengan sangat mudah–harusnya memang mudah bagi presiden–menangkap kehendak rakyat yang dalam beberapa hari ini (sejak BW ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri) yang mewujud dalam protes dan seruan save KPK, save Indonesia di depan mata Presiden. Lebih dari itu,  konstitusi dan ideologi Negara adalah penunjuk arah yang lebih dari cukup guna menuntun Presiden.

Selain itu, protes warga dan penentangan terhadap perilaku korup Penyelenggara Negara adalah hal yang rasional. Rasionalitas publik tentu akan menolak seorang terduga korup dijadikan pejabat yang menugurusi hal-hal yang berhubngan dengan hajat hidup orang banyak. Sebaliknya, hanya “orang sakit” yang mendukung terduga korup mengisi jabatan publik sekelas Kapolri.

Penolakan warga terhadap Pejabat terduga korup itu adalah konsensus intersubjetif, bila dilihat dengan pendekatan Habermas. Rasionalitas kolektif dan saling pengertian terhubung antar subjek secara sadar, egaliter, serta nirkekerasan, kemudian mewujud dalam penentangan terhadap  kejahatan (korupsi), vis-a-vis gerombolan penjahat (koruptor/terduga korup) dan irasionalitas.

Maka presiden hanya perlu kembali pada kehendak rakyat, kepada lebenswelt, yakni Pancasila ditmabah UUD 1945 sebagai kristalisasi kehendak rakyat yang ligitim, rasional, saling pengertian, serta nirkekerasan.

Kini pilihannya ada pada Presiden, berpijak pada kehendak rakyat dan menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi kah, atau memilih takluk pada kepentingan oligarki dan memilih Polisi korup–terduga korup–sebagai Kapolri.

*Sumber foto: http://lbhmakassar.org/

Ikuti tulisan menarik Moh Alie Rahangiar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler