Jeruji UU ITE

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Undang-undang ITE merupakan upaya penertiban warga net dalam bersosialisasi di internet. Namun UU ini juga dapat difungsikan untuk membungkam kritikan.

Tok! Demikian palu itu berbunyi pada momen dimana tirai malam mulai melahap siang (senja). Palu itu berdetak, menyeruak dari ruang petak milik Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis sore, 8 September 2016. Dan palu itu tertuju untuk Saut Situmorang, memenjarakan si gimbal ini, si gimbal yang dikenal sebagai sastrawan kritis. Dunia sastra telah membuatnya teseret kasus pencemaran nama baik, dengan UU ITE sebagai pelor.

Apa kata Saut, "Ya mau gimana lagi, seperti inilah kira-kira kalau dunia sastra dihakimi oleh dunia hukum. Mereka tidak paham kalau itu sastra," dikutip dari Viva (5/12).

Ya, Si Saut mesti meringkuk di balik jeruji bersih, hanya lantaran makianya pada seorang sastrawan yang lain, dan makian itu mengalun di Facebook.

Konon, putusan hakim tak memenjarakan Saut dengan cukup lama. Tapi, ketokan palu di ruang hijau, tetap akan membekas di dunia sastra. Bidang, dimana kata-kata sengaja diberi nyawa dan energi, yang bila mengalun maka pasti mengipas emosi. Entah itu emosi ketidaktahuan, marah, lucu, dan sebagainya.

Kini,UU ITE telah memiliki baju baru. Baju yang muncul ditengah hiruk-pikuk Pilkada DKI, yang kebetulan menyerempet pada tamadun sensitif, agama. Kita tak tau apakah "baju" itu akan benar-benar menarik, benar-benar laku, ditengah euforia internet. Soalnya, seperti yang termaktub diatas, "baju" ini dipasarkan di tengah panasnya suhu politik. Sehingga "baju" tersebut besar peluangnya bakalan laku dikalangan politisi. Dan indikatornya dapat kita tuai, melalui tudingan makar yang ditujukan untuk segelintiran orang. Ya, beberapa aktor terduga makarĀ  menjadi tangkapan UU ITE.

Ubun-ubun ini pun menggelegak, merespon tekanan otak untuk bertanya. Apakah UU ITE merupakan siasat politik untuk membungkam kritikan? Kalaulah benar, maka kita tak usah mengusung jargon "pendidikan mencerdaskan bangsa." Toh, kritikan sebagai output pikiran orang-orang terdidik, telah diredam secara struktural oleh UU ITE. Dengan begitu, santailah para birokrat, berpestalah para teknokrat, dan merengeklah warga kebanyakan.

Seperti si sastrawan Saut, yang lembar kehidupannya direcoki putusan hukum. Hal yang sama mungkin bakal mengintai gerombolan pengkritik di negeri ini. Tapi, apakah kita harus takut sejadi-jadinya ? Agaknya tidak. Kita Tak perlu takut, bukan saja karena takut itu adalah ilusi yang kejam, melainkan sasaran kritikan juga merasakan rasa takut, bahkan malu. Lagipula kritikan punya payung istimewa, bukan semata-mata soal indikatorĀ  sikap terdidik, tapi ini menyangkut pandangan internasional: apakah negara menjamin kebebasan berekspresi?

Kritikan adalah bagian dari ekspresi, yang artinya adalah normal bila memantik emosi. Dengan demikian, ancaman ketokan palu yang dipicu UU ITE, bukanlah sesuatu yang perlu dipusingkan. Pasalnya, rasa pusing itu mestilah milik penguasa. Kalau tidak demikian, berarti bukan penguasa namanya. Dan ini sesuai dengan peribahasa Rusia, mahkota di kepala kaisar tak akan melindunginya dari rasa pusing.

Benar, kritikan merupan tool untuk mengingatkan seorang penguasa dengan rasa pusing. Rasa yang sah, bagi pejabat publik.Sebagai penutup, lontaran kritik perlu jua disampaikan ke Kemenkominfo selaku penggagas UU ITE. Misalkan berapa persen serapan anggaran ? Berapa kali menegur operator nakal ? Seberapa transparan membuat aturan dan lelang, dan tentunya masih banyak. Sebanyak jeruji yang mengintai melalui UU ITE.

artikel ini bersumber dari blog TIKPAT.com

Bagikan Artikel Ini
img-content
Da Feb

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Konsumen Telekomunikasi Rentan Dieksploitasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Makar atau Pembusukan Karakter?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler