x

Iklan

Da Feb

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konsumen Telekomunikasi Rentan Dieksploitasi

Uraian tentang tindakan operator seluler dalam mengejar profit, cendrung mengorbankan kepuasan pelanggan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belum lama ini disejumlah kios penjual pulsa di Pekanbaru, terdapat beragam kartu yang tak sesuai dengan peruntukan lokasi wilayah. Beberapa kartu tersebut bahkan ada yang berasal dari Sulawesi,Sukabumi, Denpasar, dan paling banyak Jabodetabek.

Bagi orang awam, membeli kartu asal luar wilayah Pekanbaru, mungkin tidak ada masalah. Namun jika ditanya pada mereka, apakah pernah mengalami kuota yang cepat habis atau pemotongan pulsa tanpa diketahui. Barangkali mereka bakal menjawab pernah! Dan  ini sesungguhnya dipicu oleh keputusan membeli kartu perdana yang tak sesuai dengan area tempat tinggal.

Ambil contoh, jika seorang warga Pekanbaru membeli kartu perdana Simpati (paket internet) asal Sulawesi, maka dapat dipastikan penggunaanya terasa boros. Hal ini disebabkan Telkomsel memberlakukan sistem zonasi. Pekanbaru sendiri berada di zona 6, sementara wilayah Sulawesi yang masuk zona 6 hanya kota Wajo. Pun begitu untuk konsumen operator seluler yang lain, seperti XL. Bagi peminat kartu perdana lansiran XL, ada baiknya teliti sebelum membeli. Kendati XL tidak melakukan sistem zonasi layaknya Telkomsel, konsumen XL mesti mencermati produk yang dibeli. Kadangkala promo XL untuk wilayah Sumatra bisa gagal anda dapatkan, lantaran mengaktifkan kartu yang bukan asal wilayah Sumatra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untungnya praktek semacam ini (memasarkan kartu yang tidak sesuai dengan wilayah) mulai mereda di kota Pekanbaru. Seorang sejawat, pemilik konter mengatakan, saat ini sudah tidak bisa membeli kartu luar daerah.

"Sekarang udah gak bisa bang (perbulan November), soalnya udah pake pembagian area paket. Jadi  kalo 2GB pembagianya, 1,5 GB lokal data (hanya bisa dipakai di area aktivasi) 500 mb flash (nasional). Telkomsel dan XL yang udah menerapkan," paparnya.

Terlepas dari terhentinya praktek tersebut. Kuat dugaan selama ini operator seluler cendrung melakukan eksploitasi konsumen dengan cara tersebut. Unsur ekploitasi ini terlihat, dari adanya kesengajaan operator membiarkan pemasaran kartu perdana yang tidak sesuai area penjualan. Padahal bila operator mengedepankan perlindungan konsumen, maka hal seperti ini sudah diantisipasi sejak awal.

Imbas Bisnis yang Merugi

Praktik eksploitasi konsumen ini, pada dasarnya merupakan imbas dari meruginya bisnis di industri telekomunikasi. Banyak hal yang menyebabkan pemain di industri telko merugi, misalkan biaya infrastruktur yang mahal. Sebagai gambaran, XL Axiata mengalokasi belanja modal mendekati angka Rp 8 triliun untuk tahun 2016, dan sektor infrastruktur merupakan prioritas. Beban membangun infrastruktur yang lumayan berat tersebut, dihadapkan dengan kewajiban membangun infrastruktur hingga ke pelosok. Dilain pihak, infrasktruktur yang telah dibangun, keuntunganya justru lebih banyak diraih industri internet asing, semisal Google,Facebook dan lainya.

Layanan semacam Google,Facebook,Twitter,Instagram, kehadiranya memang memiliki dampak bagi operator seluler. Sejak kemunculan layanan tersebut praktis kebutuhan konsumen pada jasa sambungan (voice) dan SMS, menjadi bekurang. Padahal layanan voice dan SMS merupakan lumbung pendapatan operator selama ini.

Pengamat Teknologi informasi dan komunikasi, Heru Sutadi, tak menampik adanya kerugian di industri telekomunikasi. 

"Sejak tahun 2012 komunikasi bisnis telekomunikasi sedang sakit. Hal itu karena persaingan tinggi, pasar jenuh, dan gap yang teratas dengan yang di bawahnya. Antara Telkomsel dengan Indosat atau XL saja sudah jauh," urainya.

Adapun praktisi yang sangat berpengalaman di industri telekomunikasi, Hasnul Suhaimi, menuturkan, kondisi yang dialami saat ini akan memaksa operator seluler untuk melakukan konsolidasi. Hasnul sendiri ketika menahkodai XL Axiata melakukan aksi ini dengan bentuk akusisi terhadap Axis.

"Dalam kondisi pasar yang sudah jenuh (lebih 320 juta sim card aktif untuk 250 juta penduduk) dan industri yang merugi (hanya Telkomsel yang untung saat ini) memang dibutuhkan konsolidasi. Kalau terus-terusan 5 atau 6 pemain berkompetisi dengan harapan tumbuh, padahal industri sudah jenuh yang akan terjadi makin rugi dan lama-lama kualitas akan turun karena tidak cukup dana untuk membangun dan memelihara jaringan," pungkasnya seperti dikutip dari Warta Ekonomi (21/11/2016)

Indikator "sakitnya" bisnis telekomunikasi di Indonesia, dapat dilihat dari kurangnya daya tarik saham-saham perusahaan telko di bursa efek Indonesia. Praktis saat ini hanya TLKM yang masuk dalam LQ-45, ISAT (Indosat Ooreddo) dan EXCL (XL Axiata) mesti menerima kenyataan berada diluar saham-saham unggulan.

Situasi ini pada giliranya akan membuat pimpinan perusahaan telko, berada dalam kondisi dibawah tekanan. Dampaknya, eksploitasi konsumen berpotensi menjadi jalan keluar yang layak diketengahkan.

Konsumen Telekomunikasi Dalam Ancaman

Opsi eksploitasi konsumen sejatinya telah tampak jauh sebelum tahun 2012. Hal ini bisa ditandai dengan terjadinya praktek kartel SMS yang merugikan konsumen hingga Rp 2,8 triliun. Pemufakatan jahat tersebut terjadi pada periode 2004-1 April 2007, dan berimbas pemberlakuan denda terhadap sejumlah operator berikut: XL dan Telkomsel masing-masing Rp 25 miliar, PT Telkom Rp 18 miliar, Bakrie Telecom Rp 4 miliar, dan PT Mobile-8 Rp 5 miliar.

Kasus kartel SMS ini, lalu diikuti kasus pencurian pulsa oleh operator pada tahun 2011. Kasus ini membuat pengguna jasa telekomunikasi menjadi marah. Tiga orang dinyatakan sebagai tersangka, yakni NHB alias N dari PT Colibri Network (perusahaan content provider), WM dari PT Mediaplay (perusahaan content provider), dan KP dari PT Telkomsel (operator seluler).

Terkait kecendrungan ekploitasi konsumen ini, Ketua Dewan Pembina YLKI, Tini Hadad, mengusulkan perlu ada surat keputusan bersama antara perusahaan telekomunikasi  dengan pemerintah dan regulator demi perlindungan terhadap konsumen. 

"Kalau di sini, pelanggan mesti aktif meminta perlindungan kepada operator telepon seluler, padahal semestinya secara otomatis mereka mendapatkan perlindungan," terangnya sewaktu kasus pencurian pulsa marak, dikutip dari tempo (21/11/2016). 

 

“Seharusnya Indonesia bisa mencontoh sistem yang digunakan oleh negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. Di beberapa negara tersebut, pemilik telepon seluler mendapatkan proteksi yang sangat ketat terhadap aksi penyedotan pulsa,” sambungnya.

note: artikel bersumber dari laman TIKPAT.com

Ikuti tulisan menarik Da Feb lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu