x

Dengan adanya SKB tiga menteri, sudah tidak ada lagi pencairan dana desa yang berbelit-belit.

Iklan

Shohibul Hidayat hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menilisik Implementasi Dana Desa

Semangat UU Desa No. 6/2014 adalah menyejahterakan masyarakat desa, bukan lagi pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Shohibul Hidayat

Dosen FISIP Universitas Pekalongan

MANTRA kesejahteraan melalui pembangunan desa tidak saja terus dirawat oleh pemerintah. Terbukti, dari tahun ke tahun, alokasi dana desa selalu meningkat, tentu ini sebuah perwujudan dari ikrar bahwa desa sebagai kutub pembangunan nasional. Altar baru untuk menyemai kesejahteraan melalui perhatian lebih terhadap desa rasanya memang menghadirkan sebuah asa, setelah aneka percobaan pembangunan dijalankan dengan hasil yang sebagian mengecewakan. Namun, di sini muncul pertanyaan kritis: apakah pesona dana desa tidak akan menjadi petaka bagi pengelolanya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengingat dana pembangunan desa semakin besar, seperti kita lihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2017 dialokasikan sebesar Rp50 triliun. Angka ini meningkat dari anggaran tahun 2016 yang sebesar Rp46,9 triliun. Bahkan angka nan gadang untuk tahun 2018 pun telah digunturkan Presiden Jokowi, yakni Rp120 triliun. Memang di balik melimpahnya dana desa, dekapan persoalan pun juga terjadi. Seperti yang terjadi saat ini realisasi penyalurannya masih banyak masalah. Data penyaluran dana desa yang tercatat di Kementerian Keuangan baru 80,4% atau sebesar Rp37,8 triliun (data per awal November 2016).

Dari data ini tampak masih ada sisa anggaran dana desa yang belum terdistribusikan dengan baik. Ada dana sekitar Rp9,1 triliun yang belum tersalurkan, sementara tahun 2016 berakhir tinggal beberapa saat lagi.

Tata Kelola Keuangan

Semangat UU Desa No. 6/2014 adalah menyejahterakan masyarakat desa, bukan lagi pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas. Namun, saat spirit memajukan desa tanpa berbenah mereformasi administrasi/politik untuk memberdayakan desa, langkah yang elok serta program-program menakjubkan tetap hanya akan menjadikan komersialisasi desa terulang. Seperti tersendendatnya penyaluran dana desa, tata kelola desa banyak menjadi penyebabnya. Misalnya, pertama, banyak daerah yang belum memiliki aturan tentang penetapan rinci dana desa, sehingga tidak sesuai ketentuan. Kedua, masih banyak daerah yang melaporkan penyaluran belum tepat waktu. Hal ini terkait realisasi dana desa tahap pertama.

Seperti diketahui, penyaluran dana desa ini dilakukan dalam dua tahap per semester. Pada semester pertama lalu, realisasi penyalurannya mencapai 99,2% atau sebesar Rp27,9 triliun dari Rp28,1 triliun. Sedangkan pada semester kedua, realisasi penyalurannnya baru mencapai 52,3% atau sebesar Rp9,8 triliun dari Rp18,7 triliun. Seharusnya, hal-hal seperti itu tidak boleh terjadi, akselerasi pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan tidak seharusnya terhalang persoalan teknis. Kelemahan tata kelola juga akan menjadi bencana bagi penyaluran dana desa.

Jejak Pembangunan Desa

Selama ini telah banyak pola pembangunan desa yang telah digulirkan oleh berbagai pemerintahan/rezim. Bila kita lacak, setelah era reformasi, pemerintah Habibie melaksankan program IDT (inpres desa tertinggal) untuk membangun desa. Saat hasil nyata belum mewujud, pemerintahan Habibie lengser dan program inipun seolah menguap.

Berlanjut pada masa Megawati, ada program pembangunan desa yang berhasil dibidani yakni Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Saat itu model ini menjadi acuan untuk setiap pembangunan desa, sayang program yang diagung-agung keberhasilnnya tersebut lebih fokus pada pembangunan fisik, sementara program ekonomi dan pembangunan sosialnya hampir tidak tersedia. Selain itu PPK ini sendiri hanya menyentuh kelas elite di perdesaan saja.

Dan selajutnya saat nahkoda negara dipegang rezim SBY (Susilo Bambang Yudoyono) tetap melanjutkan program PPK, namun dimodifikasi dengan nama baru yakni PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang konsepnya tetap menggunakan konsep PPK dengan sumber pembiyaan dari pemerintah daerah. Selain program PPK, rezim SBY juga memperkenalkan Program Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin), dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Prona Pertanahan juga Desa Sehat. Program ini pun sulit dikatakan sukses, justru aroma tak sedap dalam pemanfaatan dana-dana program yang merebak, hingga bermuara pada kasus-kasus pidana pimpinan dan pengurus desa.

Berbagai jurus telah dijalankan berbagai ramuan telah dihidangkan, namun yang luput dalam konteks pembangunan perdesaan adalah sering pemerintah memandang masyarakat desa bersifat homogen, yakni mempunyai kepentingan bersama dan mampu menyelesaikan masalah secara bersama. Sehingga peranan pemerintah hanyalah sebagai perancang strategi pembangunan, dan pengadaaan kemudahan serta pelayanan kepada masyarakat.

Padahal, hipotesis itu hanya ilusi semata, sebab pada masyarakat desa terdapat stratifikasi sosial dan ekonomi serta tak jarang konflik laten dalam perebutan sumber daya ekonomi dan politik turut menjadi isu yang menebar. Semoga pesona dana desa diikuti pula dengan kelembagaan yang prima agar tidak menjadi petaka serta elegi di kemudian hari.

Ikuti tulisan menarik Shohibul Hidayat hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler