x

Salah satu kitab kuno abad 19 yang masih disimpan di masjid kuno At Taqwa, Desa Tamanarum, Magetan, Jawa Timur, (19/8). TEMPO/Ishomuddin

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 2 Juli 2019 19:43 WIB

Masjid Pesing Kyai Kuro

Ini tentang orang asing di Zaman Majapahit yang tidur di masjid Kuro, dan anjingnya kencing di dinding masjid itu. Warga pun bereaksi keras.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah ini di zaman menjelang senjakala Majapahit. Para imigran dari Tanah Arab, China dan Campa giat berdakwah agama Islam, agama yang baru di Majapahit. Prabu Brawijaya selaku Raja Majapahit yang beragama Syiwa-Budha itu memberikan keleluasaan kepada para muslim imigran tersebut untuk berdakwah agama Islam. Bahkan salah satu isteri Raja Majapahit tersebut seorang muslimah bernama Siu Banci, puteri dari Kyai Batong yang merupakan blesteran Arab-China. Raden Rahmat dari Campa diberikan tempat yang bernama Ampel, menjadikan Ampel sebagai pusat dakwahnya.

Di sebuah desa dekat pantai Tuban bernama Desa Embuh, didirikan sebuah masjid oleh seorang ulama yang berasal dari Turki. Ulama tersebut pekerjaannya berdagang kain, menjual kain yang berasal dari Turki dan India. Ulama tersebut dikenal dengan nama Kyai Kuro. Mungkin nama Kuro itu berasal dari kata Quro. Mungkin. Saya tidak tahu.

Tapi dia bukan Pak Kaji (Pak Haji) numpak kuro yang dikisahkan oleh para remaja yang guyonan itu. Katanya, pada waktu hujan deras, terjadi banjir setinggi paha, Pak Haji terbangun dari tidurnya, kaget melihat air banjir masuk rumahnya. Pak Kaji turun dari lincak tempat tidurnya mengangkat sarung dan keluar rumah. Orang-orang melihat Pak Kaji heran. Kenapa? Di mata mereka, Pak Kaji keluar rumah mengendarai kura-kura yang berenang, kura-kura itu cuma kelihatan kepalanya. Mereka berteriak-teriak keheranan, “Pak Kaji numpak kuro! Pak Kaji numpak kuro! (Pak Haji naik kura-kura! Pak Haji naik kura-kura!)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wong-wong sableng, ndak tahu realitas. Itu bukan Pak Kaji naik kura-kura, tapi Pak Kaji mengangkat sarungnya yg dipakai, keluar rumah, takut sarung yang dikenakannya itu basah. Pak Kaji lupa kalau nggak pakai celana pendek dan celana dalam, sehingga “kepala kura-kuranya” kelihatan. Paham?

Baiklah, saya lanjut kisah masjid pesing Kyai Kuro. Ingat, Kyai Kuro itu bukan Pak Kaji numpak kuro!

Di Desa Embuh itu terbentuk masyarakat Islam. Mereka pada umumnya para imigran yang sudah menetap di wilayah Majapahit itu. Ada yang dulunya beberapa keturunan sisa-sisa pasukan Mongol yang kalah melawan pasukan Raden Wijaya si pendiri Majapahit itu. Jangan dikira pasukan Tartar Mongol yang dikirim ke Jawa itu nggak ada muslimnya. Ada. Ada pula keturunan para pedagang dari China yang migrasi dari China di masa Dinasti Ming melarang warga China berdagang ke luar negeri karena maraknya bajak laut. Ada pula orang-orang Jawa yang mulai memeluk Islam. Makanya Kyai Kuro mendirikan masjid yang tak bernama, lalu orang-orang memberi nama: Masjid Kuro.

Pada suatu hari menjelang siang, ada seorang pria asing yang mungkin bermaksud mencari tempat singgah untuk berteduh. Dia bersama dengan seekor anjingnya. Orang itu masuk ke dalam masjid bersama anjingnya, dan kebetulan si anjing itu kebelet pipis, sehingga kencing mengencingi dinding masjid yang terbuat dari kayu jati itu. Dasar anjing, kencing sembarangan!

Sejurus kemudian datanglah penjaga masjid bernama Mehesa Kuntet yang biasa dipanggil Kuntet. Betapa kagetnya Kuntet melihat orang asing yang tidur ngorok di dalam masjid, tampak telapak kakinya yang tak beralas, berwarna hitam bekas tanah. Kuntet melihat anjing yang lidahnya menjulur di suasana panas itu. Kuntet menengarai bau pesing dan melihat dinding masjid yang masih basah. Dia memegang dinding basah itu dan membaunya. “Huah! Pesing!” Dia baru bisa mengira bahwa itu bekas kencing anjing itu.

Tak pelak Kutet teriak, “Hai Kisanak! Bangun!” Orang-orang yang ada di sekitar masjid yang mendengar teriakan Kuntet itu berdatangan ke masjid Kuro itu. Suasana pun gaduh. Orang-orang berteriak mengusir orang asing yang tampak kelelahan itu. Tak hanya itu. Beberapa orang memukuli orang asing itu. “Orang tidak tahu adat! Kamu menghina masjid kami!”

Mendengar ribut-ribut itu Kyai Kuro datang. Dia segera tahu apa yang terjadi.

“Kyai! Orang laknat ini harus diberikan hukuman! Dia menghina baitullah! Ini rumah Allah dibuat sembarangan, dan dikencingi anjingnya itu!” kata Jatirono dengan emosi. Warga menuntut agar orang itu dihukum.

Kyai Kuro meminta warga diam. Lalu dengan tenang dia berkata, “Jika kita beriman dengan agama Islam yang diturunkan Allah ini, apakah kita tidak percaya bahwa Allah akan selalu menjaga agama ini. Adakah yang tahu rahasia Allah, mengapa orang ini dikirimkan ke masjid ini dengan anjingnya yang telah membuat masjid ini pesing? Ada yang tahu maksud Allah?”

Semuanya diam, saling pandang.

“Agama Allah ini tidak bisa dinodai atau direndahkan oleh makhluk Allah dengan segala perbuatannya. Jika kita hendak menghukum orang dengan alasan dia menodai agama Allah, maka apakah kita tahu bagaimana perasaan Allah itu sendiri? Lain lagi jika kita hendak menghukum orang karena dia melecehkan martabat orang lain. Tetapi memaafkan itu lebih mulia….  Jika masjid ini masjid yang mulia, benar-benar baitullah, tak ada satupun orang yang akan mampu dengan niatnya untuk mengotori masjid ini. Tak ada satupun anjing yang bisa masuk ke masjid ini melainkan dihalau oleh malaikat yang diberikan tugas untuk menjaga masjid ini. Kecuali jika diizinkan oleh para malaikat Allah yang menjaganya. 

Karena masjid yang benar-benar baitullah, akan dijaga oleh Allah. Apakah kalian kira rumah Allah itu sama dengan rumah orang biasa yang bisa gampang dimasuki oleh siapa saja? Bahkan rumah seorang raja ataupun pejabat kerajaan itu dijaga oleh para punggawa yang ditugasi. Apalagi rumah Allah...., apakah Allah tidak menugasi para malaikat untuk menjaganya? Jika kita yang ditugasi menjaganya, berarti kita teledor dalam menjaganya. Lalu mengapa kita tidak menghukum diri sendiri yang teledor? Kita pun mesti mulai bertanya, dengan adanya kejadian ini, apakah masjid ini telah diakui oleh Allah sebagai baitullah?”

Semua warga yang hadir di situ diam.

“Lalu, apa sebabnya Kyai, kok sampai masjid ini dimasuki orang asing dan anjingnya mengencingi dinding masjid ini?” tanya Jatirono memberanikan diri bertanya.

Sang Kyai menghela nafas. “Aku tidak tahu. Apakah ada warga di sini dulu yang menyumbangkan kayunya untuk bahan masjid ini berasal dari kayu curian? Apakah ada orang-orang di sini yang pernah menjadikan masjid ini sebagai tempat untuk melakukan perbuatan maksiat, misalnya sebagai tempat merancang suatu kejahatan atau perbuatan buruk lainnya? Aku tidak tahu.”

Warga terdiam. Beberapa saat hening. Waktu kian mendekati dzuhur. Orang asing yang menjadi masalah masjid itu tersenyum-senyum. Wajahnya tampak lebam-lebam. Dia lalu melantunkan tembang yang liriknya aneh. Dia berjalan menjauh, dan makin mejauh. Anjingnya berlari-lari kecil mengikuti tuannya itu.

Kyai Kuro mengambil air untuk membersihkan dinding masjid dan menyiram bekas air kencing anjing itu. Orang-orang ada yang membantu Kyai Kuro membersihkan dinding masjid yang berbau pesing kencing anjing itu.

Sebentar kemudian Kuntet mengumandangkan adzan Dzhuhur. Lalu shalat berjamaah diimami oleh Kyai Kuro. Selesai shalat, dzikir dan doa, Kyai Kuro memberikan sedikit pengajian hadits Nabi, bahwa ada orang-orang yang tampak seolah-olah ahli neraka, padahal sesungguhnya dia ahli surga. Sebaliknya ada orang-orang yang tampak ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi ternyata dia adalah ahli neraka.

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB