Penyesatan Makna Mens Rea dalam Kasus Tom Lembong

Minggu, 27 Juli 2025 18:05 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong saat mengikuti sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 18 Juli 2025. Tempo/Tony Hartawan
Iklan

Hakim menyatakan bahwa tidak ada mens rea dalam perbuatan Tom Lembong. Itu pertimbangan hukum yang salah. Ada mens rea-nya.

***

Prof. Mahfud MD, yang kebetulan bukan ahli hukum pidana, menjadi sumber berita media-media. Dia berkata, intinya, “Benar perbuatan Tom Lembong memenuhi unsur tindak pidana korupsi, yakni ada perbuatan melawan hukum, merugikan negara dan memperkaya orang lain, meski bukan memperkaya dirinya. Tetapi dia tidak bisa dipidana, karena tidak ada mens rea.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika diperhatikan, baik sang profesor maupun para akademisi ilmu hukum maupun para praktisi hukum, mereka memaknai mens rea secara sempit sebagai “niat jahat.” Inilah yang saya sebut sebagai penyesatan makna, yang bisa membuat banyak orang menjadi sesat massal dalam ilmu hukum, sebab opini seperti itu dibaca dan dilihat banyak orang.

Mens rea merupakan kosa kata Bahasa Latin, artinya adalah “pikiran bersalah.” Sedangkan kata atau frasa “niat jahat” dalam Bahasa Latinnya adalah “malitia.” Lantas, apa makna mens rea dalam konteks tindak pidana?

Sebelum pada kesimpulan mengenai makna mens rea, ada baiknya saya berikan contoh sebuah kasus yang dikuitip dalam buku Asas-asas Hukum Pidana karya Prof. Moeljatno, tetua Hukum Pidana Indonesia yang bukunya tersebut menjadi diktat utama dalam Hukum Pidana Indonesia.

Melalui Prof. Moeljatno inilah sanad Ilmu Hukum Pidana di Indonesia bersambung ke ilmu para pakar Ilmu Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) yang menjadi asal-usul atau akar Hukum Indonesia, akibat pernah menjadi jajahan Belanda. Meskipun dalam perkembangannya Indonesia juga dipengaruhi berbagai sistem hukum lainnya, termasuk sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Mens rea memang dari ajaran hukum Anglo Saxon. Tapi mens rea identik dengan gezinheid atau instelling (sikap batin) dalam ajaran hukum Eropa Kontinental.

Kasus yang dicontohkan oleh Prof. Moeljatno tersebut dikenal sebagai kasus Kue Tart Hoorn tahun 1911. Ada seorang (pelaku) yang mengirimkan kue tart kepada musuhnya. Kue tersebut diberi racun, dikirimkan ke rumah musuhnya. Ternyata kue tart tadi tidak dimakan oleh musuhnya, tetapi oleh isterinya, sehingga isteri dari musuhnya itu meninggal.

Dalam kasus tersebut, si pelaku atau pengirim kue tart beracun itu dapat dinilai dalam dua hal, yakni: Pertama, si pelaku berniat membunuh musuhnya, tapi gagal. Kedua, si pelaku tidak berniat membunuh istri musuhnya. Artinya, si pelaku mempunyai “niat jahat” untuk membunuh musuhnya. Tetapi niat jahatnya tidak terlaksana. Justru si pelaku itu “tidak berniat jahat” untuk membunuh isteri musuhnya itu. Tapi, akibat dari perbuatannya malah menyasar kepada isteri musuhnya. Isteri musuhnya menjadi korban, padahal ia bukan orang yang dituju oleh si pelaku.

Bagaimana Hoge Raad / HR (Mahkamah Agung) memutuskan kasus itu? HR memutuskan bahwa terdakwa (si pelaku) itu melakukan tindak pidana “pembunuhan berencana” terhadap isteri musuhnya, dan tindak pidana “percobaan pembunuhan” kepada musuhnya.

Orang awam ilmu hukum mungkin bertanya, “Bagaimana hukum menganggap bahwa perbuatan si pelaku yang tidak berniat jahat membunuh isteri musuhnya itu, dikatakan sebagai perbuatan yang direncanakan? Padahal si pelaku tidak mempunyai niat jahat kepada isteri musuhnya itu?”

Terhadap pertanyaan di atas, Prof. Moeljatno menjelaskan pertimbangan hukum HR tersebut, bahwa terdakwa (harus dianggap) insyaf atau yakin bahwa siapa saja yang akan makan kue (beracun) tersebut, akan mati. Terdakwa tahu musuhnya mungkin mempunyai isteri yang tinggal serumah dengan suaminya itu, dan tidak berusaha untuk mencegah agar isterinya tidak ikut makan kue tart beracun itu. Maka, si pelaku atau terdakwa “dianggap” (oleh hukum) bahwa dia sengaja dan merencanakan pembunuhan kepada isteri musuhnya, meskipun tidak ada niat demikian. Itulah yang disebut sebagai “anggapan hukum.”

Pembahasan tentang “niat” (termasuk niat jahat), tentu berkaitan dengan hati atau pikiran seseorang yang tidak mudah untuk dibuktikan. Di situlah teori-teori Hukum Pidana dibangun untuk dapat dijadikan pedoman para penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal di dalam Hukum Pidana.

Dalam Hukum Pidana terdapat asas “tidak ada hukuman jika tanpa kesalahan.” Geen Straf Zonder Schuld, atau “No Punishment Without Guilt”. Bentuk kesalahan tersebut ada dua jenis, yakni sengaja (dollus), atau lalai (culpa). Dari teori ini, orang sudah dapat mempunyai pemahaman bahwa suatu tindak pidana atau kejahatan atau perbuatan jahat, tidak harus adanya “niat jahat.” Ada kejahatan karena kesengajaan, yang disebut sebagai delik dollus. Ada pula kejahatan lalai atau alpa, yang disebut sebagai delik culpa.

Bentuk kesengajaan tersebut secara teori ada bermacam-macam. Ada kesengajaan karena niat (dollus indirectus), ada pula kesengajaan yang tidak dari niat (seperti dollus indirectus, dollus eventualis). Contoh kasus pembunuhan berencana terhadap isteri musuhnya berdasarkan putusan HR di atas adalah termasuk kesengajaan bukan karena niat untuk membunuh isteri musuhnya. Itu lebih pada bentuk sengaja karena pengetahuan (dollus eventualis, bisa juga termasuk dalam jenis dollus indirectus). Terdakwa dianggap mengetahui akibat dari perbuatannya, meski dia tidak bertujuan membunuh isteri musuhnya.

Memang, bahwa kejahatan korupsi termasuk delik dollus (tindak pidana yang dilakukan secara sengaja). Bukan delik culpa. Delik korupsi terhadap ekonomi negara memuat unsur komulatif, yakni: ada perbuatan melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain, dan merugikan negara.

Dalam kasus Tom Lembong, unsur perbuatan melawan hukumnya jelas, bahwa selain melaggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 Tahun 2015 yang dibuatnya sendiri, Tom selaku Menteri Perdagangan pada waktu itu juga melanggar Pasal 36 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Tom Lembong menerbitkan Surat Nomor 294/Mendag 31 Maret 2016 tentang persetujuan pengadaan Gula Kristal Mentah (GKM) untuk operasi pasar dan persetujuan impor GKM tanggal 8 April 2016 kepada perusahaan-perusahaan swasta, sebanyak 105.000 ton.

Pasal 3 Permendag No. 117 Tahun 2015 menentukan bahwa jumlah gula yang diimpor harus sesuai dengan kebutuhan gula dalam negeri yang ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian. Ketentuan ini mensyaratkan dua hal dalam impor gula, yakni jumlah gula yang diimpor harus sesui kebutuhan gula dalam negeri, dan impor tersebut harus disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian.

Dalam rapat koordinasi pemerintah pada 7 dan 28 Desember 2015 hanya menyepakati impor Gula Kristal Putih (GKP) oleh Bulog sebanyak 50.000 ton dan penugasan kepada PT. PPI untuk melakukan operasi pasar bersama PTPN.

Bagaimana dengan kebutuhan gula nasional waktu itu? Data Neraca Kementerian Pertanian membukukan bahwa kebutuhan gula nasional tahun 2015 adalah 2.927.630 ton, dan produksi nasional 3.680.390 ton, sehingga terjadi selisih (surplus): 752.760 ton. Jadi, seharusnya tidak perlu impor gula untuk awal 2016. Berdasarkan data tahun 2016, dalam Neraca Kementerian Pertanian disebutkan bahwa kebutuhan GKP nasional tahun 2016 adalah 3.047.545 ton, sedangkan produksi nasional GKP adalah 3.021.210 ton. Sehingga seumpama tahun 2016 tidak impor, kekurangannya hanya 26.335 ton.

Pasal 36 UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menentukan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi atau tidak tersedia. Padahal data Kementerian Pertanian hingga akhir 2015 terdapat surplus produksi nasional GKP sebanyak 752.760 ton. Artinya, hingga Maret 2016 belum perlu ada impor Gula Kristal Merah (GKM) yang tujuannya diproduksi menjadi GKP. 

Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK Nomor 47/LHP/XV/03/2018 tanggal 2 Maret 2018, pada pada 2015 hingga semester I tahun 2017, ada 12 perusahaan swasta yang mendapatkan persetujuan impor 1.694.325 ton gula kristal putih (GKP). Pada periode Tom Lembong menjabat atau 2015 sampai 2016, persetujuan impor gula yang diterbitkan untuk perusahaan swasta adalah 682.700 ton. Padahal kekurangan produksi nasional hingga akhir tahun 2016 hanyalah 26.335 ton.

Lantas mengapa Tom Lembong tahun 2016 itu memberikan izin impor GKM kepada perusahaan-perusahaan swasta sebesar 105.000 ton, padahal ada Bulog sebagai BUMN yang diberikan tugas impor Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak sebanyak 50.000 ton berdasarkan rapat koordinasi pemerintah pada 7 dan 28 Desember 2015?

Tom Lembong merupakan intelektual yang oleh hukum dianggap mengetahui bahwa apabila dia (selaku Menteri Perdagangan) memberikan izin impor pangan kepada perusahaan-perusahaan swasta, padahal izin impor pangan itu seharusnya diberikan kepada BUMN, maka perbuatannya itu merugikan negara. Tom telah memberikan saluran hukum keuntungan bagi perusahaan-perusahaan swasta, sekaligus berakibat pada hilangnya keuntungan yang seharusnya diperoleh negara melalui BUMN.

Lagipula, persoalan impor pangan yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti gula seharusnya ditangani oleh negara dengan diserahkan kepada BUMN. Tom Lembong melupakan dan melanggar esensi Pasal 33 UUD 1945, yang ditafsirkan kian liberal.

Dengan kenyataan seperti itu, bagaimanakah para penegak hukum dan masyarakat memandang masalah itu? Cara pandang itu seharusnya dengan berpedoman kepada ideologi atau dasar negara negara Pancasila yang membuahkan sistem hukum yang dianut dan berlaku.

Prof. Molejatno di dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana tersebut menyatakan, bahwa mengenai beratnya hukuman dalam kejahatan yang dilakukan secara sengaja (delik dollus) atau tidak sengaja (delik culpa), seharusnya berat hukumannya adalah sama saja. Itu merupakan pandangan negara yang menganut sosialisme. Mengapa? Yang dilihat adalah kepentingan sosial, masyarakat, bukan pelaku tindak pidana. Tetapi dalam pandangan yang individualis, liberalis, kepentingan yang lebih dipandang adalah dari segi individu pelakunya sehingga hukuman dari kejahatan yang culpa lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan sengaja.

Jika kita menganut pandangan negara yang menganut sosialisme seperti Indonesia dengan sosialisme Pancasila, maka yang lebih dipikirkan adalah kepentingan negara dan masyarakat, bukan kepentingan individu termasuk misalnya pelaku tindak pidana. Hak-hak pelaku tindak pidana memang harus juga dipenuhi, termasuk hak atas keadilan dan kepastian hukum. Tapi, tidak dengan jalan membuat opini sesat bahwa makna mens rea adalah niat jahat.

Hakim dalam perkara Tom Lembong menyatakan bahwa tidak ada mens rea dalam perbuatan Tom Lembong. Itu pendapat atau pertimbangan hukum yang salah. Mens rea atau gezinheid atau instelling atau subyektief obrechstselemen (unsur batin yang menentukan sifat melawan hukum dari perbuatan) tetap ada. Tapi bentuknya mungkin bukan niat jahat, sebab niat jahat tidak mudah dibuktikan. Bentuk mens rea-nya adalah “kesengajaan karena pengetahuan.”  

Mens rea adalah “pikiran orang yang melakukan perbuatan bersalah.” Memang sulit membuktikan pikiran orang. Tetapi, akal sehat menurut hukum menyatakan bahwa setiap orang diwajibkan dapat memikirkan akibat dari perbuatannya. Meskipun dia tidak berniat jahat, tetapi tetap dianggap sengaja melakukan perbuatan yang akibatnya dapat dipikirkan akan timbul.

Tom Lembong selaku pejabat pemerintah pada waktu itu juga diwajibkan oleh hukum untuk bisa memikirkan akibat dari perbuatannya, yakni merugikan negara dengan memperkaya perusahaan-perusahaan swasta yang diberikan izin impor gula itu. Karena dia seorang intelektual. Perbuatannya juga menabrak prinsip Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bukan untuk kemakmuran para saudagar gula.

Kalau hanya berbahan kecurigaan, dengan pertanyaan: “Mengapa Tom Lembong memberikan izin impor gula kepada perusahaan-perusahaan swasta dan bukan kepada BUMN, jika dia tidak mendapatkan bagian keuntungan? Misalnya dia mendapatkan fee yang dibayarkan melalui proksinya (orang lain yang dipercaya)?” Tuduhan semacam itu sama seperti orang yang berkata, “Pengadilan telah melakukan kriminalisasi kepada Tom Lembong.” Yakni, tuduhan yang berbahan asumsi. Bukan fakta. Bukan kebenaran. 

Penulis bekerja termasuk di bidang hukum sejak tahun 1998 hingga sekarang.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Subagyo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Dia Kualat Kepada Para Petani Tebu?

Sabtu, 2 Agustus 2025 21:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler