x

Hedonis

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 22 Desember 2019 16:00 WIB

Hedonis, Individualis, dan Matrialis, Semakin Melekat Kuat pada "Masyarakat" Indonesia

"Masyarakat" Indonesia kini lebih memikirkan kehidupan yang hedonis, pun individualis dan matrialis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjelang berakhirnya tahun 2019, masyarakat kita semakin nampak menggemari kehidupan hedonis. 

Semakin menjamur sikap hedonisme, yaitu pandangan yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah sebagai tujuan utama dalam hidup. 

Karena itu, kehidupan masyarakat kini lebih mengutamakan perihal materialistis, dan hidup dalam ranah individualistis. Bagaimana di tahun 2020? 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nampaknya akan tetap terjadi hal yang sama. Bahkan, bisa jadi, sikap demikian akan semakin menjadi, bila tidak ada upaya masif yang secara dinamis melakukan "edukasi" ke seluruh lapisan masyarakat. 

Pemerintah sendiri, kini malah sibuk dengan target di periode keduanya. Seolah abai dengan kondisi masyarakat yang semakin jauh dari adat budaya leluhur, terutama tentang gotong royong dan rasa memiliki. 

Faktanya, kini, seiring perkembangan peradaban dan zaman, nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada sosok manusia sebagai makhluk sosial, kini di Indonesia kian runtuh. "Gotong-royong" yang selama ini kita kenal sebagai dasar filosofi Indonesia, karena menjadikan manusia Indonesia mengenal dirinya, orang lain, lingkungan, dan negara sebab terbudaya bekerjasama, musyawarah, kekeluargaan, ketuhanan, adat budaya dan sebagainya berdasarkan Pancasila, sejak tatanan kehidupan berubah dari negara agraris menjadi industri, dan perekonomian kapitalis menjadi dewa, maka gotong-royong kian luntur. 

Manusia sebagai makhluk sosial di Indonesia kian bergeser menjadi "tak sosial", "materialistis", dan "individulistis". Perubahan dan pergeseran tak sosial ini justru diteladani oleh para pemimpin dan elite partai di negeri ini yang justru saling "bancakan" menomor utamakan kepentingan diri dan keluarga serta golongan serta koleganya dengan mengabaikan rakyat. 

Apa balasan rakyat atas sikap pemimpin yang selama ini justru jauh dari sikap meneladani? Di lingkungan sosial terkecil, dalam rumah tangga, suami-istri dan anak-anaknya sudah banyak yang kehidupan sosialnya sudah tidak seperti sebuah keluarga. Tidak harmonis, saling mementingkan diri, bertengkar dan lainnya demi hidup lebih hedonis. 

Hanya memikirkan kesenangan dan kesenangan, gelimang harta dan tahta. Bila di lingkungan terkecil dalam sebuah keluarga sudah seperti itu, bagaimana di lingkungan Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan seterusnya? 

Bagaimana pula dengan lingkungan pemerintahan/instansi/perusahaan/sekolah/kuliah/ perkumpulan/organisasi sosial dan  lainnya? Semua sudah lebih dikuasai oleh sikap individualistis. 

Sulit rasanya kini kita temukan "sense of belonging", rasa memiliki di masyarakat kita. Semua sudah tergerus oleh kehidupan duniawi, materialiatis dan individualistis. 

Yang ada, rasa memiliki itu kini lebih dipertontonkan dalam rangka berebut kursi kekuasaan, berebut kue keuntungan,  dan sejenisnya. 

Gotong-royong luntur, karena rasa memiliki kini hadir hanya untuk diri/keluarga. Bukan untuk orang lain dan lingkungan sosialnya. Bahkan, kini "mereka" begitu mencintai yang bukan hanya milik mereka sendiri. 

Mereka bahkan takut kehilangan yang bukan milik, bukan hak-nya. 

Seharusnya, ketika kita merasa memiliki, maka kita akan mencintainya, merawatnya, dan menjaganya. 

Lalu, memiliki dengan dasar kebersamaan. Memiliki dengan dasar berbagi. Memiliki dengan dasar kesadaran, sadar bahwa bukan hanya kita yang berhak memilikinya. 

Karena pudarnya rasa memiliki dan takut kehilangan yang bukan milik, maka kebersamaan, kerjasama, persatuan, kekeluargaan, budaya adat, dan sebagainya yang ada dalam gotong royong pun luntur bersamaan, menipisnya budaya gotong-royong di negeri nusantara dalam arti sebenarnya. 

Miris, gotong royong yang menjadi filosofi Indonesia kian luntur direjam oleh hedonisme. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler