Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Ketika Aspal Buton Menunggu Keberanian Presiden
2 jam lalu
Apakah alasan sebenarnya adalah ketakutan menghadapi konflik kepentingan? Ini bukan sekadar kelemahan teknis. Ini adalah kegagalan moral!
***
Satu tahun sudah pemerintahan baru Pak Prabowo berjalan, tetapi Pulau Buton masih terdiam seperti batu yang tidak tersentuh. Janji besar swasembada aspal 2030 terdengar nyaring di awal, namun sunyi dalam pelaksanaan. Rakyat bertanya-tanya, mengapa mimpi sebesar itu justru kehilangan langkah di awal tahun pertama? Apakah negara ini kekurangan dana, atau kekurangan keberanian?
Padahal visi “Indonesia Emas 2045” yang diusung presiden menekankan kemandirian sumber daya. Asta Cita yang dikampanyekan penuh semangat mencantumkan hilirisasi sebagai salah satu misi utama. Tetapi ketika bicara soal aspal Buton, misi itu seperti huruf yang hilang dari halaman buku. Hilirisasi di sektor lain berjalan, namun aspal Buton tetap terpinggirkan.
Mengapa ketakutan ini muncul? Karena kekuatan mafia impor aspal sudah lama mengakar. Mereka mengendalikan rantai pasok, mengatur harga, dan menekan kebijakan. Seakan-akan setiap kebijakan berani akan berhadapan dengan dinding tak terlihat yang kokoh.
Presiden tentu mengetahui peta jalan hilirisasi yang disiapkan Kementerian Perindustrian. Target swasembada aspal 2030 bahkan tercantum jelas dalam dokumen resmi negara. Tetapi satu tahun berjalan, tidak ada tanda Keputusan Presiden yang bisa menjadi pemantik. Apakah menandatangani sebuah Keppres Swasembada Aspal 2030 benar-benar sedemikian menakutkan?
Dana dari Danantara yang mencapai Rp 1,49 triliun pun telah disiapkan. Namun uang tanpa keberanian hanyalah angka di atas kertas. Investor menunggu kepastian hukum, bukan janji manis. Tanpa kebijakan yang tegas, dana itu seperti air di waduk yang tidak pernah mengalir.
Ketika presiden ragu, pasar menangkap sinyal ketidakpastian. Ragu berarti membuka pintu bagi impor terus-menerus. Mafia impor aspal pun tertawa, karena status quo adalah lahan subur bagi keuntungan mereka. Sementara rakyat hanya bisa menatap potensi Buton yang tetap jadi batu.
Apakah alasan sebenarnya adalah ketakutan menghadapi konflik kepentingan? Jika iya, ini bukan sekadar kelemahan teknis. Ini adalah kegagalan moral. Sebab seorang pemimpin sejati diuji bukan ketika segalanya mudah, tetapi saat harus menantang kekuatan yang tidak terlihat.
Rakyat sudah muak dengan alasan klasik. Infrastruktur dan teknologi bukan masalah, karena cadangan aspal Buton sudah diakui dunia. Bahkan negara lain melirik kekayaan itu dengan iri. Satu-satunya penghalang hanyalah keberanian politik.
Presiden selalu berbicara tentang kedaulatan bangsa. Namun kedaulatan tanpa langkah nyata hanyalah retorika. Hilirisasi yang tertunda adalah tanda bahwa kata-kata masih kalah dari ketakutan. Dan ketakutan itu kini terpampang di mata publik.
Jika pemerintah benar-benar memegang kendali, Keppres Swasembada Aspal seharusnya sudah terbit. Keppres ini adalah senjata pamungkas melawan mafia impor aspal. Tanpa itu, setiap rencana hanya menjadi arsip yang berdebu. Apakah seorang presiden rela sejarah mencatatnya sebagai pemimpin yang ragu?
Swasembada aspal bukan sekadar proyek ekonomi. Ini adalah simbol kemandirian nasional, ujian sejauh mana bangsa berani berdiri di kaki sendiri. Ketika presiden tidak berani memutuskan, ia bukan hanya menunda proyek, tetapi juga menunda harga diri bangsa. Apakah ini warisan yang ia ingin ditinggalkan?
Rakyat di Buton terus menunggu dengan sabar. Mereka tidak meminta belas kasihan, hanya kesempatan untuk mengolah kekayaan tanah mereka sendiri. Namun sabar pun ada batasnya. Setiap hari yang lewat tanpa keputusan adalah bentuk pengabaian.
Nilai rapor presiden untuk hilirisasi aspal jelas merah. Satu tahun sudah cukup untuk menunjukkan arah, bukan lagi sekadar alasan transisi. Dunia menilai dari langkah, bukan wacana. Dan langkah itu sampai hari ini tidak juga terlihat.
Mungkin ada yang berkata, empat tahun sisa masa jabatan masih panjang. Tetapi menunda keputusan strategis adalah kesalahan yang mahal. Hilirisasi butuh waktu, regulasi butuh proses. Semakin lama menunggu, semakin jauh pula target 2030.
Swasembada aspal adalah janji pemerintah sendiri. Jika presiden abai, itu sama dengan menelan air ludah sendiri. Reputasi yang dibangun dengan sulit akan runtuh dalam sekejap. Kepercayaan publik pun hilang tanpa bisa ditebus.
Tahun pertama seharusnya menjadi momen gebrakan. Tetapi yang kita saksikan justru hanya kebekuan. Aspal Buton tetap jadi batu, simbol dari keberanian yang tidak pernah kunjung lahir. Ini bukan sekadar kekecewaan, ini tamparan sejarah.
Sejarah tidak menunggu pemimpin yang ragu. Pulau Buton sudah siap, dunia pun menatap. Kini bola panas ada di tangan dingin presiden: berani menyalakan obor kedaulatan aspal Buton atau terus menjadi pengelola impor aspal. Jika satu tahun pertama hanyalah bisu, maka rakyat berhak bertanya sinis, apakah lima tahun cukup untuk menyalakan api keberanian?

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut
Artikel Terpopuler