Bahan Kimia Berbahaya dalam Jajanan Sekolah
1 jam lalu
Hampir setengah dari jajanan yang dikonsumsi anak-anak mengandung bahan kimia berbahaya
***
Wacana ini ditulis oleh Dwi Keisya Kurnia, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Dalam wawancara awal yang kami lakukan dengan sejumlah siswa dan guru di beberapa sekolah dasar di Indonesia, muncul satu pola yang menarik namun sekaligus mengkhawatirkan: hampir setiap anak tampak akrab dengan jajanan ringan yang dijajakan di lingkungan sekolah. Rasanya yang lezat, harga yang terjangkau, dan kemudahan akses menjadikan makanan ringan ini sebagai teman setia selama jam istirahat. Namun, di balik popularitas tersebut, terdapat risiko kesehatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Fitriani dan Andriyani (2015) menemukan bahwa hampir separuh makanan ringan di sekolah mengandung zat berbahaya seperti boraks, formalin, dan pewarna tekstil. Di SD Plus Al Ashri Makassar, data penyuluhan PJAS menunjukkan bahwa sekitar 98,9% anak-anak mengonsumsi jajanan setiap hari, yang dapat menyumbang hingga setengah dari kebutuhan energi dan protein harian mereka.
Jajanan sekolah memang telah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan anak-anak. Setiap kali bel istirahat berbunyi, pemandangan siswa yang berkumpul di kantin atau di depan gerobak penjual makanan seakan menjadi ritual rutin. Kenikmatan rasa, kemudahan mendapatkan makanan, dan harga yang terjangkau membuat anak-anak jarang mempertimbangkan aspek keamanan atau kandungan gizinya. Temuan Fitriani dan Andriyani (2015) menekankan bahwa hampir setengah dari jajanan yang dikonsumsi anak-anak mengandung bahan kimia berbahaya, fakta yang sangat memprihatinkan jika melihat seberapa sering anak-anak mengonsumsinya.
Selain risiko bahan kimia, aspek keamanan mikrobiologis juga belum sepenuhnya terjamin. Khomsan dan rekan-rekannya (2023) menyatakan bahwa meskipun banyak jajanan yang lulus uji mikrobiologi, pengawasan terhadap kandungan kimia dan nilai gizi masih sering kurang. Anak-anak cenderung memilih makanan ringan semata-mata berdasarkan rasa dan harga yang murah, tanpa mempertimbangkan apakah makanan itu aman atau bernutrisi.
Di sisi lain, tidak dapat disangkal bahwa jajanan dapat berperan positif bila dikonsumsi dengan bijak. Khairuna (2012) menekankan bahwa makanan ringan yang berkualitas baik dan aman dapat menjadi sumber energi tambahan bagi anak-anak yang aktif di sekolah. Dengan kata lain, jajanan tidak selamanya menjadi musuh; tantangannya terletak pada bagaimana anak-anak dan pihak terkait mengelolanya.
Masalah yang nyata muncul dari minimnya pengetahuan anak mengenai makanan sehat. Fitriani dan Andriyani (2015) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan anak sangat memengaruhi sikap mereka dalam memilih jajanan. Anak-anak yang memiliki pemahaman lebih cenderung selektif dan berhati-hati. Namun, pendidikan tentang keamanan makanan dan gizi, baik di rumah maupun di sekolah, masih sangat terbatas. Idrus dan rekan-rekannya (2023) menunjukkan bahwa program PJAS (Pangan Jajanan Anak Sekolah) mampu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak terhadap jajanan yang sehat. Setelah mendapatkan edukasi, anak-anak lebih mampu menilai makanan yang mereka konsumsi.
Dampak negatif yang muncul dari konsumsi jajanan tidak sehat salah satunya adalah obesitas. Ketidaktahuan anak tentang kandungan jajanan dan kebiasaan mengonsumsinya secara berlebihan berkontribusi pada meningkatnya prevalensi obesitas. Data SSGI (2022) menunjukkan bahwa sekitar 10,8% anak usia 5 hingga 12 tahun mengalami kelebihan berat badan, sementara 9,2% telah mengalami obesitas. Konsumsi berlebihan jajanan yang mengandung gula, garam, lemak, dan bahan tambahan berbahaya menjadi faktor dominan. Jika tidak ditangani, obesitas di masa kanak-kanak berpotensi menjadi awal dari penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung di masa dewasa.
Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi jajanan yang tidak sehat sangat kompleks. Penelitian berjudul “Pola Faktor Konsumsi Jajanan Tidak Sehat di SD Negeri 15 Pangkalpinang” (2024) menemukan bahwa pengetahuan anak, jumlah uang saku, kebiasaan membawa makanan dari rumah, sarapan pagi, serta pengaruh teman sebaya secara signifikan memengaruhi pola konsumsi jajanan. Kondisi ini menunjukkan perlunya edukasi yang lebih mendalam, tidak hanya kepada anak-anak, tetapi juga kepada orang tua, agar mereka memahami tindakan yang tepat untuk memperbaiki situasi ini melalui langkah konkret dari berbagai pihak.
Sekolah memiliki peran strategis sebagai lingkungan yang mendukung pembelajaran sekaligus membentuk kebiasaan makan sehat. Kantin sekolah harus berfungsi lebih dari sekadar tempat menjual camilan yang murah dan menggoda. Idealnya, kantin menjadi wahana edukasi yang memperkenalkan makanan sehat, bersih, dan aman. Penelitian oleh Handayani dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa setelah kantin diperbarui dengan prinsip “BERSERIH” (Bersih, Sehat, Indah, Halal), kebiasaan jajan anak-anak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Peran orang tua pun sangat krusial sejak dini. Di rumah, anak-anak dapat diajak berdiskusi mengenai jenis makanan sehat, cara membaca label, dan mengenali tanda makanan tidak aman seperti aroma mencurigakan, warna terlalu cerah, atau rasa yang berlebihan. Orang tua dapat membatasi uang saku atau menyiapkan bekal sehat agar anak tidak tergoda jajanan yang berisiko.
Pemerintah dan lembaga terkait memiliki tanggung jawab untuk memperkuat regulasi dan pengawasan. Pengujian jajanan di sekolah harus dilakukan secara rutin. Pedagang di lingkungan sekolah dan kantin perlu mendapatkan pelatihan mengenai kebersihan dan keamanan pangan. Program seperti PJAS harus diperluas, terutama di sekolah yang berada di wilayah terpencil atau kurang terawasi.
Kolaborasi masyarakat, media, dan sekolah sangat penting untuk menyebarluaskan informasi tentang gizi seimbang dan bahaya bahan kimia dalam jajanan. Kampanye melalui poster, pelajaran tambahan, kegiatan ekstrakurikuler, atau promosi oleh siswa yang peduli dapat memperkuat kesadaran kolektif.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, risiko kesehatan bagi anak-anak akan meningkat seiring waktu. Jajanan sekolah, meskipun menjadi bagian dari kenikmatan masa kecil, tidak boleh mengorbankan kesehatan. Di balik setiap gigitan camilan, harus ada jaminan bahwa makanan tersebut aman, bergizi, dan mendukung perkembangan optimal anak-anak. Dengan pendekatan terpadu dari sekolah, keluarga, pemerintah, dan masyarakat, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang menikmati kenikmatan jajanan sambil tetap terlindungi dari ancaman kesehatan.
Corresponding Author: Dwi Keisya Kurnia ([email protected] )

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Bahan Kimia Berbahaya dalam Jajanan Sekolah
1 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler