x

Iklan

Mala Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 Maret 2020

Sabtu, 28 Maret 2020 13:29 WIB

Sarak Opat dalam Masyarakat Gayo


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SARAK OPAT

Masyarakat Gayo juga mempunyai hukum tersendiri dalam menata kehidupannya dan hukum yang hidup dalam masyarakat ini disebut sebagai hukum adat. Untuk pemerintahan yang bersifat umum, di didalam masyrakat Gayo dilaksanakan oleh “Sarak Opat”. Keberadaan Sarak Opat tersebut sampai sekarang ini masih ada dan berperan dalam penyelenggaraan urusan kampung dan penyelesaian perselisihan antar warga kampung.

Adapun unsur Sarak Opat yang ada dalam masyarakat Gayo terdiri dari Reje (Penghulu), Imem, Petue dan Rakyat (Sudere). Menurut Muhammad Daud Ali, masing-masing unsur ini mempunyai peranan sendirisendiri yang tidak kalah pentingnya dari peranan unsur yang lain. Antara unsur-unsur ini ada terdapat pembagian kerja yang tegas dengan sifat tugas yang jelas. Selanjutnya, di bawah ini diuraikan peranan dari masing-masing unsur Sarak Opat tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Reje (Pengulu) yang menjadi kepala masyarakat hukum adat, mempunyai peranan yang sangat penting dalam menata kehidupan masyarakat. Dalam melakukan peranannya, dia senantiasa harus “musuket sipet” yang artinya harus berusaha selalu menegakan keadilan, kebenaran, kasih sayang di antara anggota belahnya. Ia juga senantiasa harus suci (cuci), supaya dapat mensucikan kehidupan dalam masyarakat yang dipimpinnya. Dalam mengambil suatu keputusan, seorang raja harus senantiasa adil dan bijaksana. Ia harus menimbang sama berat dan dapat membayangkan segala akibat dari keputusannya. Di samping musuket sipet, seperti yang dinyatakan di atas, raja juga harus melakukan peranannya dengan baik menurut normanorma adat yang tersimpan dalam berbagai ungkapan adat gayo.

Imem mempunyai peranan tertentu, menurut adat Gayo disebut “muperlu sunet”. Ungkapan adat ini dengan jelas menunjukan apa yang harus dilakukan oleh imem dalam kehidupan masyarakat belahnya. Ia berkewajiban menegakan norma-norma agama (Islam). Caranya adalah dengan jalan mengajarkan kepada anggota 

belahnya hukum-hukum Islam yang dilambangkan oleh perkataan “Perlu” dan “Sunat” yang berasal dari katakata “Fardu dan Sunnat” dalam lima kategori hukum Islam yang disebut “Alahkam al-khamsah”. Selain dari menyebarkan ajaran Islam, Imam juga setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota belahnya dan keputusan yang dilakukan oleh Reje (pengulu).

Petue dalam melakukan perannya, harus selalu “musidik sasat”, yang arti ungkapan adat ini adalah seorang “petue” harus senantiasa mengamati, menyelidiki dan bahkan mengetahui semua keadan dan perkembangan yang terjadi dalam belahnya. Ia harus segera menanggapi dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara para anggota belahnya, dan segera menyampaikan apa yang diketahuinya dan soal-soal yang tidak dapat dipecahkannya kepada reje. Reje sebagaimana dikatakan di atas, berkewajiban menyelesaikan setiap masalah, bagamanapun sulitnya, secara bijaksana, adil dan benar.

Peranan “rakyat” bersifat “genap mupakat”. Peranan ini dilakukan dalam melaksanakan berbagai tugas yang diletakkan oleh masyarakat hukum adat ke pundak setiap anggota “belah”, diantaranya menilai jalannya pemerintahan dan kehidupan kemasyarakatan. Peranan ini dilaksanakan melalui lembaga “musyawarah”. Di samping itu, rakyat juga mempunyai peranan untuk melakukan pengawasan terhadap ketiga unsur “Sarak Opat” di atas, apakah mereka melaksanakan peranannya masing-masing selaras dan sesuai dengan norma-norma adat Gayo.

Peranan pengawasan ini dapat dilihat pada uraian berikut: Sebagaimana telah dikemukakan di atas, setiap unsur pemerintahan dalam belah harus melaksanakan peranannya berdasarkan norma-norma adat yang  telah ditentukan. Dalam kenyataan, mungkin saja ada di antara unsur Sarak Opat itu yang tidak melaksanakan peranan sebagaimana mestinya, sehingga terjadi penyimpangan dari norma adat yang berlaku.

Apabila seorang reje misalnya tidak musuket sipet, melakukan peranan yang menyimpang dari pola yang telah ditetapkan oleh norma-norma adat, rayat dalam belah yang bersangkutan yang yakin benar bahwa telah terjadi penyimpangan dari kaidah yang dipergunakan untuk mengukur tingkah laku reje tersebut mengadakan musyawarah untuk mengenakan sanksi adat terhadap reje bersangkutan. Reje yang menyimpang itu disebut Taksir, artinya tidak melaksanakan yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam Pasal 39 Peraturan Pokok Hukum Adat Gayo, disebutkan bahwa seorang reje atau penghulu dapat diberhentikan dari jabatannya, kalau ia :

  1. Mengambil harta orang lain bertentangan dengan hukum adat yang berlaku, atau
  2. Menimbang berat sebelah, menakar tidak pas atau
  3. Membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar, atau
  4. Bertindak sewenang-wenang. tidak mengikuti resam peraturan yang berlaku.

Dalam musyawarah tersebut rayat mengemukakan bukti-bukti yang menguatkan tuduhannya dan apabila bukti-bukti itu jelas dan meyakinkan, rayat memutuskan agar reje yang bersangkutan melepaskan kedudukannya. kalau seorang reje telah disebut taksir, ini berarti bahwa ia antara lain telah bertindak tidak adil terhadap rakyatnya atau telah melakukan kejahatan tertentu yang tidak patut dilakukan oleh seorang reje.

Setiap tuduhan yang dialamatkan kepada reje tersebut, sebagaimana halnya tuduhan pada setiap orang yang diduga telah melakukan suatu kejahatan atau tindakan yang dipandang melanggar norma-norma adat, harus benar-benar nyata, terbukti sebagaimana dikemukakan di atas. Kalau kesalahan reje itu dapat dibuktikan dengan nyata, maka ia wajib melepaskan kedudukannya sebagai reje atau dipaksa menanggalkan haknya itu. Yang tersebut terakhir ini, dalam bahasa hukum di gayo disebut serlut artinya dipaksa untuk menanggalkan pakaian yang dipakainya.

Yang diumpamakan dengan pakaian dalam hubungan ini, adalah kedudukannya sebagai reje. Jalannya adalah dengan menjadikan keadaan reje itu mejadi fakir, yakni orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi, karena itu peristiwa tersebut dalam bahasa gayo disebut pepakiren.

Dalam melaksanakan pepakiren terhadap reje, rayat dalam belah yang bersangkutan mengadakan urunan (berpegenapen). Masing-masing berkewajiban memberikan uang atau beras yang akan dipergunakan untuk persiapan makan bersama dalam melaksanakan upacara menurunkan dan mengganti reje dimaksud. Biasanya, penggantinya diambil atau dipilih dalam lingkungan kuru (turunan) reje itu juga.

Sebelum upacara pepakiren ini dilangsungkan, reje yang bersangkutan mempunyai hak penuh untuk membela diri dan atau membantah tuduhan yang ditujukan kepadanya. Tetapi kalau upacara itu telah berlangsung, maka haknya untuk membela diri dan membantah tuduhan yang ditujukan kepadanya menjadi gugur.

Dengan dilangsungkannya upacara pepakiren itu, sahlah raja diturunkan dari kedudukannya sebagai reje. Dengan begitu, keadaannya telah berubah dari orang yang mempunyai kekuasaan menjadi orang yang tidak mempunyai kekuasaan lagi. Dengan demikian, ia dipandang sebagai seorang “fakir”, kedudukannya kembali menjadi rakyat biasa.

Lembaga Sarak Opat sebagai lembaga pemerintahan tradisional adat, masih berperan dalam menyelenggarakan urusan anggota masyarakat di kampung-kampung, sungguhpun tidak lagi sama dengan yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena akibat pengaruh dan intervensi undang-undang pemerintahan masa lalu yang telah mengkebiri peran dan fungsi lembaga Sarak Opat tersebut.

Ikuti tulisan menarik Mala Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler