x

Iklan

Nur Afiah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:44 WIB

Rumi

Tulisan fiksi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tatapan matanya yang kosong seperti botol yang tidak berisi. Mengapung di lautan luas tanpa arah. Tanpa ibu dan bapak yang menemani.

"Orang gila ... orang gila!"

"Ada orang gila!" Sepanjang perjalanan gadis itu terus saja menjadi sasaran ejekan anak-anak yang melihatnya, tidak hanya anak-anak bahkan orang dewasa pun menyebutnya begitu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin sebutan itu teramat pantas untuknya. Tidak terurus dengan rambut yang dibiarkan tergerai dan pakaian yang jauh dari kata layak. 

"Hush, pergi sana. Bawa makanannya. Pergi!" Tatapan sengit sering kali dia terima saat melintasi kerumunan atau saat mengunjungi warung makan. "Dasar, masih muda sudah gila." Begitulah setiap hari yang didengarnya.

Warga desa memanggilnya Rumi. Dia tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil berukuran dua kali dua meter yang berada di dekat jalan masuk hutan. Dari cerita yang beredar tentangnya, dia bukanlah warga asli Desa Kenanga, sebuah desa yang kini menjadi tempatnya menetap. Dia hanyalah korban dari keegoisan keluarga yang membuatnya diasingkan.

"Kasihan sebenarnya dia masih muda, sayang otaknya konslet," seorang pengunjung warung berseloroh. Sambil mulutnya penuh dengan singkong goreng yang belum habis juga dikunyahnya.

Seorang pemuda berjanggut tipis dengan mata kanan juling juga ikut menimpali. "Iya, Pak Edi dan istrinya tega banget enggak urusin dia. Padahal mau bagaimanapun Rumi itu keponakannya." 

"Alah, memang kamu mau kalau disuruh tampung tuh bocah gendeng?" Seorang pria berkepala plontos ikut bicara. Mereka bertiga yang berada di warung terbahak-bahak. 

Siapalah yang mau mengurusi Rumi, gadis berusia tujuh belas tahun itu kerap mengamuk tidak jelas, menangis tidak jelas, bahkan dia sering tertawa dan menangis berbarengan atau menari di tengah terik mentari yang masih di atas kepala.

Tidak ada yang tahu alasannya apa sampai membuat gadis berkulit cokelat itu sering membuat orang bergidik ngeri. Bahkan Pak Edi dan istrinya saja sebagai paman dan bibinya tidak tahu pasti. Seringkali mereka hanya menyampaikan jika kedua orang tua Rumi tewas tertabrak kereta saat menggiring sapi mereka pulang ke kandang. Namun, ada juga simpang siur yang terdengar jika orang tua Rumi sengaja menabrakkan diri pada kereta yang melintasi rel kereta yang berada di dekat rumahnya itu karena malu anaknya yang diperkosa saat pulang dari latihan menari setahun lalu. 

"Ngapain ngurusin orang gila begitu? Paman sama bibinya saja lepas tangan. Kalau tidak lepas tangan mana mungkin gadis itu minta-minta makan kalau lapar." Bu Yum—pemilik warung menimpali mereka dengan wajah tidak suka. Mungkin karena habis kena pakai Rumi. Seminggu ini gadis itu memilih meminta makan di warungnya alih-alih ke rumah pamannya. 

"Kasihan Bu. Andai dia normal, saya mau banget sama dia." 

"Eh, Yusril, mikir! Walau dia normal mana mau sama kamu. Mata juling begitu," hardik pria berkepala plontos. 

Tidak lama, mereka terdiam saat orang yang sedang mereka bicarakan kembali datang. Wajahnya dekil, mungkin karena beberapa hari tidak mandi itu mendatangi ketiganya dan meludah asal. Ludahnya mengenai pria berkepala plontos.

"Edan!" pekiknya kesal. Dia berdiri hendak menampar wajahnya itu, tetapi dihalangi temannya yang lain. Bu Yum yang melihat kelakuan Rumi kaget sampai berteriak. Tanpa rasa bersalah Rumi menjulurkan lidah kepada mereka dan berlari keluar dari warung tanpa alas kaki.

 

MALAM HARI tepat pukul sebelas dini hari, Yusril dan temannya yang berkepala plontos saat sedang ronda melihat Rumi melewatinya dengan membawa derigen. Mereka hanya menggeleng melihat aksi gadis itu, bahkan saat malam dia begitu berani keluar seorang diri.

"Kita ikuti dia?" 

"Ngapain? Palingan juga dia mau pulang. Capek habis main sama anak-anak." Sore tadi dia melihat Rumi kembali dirundung anak-anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan. Namun, karena masih kesal telah diludahi dia memilih mengabaikan saja.

"Sukurin." Hatinya bersorak gembira sore itu, merasa Rumi mendapat balasan akibat perbuatannya.

"Masih dendam saja kamu tuh Ceng. 'Kan kamu tahu dia itu gadis gila, mana ngerti dia sama apa yang dilakuin." 

Pria berkepala plontos itu mengabaikan ucapan temannya. Dia memilih fokus mengikuti langkah perginya Rumi yang kini menghilang di belokan. Agak aneh baginya saat Rumi pulang di jalan yang tidak sesuai dengan dah rumahnya, tetapi mengingat arah jalan yang dilalui Rumi ke rumah Pak Edi dia tidak penasaran.

Setelah memastikan Rumi tidak terlihat, dia memilih merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya dengan mulut terus bersiul agar malamnya yang hanya berdua dengan Yusril tidak sepi.

Lima belas menit setelah menghilangnya Rumi di belokan gang, keduanya dikagetkan dengan teriakan seorang pria dan wanita secara bersamaan. Mereka juga mengendus bau asap tidak jauh dari pos ronda dan melihat kilatan cahaya berwarna merah dari salah satu rumah.

 "Tolong, kebakaran!"

"Kebakaran, tolong." Mendengar orang meminta tolong, Yusril segera mengetuk kentongan di sampingnya dan segera menuju tempat kejadian. Ternyata rumah Pak Edi yang kebakaran. Api telah melahap sebagian rumah berdinding bata itu. 

Warga sudah beramai-ramai datang dan membantu memadamkan kebakaran. Hanya ada satu orang yang terlihat senang melihat api yang terus berusaha dipadamkan. Dia tertawa dan menangis secara bersamaan. Sesekali tangannya menunjuk ke arah rumah dan berseru lantang sehingga membuat beberapa warga yang mendengarnya berhenti membantu. 

"Hahaha, ayah ibu dendam kalian terbalaskan." Dia menangis kembali mengabaikan banyak pasang mata yang menatapnya heran, termasuk paman dan bibinya.

Ikuti tulisan menarik Nur Afiah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler