x

perjuangan kaum perempuan

Iklan

Miri pariyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Senin, 25 Juli 2022 12:10 WIB

Subordinasi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah, bagaimana caranya keadilan dan kesetaraan gender akan dirasakan oleh semua elemen. Bersyukur, sebenaranya menjadi seorang perempuan sebagai anugrah pemberian Tuhan dengan cinta kasihnya yang begitu indah. Namun, kadang kala membenci menjadi seorang perempuan. Kata para penyair karena cinta dan benci adalah saudara. Benci ketika budaya menafsirkan segal hal perihal aturan perempuan yang harus dilakukan atas nama budaya. Namun, rasa cinta itu datang, saat Tuhan memberikan keunggulan menjadi perempuan, yang tak dimiliki lelaki.

“200 tahun kemudian keadilan gender baru sampai,” tutur mbak Sinta—seorang pemateri di dalam forum yang mengkaji soal gender. Fokusku ambyar ketika mendengar “kalimat” itu. serontak aku menghitung berapa banyak jumlah laki-laki dan perempuan. Ternyata tak imbang, lebih banyak perempuan dibanding laki-laki. 

Forum usai…….

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak ada yang paling berkesan selain kalimat itu. Walaupun, jalan kota terlalu bising tak membuat fokusku hilang, terus dan terus, aku memikirkannya saat pulang. Layar HPku berbunyi bertanda pesan whatsapp masuk. Ternyata pesan seorang sahabat yang mengajak menyeduh kopi di sore hari. Tentu, ajakan itu, tak mampu ku tolak. Kita bertemu di tempat favorite kami—Café Tempurung—café yang indah dengan panorama alam di sekitarnya. 

“Bagaimana kabarmu,” katanya.
“Aku, baik dan semoga akan terus baik, ku harap kamu pun sebaliknya,”
“Ah, kamu selalu tidak memberikanku kesempatan tuk sedikit menjelaskan bahwa aku tak seindah ucapanmu, itu”
“Bukankah kita harus selalu baik-baik saja! Karena dunia ini cuma permainan, tapi kita jangan memainkan permainan itu sendiri, takut celaka,”
 
Mereka tertawa hingga memecah keseriusan kalimat-kalimat yang sebelum terucap. Anggap saja tawa adalah jeda tuk sebentar tidak memikirkan apapun. Mereka tak henti tertawa hingga mengundang perhatian pelanggan yang juga lama diam di tempat itu. 

“Kamu, memang tidak pernah kehabisan kalimat hanya untuk membuatku tertawa,” katanya
“Tugas kita hanya menyebarkan virus kebahagian, bukan corana virus,” tutur ku begitu.

Tari tiba-tiba diam. Kontak matanya kosong, tubuhnya memberi signal, ada ucap yang tak sampai. Entah, apa yang terjadi?!

“Mengapa kamu tiba-tiba membisu, Tar”
“Ada hal yang ingin ku ceritakan, ini terlihat sipele tapi mengusik pikiran ku selama ini,”
“Apa yang terjadi?”
“Kita sering membaca soal apapun buku yang berbau keadilan,”
“Lalu?”
“Kamu pernah berpikir tidak? Ketika kita menjadi perempuan ternyata, apapun yang dikatakan buku soal keadilan masih jauh dengan kata itu,”
“Aku juga memikirkan soal itu, soal kesukaran di lingkungan kita sendiri, yang utamanya paham soal konsep keadilan, namun gagal soal praktik,’
“aku setuju soal itu,”

Apa arti paling penting dari membaca buku? Berdebat soal dengan konsep untuk menawarkan gagasan dalam forum kah ? Hingga terlihat keren, atau menulis status dengan kutipan buku yang seolah-olah bijak. Apa yang paling penting darinya? Tentu adalah kesadaran. Kadang kala kita, mahir dalam beucap hingga mejelaskan teori dalam segala aspek, namun gagal mempraktikan dalam hal yang terkecil dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana ingin menciptakan peradaban, namun kita sendiri saja belum beradab? Paling penting memang soal moral dalam membentuk keadaban yang dibalut pengetahuan hingga melahirkan kesadaran. 

“Menyakitkan,”
“Iya, aku tau soal itu, Tar. Menyakitkan, sebenarnya. Apalagi kita yang senang untuk membaca buku, dengan harapan bisa terinternalisasi dalam diri dan tentu bisa dipraktikan dengan baik,”
“Aku geram, sebenaranya ketika perempuan hanya dijadikan si konsumsi dalam setiap kepanitian, dengan dalih bahwa perempuan lebih tau soal masak dan semua tentang dapur itu dalam suatu organisasi, yang mendagu pro adil gender. Tidak hanya itu, ketika di dalam organisasi keadaan kotor hanya perempuan yang disuruh untuk menyapu, padahal organisasi itu ditempati bersama, bukan hanya perempuan, tetapi lelaki juga. Oh, tidak hanya itu soal sekretaris dan bendahara perempuan pasti diletakkan dalam jabatan itu, dengan dalih mereka sabar,”
“Aku setuju, tapi semisal ada kesepakatan secara domokratis tak mejadi masalah dimana pun diletakkan, terpenting ada persetujuan dengan semua pihak. Tidak disepakati secara sepihak,”
“Bagaimana bisa mewujudkan keadilan gender, mereka saja tak mampu meninternalisasi pada lingkungan yang terkecil,”
“Aku semakin geram, ketika grup Whatsapp mengirimkan hal yang berbau sex, bahkan itu adalah objeknya perempuan. mereka tertawa lepas seakan-akan hal itu lumrah,” 
“Tapi, Tar itu memang sudah lumrah. Mengapa begitu? Karena mereka telah terbiasa melakukan hal itu dan terbudaya,”

Sesuatu hal yang terbiasa dilakukan akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang sudah diamiinkan bersama dan terbudaya secara sistemetis. Budaya yang tak harus dibudayakan. Lalu, diskusi soal gender adalah formalitas agar terkesan baik suatu organisasi itu, padahal “tidak”.  Jika hal yang terkecil saja tak dapat dilakukan, bagaimana yang besar? Bagimana dengan kemenangan kecil? Mengapa kita selalu konsen terhadap kemenangan besar yang seharusnya tercapai terlebih dahulu adalah kemenangan kecil.

“Ah, sial sepertinya kita mendiskusikan ini energiku terkuras,”
“Memang, iya kita harus pintar-pintar mengambil hal positif dari setiap kegundahan kita, kemarahan kita, dan semua hal yang mampu menguras energi kita,”
“Kita ini sudah terkepung dengan keadaan yang tak baik-baik saja. Tidak hanya dalam organisasi kita ini, namun lingkungan masyarakat itu sendiri juga memaknai tubuh kita secara budaya tanpa persetujuan pemilik tubuh yang sesungguhya (perempuan). Artinya, problem dengan lingkungan. membuat beragam aturan disematkan dalam tubuh perempuan dan harus kita patuhi tanpa tau sebab musebabnya,”
“Tugas kita besar, ternyata ya,”
“Bukan tugas kita saja, Tar. Tapi, tugas manusia yang megklaim dirinya manusia,”
“Lalu, kita harus lakukan apa? Agar keadailan itu ada?”
“Lakukan semua hal yang bisa dilakukan, mengajak teman laki-laki maupun perempuan paham soal gender. Tidak hanya teman semua kompenen kelurga harus diberikan kesadaran itu, namuan harus perlahan,”
“Mengapa harus perempuan juga? Bukankah perempuan malah menjadi objek dari ketidakadilan itu,”
“Ya, karena perempuan juga berpotensi melakukan sistem patriarki dengan perempuan lainnya,”
“Misalnya?”
“Perempuan yang sudah berdaya, dia tidak ingin mengajak perempuan lain juga berdaya. Malah sebaliknya iya menutup akses bagi perempuan yang ingin belajar,”
“Mengerikan, semoga kita dijauhi dengan hal semacam itu,”

Entah, bagaimana caranya keadilan dan kesetaraan gender akan dirasakan oleh semua elemen. Bersyukur, sebenaranya menjadi seorang perempuan sebagai anugrah pemberian Tuhan dengan cinta kasihnya yang begitu indah. Namun, kadang kala membenci menjadi seorang perempuan. Kata para penyair karena cinta dan benci adalah saudara. Benci ketika budaya menafsirkan segal hal perihal aturan perempuan yang harus dilakukan atas nama budaya. Namun, rasa cinta itu datang, saat Tuhan memberikan keunggulan menjadi perempuan, yang tak dimiliki lelaki. 

Namun, disamping itu, sering kali tersulut api kemarahan ketika para teman fasih dalam menerangkan konsep kesetaraan dan keadilan gender, namun gagal mempraktikan. Sakit, rasanya. Bahkan, lebih sakit dibandingkan dengan lingkungan masyarakat yang masih patriarki. Lantas, sampai kapan kita mencapai keadilan dan kesetaraan gender? 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Miri pariyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler