x

Rumah sakit kerap dianggap meng-COVID-kan pasien, meski sebenarnya yang terjadi adalah disinformasi

Iklan

Yudhi Hertanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2023

Rabu, 8 Februari 2023 08:20 WIB

Sistem Kesehatan di Persimpangan Jalan

Sistem kesehatan harus dipersiapkan dengan membenahi akses pelayanan dan jaminan hak kesehatan warga negara. Utamanya dalam pemenuhan aspek kuratif. Pada bagian ini kekuasaan dijauhkan dari kebisingan politik agar bisa fokus pada kesejahteraan masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah Rahmat Aulia (11) yang sabar mengantar ayahnya Rusli Yusuf (46), berobat ratusan kilometer di Aceh dengan menggunakan becak motor tua, begitu mengharukan.

Tentu perjuangan serupa banyak terjadi, namun luput dari perhatian kita. Akses kesehatan menjadi sedemikian penting untuk memastikan terpenuhinya hak mendapatkan pelayanan kesehatan. Sistem kesehatan kita masih perlu dibenahi.

Kerangka program Jaminan Kesehatan Nasional -JKN dengan gelaran BPJS Kesehatan adalah upaya yang dibentuk untuk dapat mendorong terpenuhinya hak dasar kesehatan masyarakat. Tetapi hal ini tentu tidak mudah. Target sasaran kepesertaan secara nasional berhadapan dengan berbagai problem kesehatan publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama ini kesehatan kerap dianggap sebagai isu penyerta pembangunan. Padahal masalah kesehatan sejatinya merupakan bagian fundamental dalam menghidupkan pembangunan suatu bangsa. Kesehatan selalu dikaitkan dengan angka harapan hidup, bila tidak mampu ditangani seksama.

Hal itu sesuai penyampaian Susan Sontag dalam buku Penyakit Sebagai Metafora (2021). Sesungguhnya keberadaan penyakit selalu beriringan dengan konstruksi metafora yang menyertainya, yakni tentang kematian. Berbagai penyakit terbentuk menjadi alat demoralisasi bagi penderitanya.

Dengan begitu, upaya untuk memastikan penguatan kapasitas sektor kesehatan sebagai tiang pokok pembangunan menjadi beralasan, karena tidak mungkin suatu bangsa dapat melaju dalam derap modernisasi tanpa kemampuan fisik yang prima sebagai prasyarat.

Namun realitanya bisa berbeda. Keberlangsungan BPJS Kesehatan dibayangi ancaman adanya defisit anggaran, Kompas (30/1). Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pembiayaan menjadikan situasi menjadi kritis. Kondisi defisit muncul dan celah tersebut harus ditambal melalui intervensi kekuasaan, dengan alokasi anggaran.

Pada saat yang bersamaan isu-isu kesehatan nampaknya belum menjadi prioritas. Pembangunan yang kasat mata, sebagaimana infrastruktur fisik tampil seakan menjadi tujuan utama. Padahal terdapat keterbatasan keuangan. Disitulah letak kemampuan untuk merumuskan fokus kesejahteraan umum.

Kita tidak hendak memaknainya dalam konteks Erich Fromm (1995) dalam Masyarakat yang Sehat (1995), bahwa persoalan kesehatan menjadi sebuah hal yang ganjil untuk dapat diraih pada ruang tamak sistem kapitalistik, sehingga akan berkaitan erat dengan perubahan sistem sosial dan ekonomi.

Tetapi jelas dibutuhkan kerangka sistemik, dalam memberikan jaminan kesehatan bagi publik. Dalam hal tersebut reorientasi konsep pembangunan kesehatan yang menjadi motor penggeraknya. Kenapa? Bahkan dalam doa kita semua, permintaan akan sehat selalu dipanjatkan. Sehat menjadi keutamaan.

Bagaimana membangun struktur sistem kesehatan yang mumpuni, terutama dengan melihat kondisi keterbatasan kemampuan negara dan potensi kegagalan pasar?

Menyerahkan sepenuhnya kepada sistem pasar dengan motif permintaan serta penawaran mengakibatkan komersialisasi. Sementara itu memberikan porsi seutuhnya kepada kuasa negara, seolah tidak mampu ditanggung.

Solusinya diformulasi dengan model jalan tengah. Kombinasinya melibatkan peran aktif sistem kesehatan yang tersedia untuk mendorong aspek preventif dan promotif sebagai sarana pencegahan. Termasuk mengaktifkan partisipasi publik guna membangun kesadaran kesehatan sebagai aset individu.

Di sisi berbeda, sistem kesehatan dipersiapkan dengan membenahi akses pelayanan dan kepastian dalam menjamin hak kesehatan warga negara terkait pemenuhan aspek kuratif. Pada bagian ini, kekuasaan tidak diterjemahkan sebagai kebisingan politik, melainkan dalam bentuk manfaat kesejahteraan.

Pada bagian akhir, komitmen bersama untuk menghadirkan kehidupan yang sehat hanya dapat diartikulasikan melalui kemauan untuk saling bekerjasama. Publik harus berupaya menjaga dirinya dari potensi sakit, semantera itu pemberi layanan memaksimalkan ikhtiar dalam pelayanan paripurna bagi yang sakit.

Di penghujungnya pemangku kekuasaan mengambil bagian terbesar memastikan terlindunginya kehidupan seluruh warga negara tanpa terkecuali karena hal tersebut menjadi amanat dalam pernyataan kehidupan kebangsaan yang merdeka.

Ikuti tulisan menarik Yudhi Hertanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB