Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Meretas Sekat Iman, Menyembukan Luka Kebebasan Beragama

Kamis, 12 Juni 2025 06:14 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Keragaman Penampilan Perempuan
Iklan

Artikel ini merefleksikan kenyataan tentang idealisme kebebasan beragama demi mencapai impian akan Indonesia yang berwajah inklusif

Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge, Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende

 Di tengah janji konstitusi yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak paling hakiki, kenyataan di lapangan masih menyisakan luka bagi banyak pemeluk keyakinan. Dalam riuh rendah kehidupan berbangsa, lembaga Imparsial mencatat 23 kasus pelanggaran kebebasan beragama sepanjang tahun 2024 yang hemat saya telah menjadi bayangan suram dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Penolakan pendirian rumah ibadah dan pembatasan kegiatan keagamaan bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan cerminan dari tantangan sosial yang menguji keberagaman sebagai kekuatan utama bangsa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Regulasi diskriminatif yang diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah menggambarkan dilema antara hukum dan praktik sosial, di mana batas antara perlindungan dan pembatasan menjadi semakin kabur. Ketika kebebasan beragama dipandang sebagai komoditas yang dapat dinegosiasikan, nilai-nilai kebangsaan kehilangan substansi sejatinya.

Dalam semangat konstitusi yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak fundamental, realitas yang terjadi di berbagai daerah masih menunjukkan bahwa hak ini belum sepenuhnya terlindungi. M. Imdadun Rahmat, mantan Ketua Komnas HAM, menekankan bahwa kebebasan beragama adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebuah prinsip yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap kebijakan negara.

Namun, regulasi daerah yang diskriminatif justru sering kali menjadi penghalang bagi kelompok minoritas untuk menjalankan keyakinannya secara bebas. Dari penolakan pendirian rumah ibadah hingga pembatasan ritual keagamaan, kebijakan yang mengatasnamakan harmoni sosial kerap kali menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang berbeda. Ketika negara seharusnya hadir sebagai pelindung hak fundamental ini, banyak komunitas masih harus berjuang untuk mendapatkan ruang bagi ekspresi keimanan mereka.

Kondisi ini menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang ada serta komitmen yang lebih kuat dari pemerintah dalam menegakkan prinsip kesetaraan, sebab tanpa keberpihakan yang jelas terhadap kebebasan beragama, demokrasi yang dicita-citakan akan kehilangan maknanya. Salah satu bentuk pelanggaran yang paling sering terjadi adalah penolakan pendirian rumah ibadah. Banyak komunitas agama mengalami kesulitan dalam memperoleh izin pembangunan tempat ibadah, terutama di daerah dengan mayoritas penduduk yang berbeda keyakinan. Dharma Leksana, Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI), mengkritik Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang sering digunakan sebagai alat untuk membatasi kebebasan beribadah.

Selain itu, pembatasan kegiatan keagamaan juga menjadi masalah serius. Beberapa kelompok minoritas menghadapi larangan dalam mengadakan perayaan keagamaan di tempat umum. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi masih menjadi tantangan besar dalam kehidupan beragama di Indonesia. Setara Institute mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, dengan 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara dan 215 tindakan oleh aktor non-negara.

Di balik dalih harmoni sosial, regulasi diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah daerah justru menjadi tembok pemisah yang memperdalam kesenjangan antarumat beragama. Alih-alih menciptakan ruang kebersamaan, kebijakan yang membatasi ekspresi keagamaan tertentu telah mengukuhkan ketidaksetaraan dan melanggengkan stigma terhadap kelompok minoritas. Yang lebih mengkhawatirkan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)—yang seharusnya menjadi jembatan dialog—dalam beberapa kasus justru turut berkontribusi pada pelanggaran kebebasan beragama, terjebak dalam kepentingan politis yang mengorbankan hak asasi. Ketika aturan dibuat tidak untuk melindungi, tetapi untuk membatasi, maka masyarakat akan terus berada dalam pusaran intoleransi yang menghambat integrasi sosial.

Di sinilah urgensi negara untuk hadir bukan sebagai pembatas, melainkan sebagai penjaga kesetaraan yang menjamin bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, berhak atas kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinannya.Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi kebijakan yang lebih inklusif. Pemerintah harus meninjau kembali regulasi yang membatasi kebebasan beragama dan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam menjalankan keyakinannya. Selain itu, edukasi mengenai toleransi dan keberagaman harus diperkuat, baik melalui sistem pendidikan maupun kampanye publik.

Peran masyarakat sipil juga sangat penting dalam mendorong perubahan. Organisasi seperti Komnas HAM, Setara Institute, dan PWGI (Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia) telah berkontribusi dalam mengadvokasi hak-hak kelompok minoritas. Namun, upaya ini perlu didukung oleh kebijakan yang lebih progresif dari pemerintah. Misalnya, mempertegas implementasi perlindungan hak kelompok minoritas dalam Pasal 28D dan Pasal 28I UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM,  dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang mengakui hak-hak kelompok minoritas.

Pada akhirnya, diharapkan agar kebebasan beragama bukan hanya tentang hak individu, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Indonesia sebagai negara dengan keberagaman agama yang tinggi harus mampu menjadi contoh dalam menjamin kebebasan beragama bagi semua warganya. Tanpa komitmen yang kuat dari pemerintah dan masyarakat, pelanggaran kebebasan beragama akan terus menjadi masalah yang menghambat demokrasi dan keadilan sosial.***

Bagikan Artikel Ini
img-content
Anselmus Dore Woho Atasoge

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler