Praktisi ISO Management System and Compliance
Ketika Listrik Padam, Jakarta Terasa Seperti Kota yang Kehilangan Napas
2 jam lalu
Listrik padam, Jakarta gelap: ujian kesiapan infrastruktur nasional.
***
Malam itu, pukul 20.17, lampu ruang tamu saya tiba-tiba padam. Saya masih duduk di depan laptop, menyelesaikan laporan kerja yang harus dikirim sebelum tengah malam. Layar komputer mati dalam sekejap. Saya mencoba menyalakan senter dari ponsel, dan keluar ke balkon. Dari ketinggian lantai tujuh apartemen di bilangan Senayan, Jakarta terlihat seperti kota yang kehilangan nyawanya—gelap gulita, tanpa gemerlap gedung pencakar langit yang biasanya menyala hingga dini hari.
Tidak ada suara genset yang menyala. Tidak ada cahaya biru dari layar televisi di rumah tetangga. Hanya suara klakson mobil yang saling bersahutan dari kejauhan, mungkin karena lampu lalu lintas mati. Saya membuka grup WhatsApp keluarga dan langsung disambut oleh belasan pesan: “Listrik mati di Bogor juga.” “Di Depok total blackout.” “PLN lagi apa sih?”
Saya bukan ahli energi, tapi sebagai warga negara yang membayar tagihan listrik tiap bulan—kadang lebih mahal dari cicilan motor—saya berhak bertanya: bagaimana mungkin ibu kota negara dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa bisa lumpuh hanya karena satu titik gangguan?
Keesokan harinya, PLN menjelaskan bahwa pemadaman masif itu disebabkan oleh gangguan pada Gardu Induk Ungaran, Jawa Tengah. Satu gardu induk. Satu titik. Dan seluruh sistem kelistrikan Jawa-Bali runtuh seperti domino. Mereka menyebutnya “gangguan sistem transmisi utama”. Kata-kata itu terdengar teknis, steril, aman. Tapi bagi rakyat kecil, ini adalah bentuk ketidakcakapan yang tak bisa ditoleransi.
Bayangkan: rumah sakit yang harus mengandalkan generator cadangan untuk pasien di ICU. Pabrik yang terpaksa menghentikan produksi, merugi miliaran rupiah. UMKM yang tidak bisa membuka warung karena mesin kasir mati. Anak-anak sekolah yang tidak bisa belajar daring karena jaringan internet ikut lumpuh. Semua ini terjadi bukan karena bencana alam besar, tapi karena sistem kelistrikan nasional yang rapuh dan terlalu sentralistik.
Yang lebih menyedihkan, ini bukan kali pertama. Ingat pemadaman massal tahun 2019? Atau insiden serupa di beberapa daerah akibat overload saat musim kemarau? Setiap kali hal ini terjadi, publik marah, media ramai, PLN meminta maaf, dan semua orang kembali ke rutinitas—sampai insiden berikutnya datang.
Kapan kita akan serius memperbaiki sistem?
Fakta menunjukkan bahwa infrastruktur kelistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit-pembangkit besar yang terkonsentrasi di wilayah tertentu. Ketika salah satunya gagal, efek domino-nya merusak seluruh rantai pasok. Padahal, dunia sudah beralih ke model decentralized energy—pembangkit listrik tersebar, menggunakan energi terbarukan lokal seperti surya, angin, atau mikrohidro. Di Jerman, lebih dari 40% listrik diproduksi dari sumber terbarukan secara desentral. Di Denmark, mereka punya sistem smart grid yang bisa otomatis mengalihkan pasokan saat terjadi gangguan.
Indonesia? Masih terjebak pada model lama: batubara, sentralisasi, dan birokrasi yang lambat.
Lalu ada soal investasi. Anggaran untuk peremajaan jaringan listrik selalu kalah pamor dibanding proyek-proyek megah seperti ibu kota baru atau kereta cepat. Padahal, listrik adalah tulang punggung ekonomi. Tanpa listrik yang andal, industri macet, digitalisasi mandek, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap negara.
Saya teringat percakapan dengan seorang teknisi PLN yang dulu pernah diberitakan. Ia berkata, “Mas, kami tahu jaringannya sudah tua. Tiang-tiang listrik di pinggir jalan banyak yang karatan, kabelnya udah tipis kayak benang. Tapi anggaran pemeliharaan selalu dikurangi tiap tahun. Kami cuma bisa tambal sulam.”
Itu adalah pengakuan jujur dari garda terdepan yang bekerja dengan tangan terikat.
Namun, di balik semua kritik, saya juga melihat peluang. Krisis listrik bisa menjadi momentum untuk melakukan transformasi besar. Alih-alih hanya memperbaiki gardu induk, pemerintah harus berani merombak model penyediaan listrik nasional. Dorong energi terbarukan. Beri insentif untuk panel surya di atap rumah. Bangun mikrogrid di daerah-daerah rawan pemadaman. Libatkan swasta dan komunitas dalam pengelolaan energi lokal.
Beberapa daerah sudah mulai melakukannya. Di Sumba, misalnya, program Sumba Iconic Island berhasil menyediakan listrik dari tenaga angin dan surya untuk ribuan rumah. Di NTT, desa-desa terpencil kini punya pembangkit mikrohidro hasil kolaborasi masyarakat dan LSM. Ini bukti bahwa solusi ada—kita hanya butuh keberanian politik untuk memperluasnya.
Ketika listrik kembali menyala di Jakarta malam itu, saya tidak merasa lega. Saya merasa waspada. Karena setiap kali lampu menyala, kita mudah lupa betapa rapuhnya sistem yang menopang hidup kita. Kita puas dengan penjelasan teknis, permintaan maaf, dan janji perbaikan yang tak kunjung datang.
Padahal, listrik bukan hanya soal terang dan gelap. Ia soal keadilan, akses, dan masa depan. Ia simbol dari seberapa siap sebuah bangsa menghadapi abad ke-21.
Dan malam itu, saat Jakarta terdiam dalam gelap, saya merasa kita belum siap.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler