Periode Jabatan Anggota DPR Harus Dibatasi
Senin, 21 Juli 2025 13:20 WIB
Wakil rakyat yang terlalu lama di parlemen cenderung terputus dari realitas rakyat.
***
Dalam dunia politik tidak ada kekuasaan yang sepenuhnya tanpa risiko—termasuk kekuasaan yang diberi oleh rakyat kepada mereka yang mengaku mewakili. Di Indonesia, jabatan Presiden dibatasi maksimal dua periode. Tapi di parlemen, tidak ada rem yang mengatur berapa lama seorang legislator bisa bertahan di kursinya. Lima, sepuluh, bahkan dua puluh tahun bukan hal mustahil, selama tiket partai dan suara pemilih terus mengalir. Inilah ironi demokrasi elektoral kita: yang dibatasi adalah pemimpin eksekutif, sementara kekuasaan legislatif bisa menjelma dinasti yang sulit digugat.
Padahal dalam teori politik klasik, baik dari Montesquieu sampai konstitusionalisme modern, pembatasan kekuasaan limitation of power adalah syarat utama agar demokrasi tidak berubah menjadi oligarki. Jika jabatan presiden harus dibatasi agar tak jatuh pada otoritarianisme, mengapa wakil rakyat justru dibiarkan menjabat selama mungkin? Kekuasaan tanpa batas di tangan siapa pun, termasuk legislatif, tetaplah ancaman terhadap akuntabilitas publik.
Realitasnya, parlemen kita terlalu nyaman dalam status quo. Tanpa ada pembatasan periode, kursi DPR menjadi zona nyaman yang sulit ditembus oleh figur-figur baru. Mereka yang bertahan lima periode, kerap berasal dari dinasti partai atau keluarga elite. Publik melihat wajah-wajah yang sama muncul setiap pemilu, seakan tak ada stok lain dalam republik ini. Padahal, demokrasi menuntut sirkulasi kekuasaan, bukan akumulasi.
Situasi ini juga melanggengkan apa yang disebut sebagai krisis representasi. Wakil rakyat yang terlalu lama di parlemen cenderung terputus dari realitas rakyat. Mereka menjadi bagian dari struktur kekuasaan, bukan lagi penyambung suara warga. Tak sedikit dari mereka yang lebih sibuk menjalin relasi dengan sponsor politik, pengusaha tambang, atau pengatur anggaran, ketimbang mendengar jeritan konstituennya. Dalam banyak kasus, wakil rakyat bahkan menjadi pemilik modal itu sendiri. Maka, keterwakilan berubah menjadi pelanggengan.
Survei Litbang Kompas (2024) menunjukkan kepercayaan publik terhadap DPR stagnan di angka 37 persen. Ini bukan sekadar angka statistik, tapi cermin krisis legitimasi. Di sisi lain, angka partisipasi dalam pemilu legislatif cenderung menurun, terutama dari kelompok muda. Muncul ketidakpercayaan bahwa memilih akan membawa perubahan. Logikanya sederhana: untuk apa memilih, jika yang menang lagi-lagi orang yang sama?
Negara-negara lain telah memberi contoh. Meksiko membatasi masa jabatan legislatif. Filipina menetapkan tiga periode maksimal. Di banyak negara Eropa, meski tak ada aturan tertulis, praktik internal partai mendorong rotasi kader secara teratur. Di Indonesia, partai justru menjadi kendaraan elite lama untuk terus bertahan. Mereka enggan membuka ruang regenerasi, karena takut kehilangan suara, kuasa, dan tentu saja, sumber daya.
Usulan pembatasan masa jabatan legislatif sebenarnya bukan gagasan baru. Namun selalu mentok karena yang memutuskan adalah mereka yang diuntungkan oleh sistem yang longgar. Maka wacana ini perlu diangkat ulang, bukan oleh elite, tapi oleh publik. Rakyat berhak menuntut agar wakilnya juga tunduk pada prinsip pembatasan kekuasaan. Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah langkah strategis. Jika presiden dibatasi, maka legislatif pun harus dikenai rem yang sama.
Pembatasan masa jabatan tidak akan membunuh demokrasi. Justru sebaliknya: ia menyuburkan kompetisi sehat, memperkuat kaderisasi, dan membuka jalan bagi wajah-wajah baru. Politik tidak boleh hanya dikuasai oleh mereka yang punya modal besar atau sejarah panjang. Politik adalah arena ide, bukan silsilah. Tanpa batasan jabatan, demokrasi hanya jadi pesta lima tahunan tanpa substansi.
Kita tidak sedang anti terhadap wakil rakyat. Yang kita tolak adalah kekuasaan yang terlalu lama hingga lupa siapa yang diwakilinya. Demokrasi butuh pembaruan. Dan setiap kekuasaan, bahkan yang dipilih rakyat, tetap harus dibatasi. Karena dalam politik, siapa pun yang terlalu lama duduk di kursinya, pada akhirnya akan lupa untuk berdiri dan melihat ke luar jendela rakyatnya.

Penulis Indonesiana, komisaris dpk gmni up45 Yogyakarta,
2 Pengikut

Keganjilan Logika Keagamaan dalam Fatwa Haram Sound Horeg oleh MUI
Selasa, 29 Juli 2025 09:15 WIB
Kegagalan ASEAN dan Supremasi Hukum dalam Konflik Thailand‑Kamboja
Sabtu, 26 Juli 2025 06:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler