Kegagalan ASEAN dan Supremasi Hukum dalam Konflik Thailand‑Kamboja
Sabtu, 26 Juli 2025 06:12 WIB
Kegagalan ASEAN dan hukum internasional dalam mediasi konflik Thailand–Kamboja tunjukkan perlunya reformasi hukum regional.
Ketegangan bersenjata antara Thailand dan Kamboja yang memuncak pada 24–25 Juli 2025 telah menempatkan ASEAN pada ujian besar terhadap kapasitas diplomasi dan supremasi hukum internasional. Bentrokan artileri berat di wilayah Emerald Triangle menewaskan puluhan warga sipil, melukai ratusan orang, dan memaksa lebih 58 ribu orang mengungsi hanya dalam dua hari pertama konflik.
Serangan udara dengan jet tempur F 16 yang dilancarkan Bangkok terhadap posisi militer Kamboja menunjukkan betapa cepatnya sengketa perbatasan yang pernah dinilai relatif terbatas berubah menjadi konfrontasi hampir penuh skala.
Opini Busyro Mahasiswa Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Dari perspektif hukum internasional, konflik ini sejatinya bisa dicegah melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang telah tersedia. Sejak putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 1962 dan interpretasinya pada 2013, wilayah Candi Preah Vihear secara hukum menjadi milik Kamboja. Namun Thailand tidak pernah sepenuhnya menerima kewajiban pasca putusan tersebut, sehingga menyisakan “zona abu abu” legal yang terus berkembang menjadi sumber gesekan.
Kegagalan negara-negara anggota ASEAN, termasuk Thailand, untuk mematuhi putusan ICJ mencerminkan rendahnya penghormatan terhadap supremasi hukum, sekaligus melemahkan wibawa Mahkamah Internasional sebagai arbiter sengketa teritorial.
Dalam prinsip konsensus dan non-intervensi yang tertuang dalam Piagam ASEAN justru membelenggu blok regional ini untuk mengambil tindakan tegas. Ketika Malaysia sebagai ketua ASEAN mengajukan seruan segera gencatan senjata dan tawaran mediasi, Bangkok secara terbuka menolak keterlibatan pihak ketiga dan menegaskan hanya bersedia melanjutkan negosiasi secara bilateral setelah Kamboja menghentikan serangan terlebih dahulu.
Sikap tersebut bukan hanya mengabaikan panggilan menyerukan penghentian tembakan dari komunitas internasional, tetapi juga menegaskan dominasi politik domestik atas kepatuhan terhadap komitmen multilateral.
Kita harus melihat bahwa penolakan Thailand terhadap mediasi ASEAN dan ICJ menimbulkan dua konsekuensi serius. Pertama, kegagalan mekanisme regional memaksa penyelesaian sengketa bergeser kembali pada kekuatan militer—fenomena yang seharusnya jauh dari semangat diplomasi modern. Kedua, penolakan terhadap yurisdiksi ICJ merusak preseden bahwa perjanjian dan putusan pengadilan internasional bersifat final dan mengikat. Negara-negara lain di kawasan dapat terinspirasi untuk menolak keputusan hukum jika dianggap merugikan kepentingan nasional, yang pada gilirannya menggerus arsitektur hukum internasional.
Dari sudut hak asasi manusia, konflik yang melibatkan penembakan artileri dan serangan udara di kawasan pemukiman sipil jelas melanggar prinsip proporsionalitas dan perlindungan warga di zona konflik. ASEAN—meski tidak memiliki mekanisme proteksi HAM yang kuat—seharusnya mengambil langkah lebih proaktif untuk memastikan negara anggota menegakkan standar internasional terhadap perlindungan non kombatan. Di sinilah peran Komnas HAM dan lembaga serupa menjadi penting untuk mendokumentasikan pelanggaran, mendorong pertanggungjawaban, dan memberikan tekanan moral-politik kepada negara berkonflik.
Alternatif penyelesaian sengketa dengan menerapkan arbitrase internasional di luar ICJ juga patut dipertimbangkan. Mekanisme arbitrase dapat dirancang lebih fleksibel, dengan panel pakar hukum kawasan dan internasional, serta jaminan pelaksanaan keputusan melalui pengawasan ASEAN Plus atau Dewan Keamanan PBB. Langkah ini dapat menjembatani ketidakpercayaan kedua pihak terhadap ICJ sekaligus menciptakan forum baru yang disepakati bersama.
Lebih strategis lagi, ASEAN perlu merumuskan amandemen Piagam yang menguatkan mandat mediasi dan penyelesaian hukum tanpa harus menunggu konsensus penuh. Konsep “konsensus konstruktif”—dimana minoritas anggota dapat memajukan inisiatif resolusi konflik apabila mayoritas mendukung—dapat menjadi kunci untuk menghindari kebuntuan mediasi seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, penyusunan perjanjian kawasan yang mengikat tentang perlindungan situs warisan budaya, termasuk Preah Vihear, dapat mencegah eskalasi berulang di masa mendatang.
Supremasi hukum tidak akan terwujud jika negara negara enggan menyerahkan sebagian kedaulatan mereka kepada aturan yang mereka sepakati bersama. ASEAN, dengan seluruh kelebihannya sebagai blok regional terbesar ketiga di dunia, memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menegakkan prinsip penyelesaian sengketa damai. Indonesia, sebagai anggota berpengaruh, dapat memimpin inisiatif reformasi Piagam dan memfasilitasi dialog hukum yang lebih konstruktif.
Untuk memperkuat kerangka hukum regional dan internasional, konflik perbatasan Thailand–Kamboja akan terus menjadi luka lama yang muncul kembali saat momentum politik menghendaki. Kesempatan menuju perdamaian hakiki hanya akan terwujud ketika kekuatan hukum lebih dihormati daripada kekuatan senjata. Itu pula tugas kita, para mahasiswa hukum, untuk terus mengawal, kritisi, dan mendorong prakarsa kebijakan yang menempatkan hukum sebagai instrumen utama penegakan keadilan dan perdamaian di ASEAN.

Penulis Indonesiana, komisaris dpk gmni up45 Yogyakarta,
2 Pengikut

Keganjilan Logika Keagamaan dalam Fatwa Haram Sound Horeg oleh MUI
Selasa, 29 Juli 2025 09:15 WIB
Kegagalan ASEAN dan Supremasi Hukum dalam Konflik Thailand‑Kamboja
Sabtu, 26 Juli 2025 06:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler