Likuiditas Melimpah, Daya Beli Seret

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Suasana Pasar Tradisonal
Iklan

Uang yang disalurkan ke bank bukan obat mujarab. Ia hanya salah satu instrumen yang bisa bekerja efektif bila ekosistem ekonomi mendukung.

***

Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, pemerintah kerap menyalurkan dana besar ke perbankan dengan harapan mendorong pertumbuhan. Logikanya sederhana: likuiditas bank meningkat, kredit mengalir, sektor riil bergerak, dan ekonomi tumbuh. Namun, di balik logika itu tersimpan persoalan fundamental: apakah masyarakat memiliki daya beli yang cukup untuk menyerap hasil produksi sektor riil?

Kita sering beranggapan bahwa perbankan adalah motor penggerak ekonomi. Ketika dana pemerintah ditaruh di bank, likuiditas meningkat dan kemampuan menyalurkan kredit membesar. Tetapi, jika dana itu hanya mengendap tanpa diarahkan pada pembiayaan produktif, maka fungsinya sebatas menjadi “tabungan besar” negara. Ia aman secara kas, namun tidak memberi dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masalah menjadi lebih serius ketika dana itu benar-benar mengalir ke sektor riil, tetapi daya beli masyarakat sedang rendah. Perusahaan yang mendapat kredit mungkin bisa meningkatkan produksi, namun barang dan jasa yang dihasilkan tidak terserap pasar. Akibatnya, stok menumpuk, harga turun, dan arus kas perusahaan terganggu. Dalam jangka menengah, risiko gagal bayar (default) meningkat dan justru memberi beban baru kepada bank.

Fenomena ini menciptakan paradoks: uang ada, produksi ada, tetapi konsumsi lemah. Ekonomi ibarat mesin yang macet karena salah satu roda tidak berputar. Perbankan yang sejatinya berfungsi sebagai lembaga intermediasi justru menghadapi risiko kredit macet. Pada titik ini, penyaluran dana pemerintah ke bank bukannya menjadi stimulus, melainkan bisa memperlambat pemulihan ekonomi.

Kita bisa melihat gejala ini pada periode pandemi lalu. Pemerintah menyalurkan likuiditas besar ke bank untuk menjaga stabilitas, tetapi konsumsi rumah tangga turun tajam. Sektor riil yang mendapatkan akses kredit sulit menjual produknya. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tetap lesu meski uang beredar di sistem perbankan.

Artinya, menyalurkan dana ke bank saja tidak cukup. Pemerintah harus memastikan ada keseimbangan antara sisi penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side).
• Dari sisi permintaan, daya beli masyarakat harus dijaga. Bantuan sosial, subsidi, dan program padat karya menjadi instrumen penting agar rumah tangga memiliki kemampuan konsumsi. Tanpa konsumen yang kuat, produksi hanya akan berakhir di gudang.
• Dari sisi penawaran, kredit bank harus diarahkan ke sektor yang memiliki permintaan stabil: pangan, energi, kesehatan, dan transportasi. Sektor-sektor ini lebih tahan krisis karena barang dan jasanya tetap dibutuhkan meskipun daya beli menurun.
• Kebijakan simultan diperlukan. Pemerintah perlu menyeimbangkan instrumen fiskal (misalnya belanja negara untuk infrastruktur dan bantuan sosial) dengan instrumen moneter (pengaturan suku bunga, likuiditas, dan kredit). Tanpa koordinasi yang erat, kebijakan hanya akan menjadi tambal sulam.

Uang yang disalurkan ke bank bukanlah obat mujarab bagi ekonomi. Ia hanya salah satu instrumen yang bisa bekerja efektif bila ekosistem ekonomi mendukung. Jika masyarakat tidak memiliki daya beli, maka dorongan produksi justru berubah menjadi beban baru bagi sektor riil.
Paradigma kita harus bergeser. Pertumbuhan ekonomi tidak cukup didorong dari sisi produksi, tetapi harus disertai dengan penguatan konsumsi masyarakat. Negara-negara dengan ekonomi kuat selalu menyeimbangkan keduanya: industri berjalan, masyarakat mampu membeli, dan bank berfungsi sebagai jembatan, bukan penampung dana semata.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah dana yang ditempatkan pemerintah di bank benar-benar bergerak ke masyarakat? Jika jawabannya tidak, maka kita hanya memindahkan uang dari satu brankas besar ke brankas yang lain. Pertumbuhan ekonomi sejati hanya lahir ketika produksi dan konsumsi berjalan beriringan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Alfian Yuda Prasetiyo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler