Praktisi ISO Management System and Compliance

Krisis Air Bersih di Tengah Kota Megapolitan: Saat Jakarta Haus di Tengah Hujan

7 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kodim 0815 Mojokerto Pasok Air Bersih Untuk Warga Tempuran
Iklan

Jakarta haus meski hujan tiap hari. Krisis air bersih mengungkap gagalnya tata kelola lingkungan. Simak analisis lengkapnya di sini.

Setiap pagi, warga RW 08 di Cilincing, Jakarta Utara, berbaris panjang di depan mobil tangki air bersih. Anak-anak membawa ember plastik, ibu-ibu menenteng jerigen, lansia duduk menunggu giliran. Mereka bukan pengungsi bencana. Mereka adalah warga ibu kota — yang entah bagaimana, hidup tanpa akses air bersih.

“Air PAM? Sudah dua minggu mati. Kalau hujan, kami tampung pakai terpal,” kata Bu Rini, sambil menunjukkan bak mandi retak yang penuh genangan keruh. “Itu yang dipakai cuci baju, mandi, kadang diminum kalau darurat.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di saat yang sama, di sebuah apartemen mewah di SCBD, seorang eksekutif menyalakan shower selama 20 menit, tanpa tahu dari mana asal airnya — atau berapa banyak orang di luar gedung yang rela antre demi segalon.

Jakarta, kota dengan curah hujan tahunan lebih dari 2.000 mm, sedang mengalami kelaparan air bersih. Ironi ini bukan kebetulan. Ini adalah cermin dari gagalnya tata kelola lingkungan, infrastruktur, dan keadilan sosial.


Angka yang Mengejutkan: Ibu Kota Haus di Tengah Banjir

Data Kementerian PUPR (2025) mencatat, hanya 61% penduduk Jakarta yang terlayani oleh air bersih dari PD PAL Jaya. Sisanya — lebih dari 4 juta orang — bergantung pada sumur bor, air tanah, atau pasokan tangki harian yang mahal dan tidak steril.

Padahal, setiap tahun Jakarta diguyur hujan deras. Tapi alih-alih menjadi sumber kehidupan, air itu malah jadi ancaman: banjir merendam rumah, lumpuhkan jalan, dan rusakkan properti.

Jakarta punya masalah besar: ia bisa tenggelam, tapi tidak bisa minum.

Sistem resapan air hancur. Luas ruang terbuka hijau (RTH) hanya 10,5%, jauh di bawah standar WHO (30%). Betonisasi liar, alih fungsi lahan, dan reklamasi pantai telah menghancurkan kemampuan alami tanah untuk menyimpan air hujan.

Akibatnya:

  • Air hujan langsung mengalir ke sungai → banjir.
  • Air tanah tidak tersisi → permukaan tanah turun (land subsidence).
  • Warga menggali sumur ilegal → air tanah terkontaminasi logam berat dan bakteri.

Laporan WALHI DKI 2025 menyebut, permukaan tanah di Jakarta Utara turun hingga 10 cm per tahun — salah satu yang tercepat di dunia. Di beberapa titik, tanah sudah berada 6 meter di bawah permukaan laut.

 

Isu Hangat: Saat Air Menjadi Barang Dagangan

Di tengah krisis, bisnis air bersih justru berkembang pesat. Mobil tangki beroperasi secara informal, menjual air dengan harga 3–5 kali lipat dari tarif resmi. Sebuah galon ukuran 19 liter dibanderol Rp25 ribu — padahal biaya produksi hanya Rp8–10 ribu.

Beberapa pengembang properti bahkan membangun sistem sumur bor komunal, lalu mengenakan biaya tambahan kepada penghuni. “Kalau mau air, bayar extra Rp150 ribu per bulan,” ujar seorang penghuni apartemen di Kelapa Gading.

Ini bukan lagi soal infrastruktur. Ini soal privatisasi akses dasar. Air bersih, hak asasi manusia menurut PBB, kini diperlakukan sebagai komoditas yang bisa dimonopoli.

Dan siapa yang paling terdampak? Bukan penghuni tower A. Tapi warga di kawasan padat, pemukiman liar, dan wilayah pesisir — mereka yang tidak punya suara, tidak punya akses, dan tidak dilindungi oleh kebijakan.

 

Belajar dari Singapura: Air Bisa Dikelola, Jika Ada Kemauan Politik

Di Singapura, negara tanpa cadangan air alami, 30% kebutuhan air dipenuhi dari NEWater — air daur ulang berkualitas tinggi yang aman diminum. Mereka juga punya sistem catchment hujan terintegrasi, atap bangunan dirancang untuk menampung air, dan setiap warga dikenai tarif progresif.

Di Jepang, sistem rainwater harvesting wajib di bangunan publik. Di Rotterdam, kanal multifungsi menampung air hujan, mencegah banjir, sekaligus menjadi sumber irigasi.

Apa bedanya dengan Jakarta?

Kemauan politik.

Kita punya teknologi. Kita punya anggaran. Kita punya contoh sukses. Tapi kita tidak punya prioritas.

Proyek-proyek besar seperti IKN atau MRT dipuji habis-habisan. Tapi pipa-pipa tua milik PD PAL Jaya yang bocor sejak puluhan tahun, dibiarkan begitu saja. Lebih dari 40% air bersih hilang karena kebocoran jaringan (BPS, 2024) — cukup untuk memenuhi kebutuhan 1,5 juta orang.


Solusi yang Harus Segera Diambil

Krisis air tidak bisa diselesaikan dengan operasi pasar atau mobil tangki semata. Dibutuhkan transformasi sistemik:

  1. Perluas Cakupan Air Bersih
    Percepat perluasan jaringan PAM ke kawasan rentan. Fokus pada wilayah utara dan timur Jakarta.

  2. Bangun Infrastruktur Resapan Massal
    Wajibkan biopori, sumur resapan, dan green roof di semua bangunan baru. Beri insentif bagi yang melaksanakan.

  3. Hentikan Eksploitasi Air Tanah Liar
    Tegakkan larangan sumur bor ilegal. Alihkan ke layanan air resmi dengan subsidi tepat sasaran.

  4. Daur Ulang Air Secara Skala Kota
    Bangun instalasi pengolahan air limbah (wastewater treatment) untuk kebutuhan non-minum: siram tanaman, toilet, industri.

  5. Libatkan Warga dalam Pengelolaan Air
    Dorong partisipasi komunitas dalam pemantauan kualitas air dan program konservasi.

 

Penutup: Jakarta Harus Belajar Minum dari Hujannya Sendiri

Saat hujan turun, Jakarta tidak boleh lagi hanya bersiap untuk banjir. Ia harus belajar menyambut air sebagai berkah.

Bayangkan jika setiap gedung, sekolah, masjid, dan rumah memiliki sistem penampungan air hujan. Bayangkan jika sungai-sungai tidak lagi menjadi tempat sampah, tapi jaringan resapan hidup. Bayangkan jika anak-anak di Cilincing tidak perlu antre air, tapi bisa minum langsung dari keran.

Itu bukan mimpi. Itu kota yang layak huni.

Karena kota megapolitan sejati bukan yang punya gedung tertinggi. Tapi yang bisa memberi minum kepada seluruh warganya — tanpa kecuali.

Dan Jakarta, sayangnya, belum sampai di sana.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler