x

Ilustrasi larangan merokok. JOHN MACDOUGALL/AFP/Getty Images

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membela Rokok

Pertanyaannya kalau harga rokok naik untuk membantu mereka yang ingin berhenti, mengapa masih ada yang ingin rokok muirah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Membela Rokok
 
Jalal
Reader on Political Ecology and Corporate Governance
Thamrin School of Climate Change and Sustainability
 
 
Pada penghujung bulan Juli 2016, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia mengeluarkan hasil studi tentang kaitan antara harga dan konsumsi  rokok.  Studi tersebut dipaparkan pada acara The 3rdIndonesian Health Economics Association Congress di Yogyakarta.  Salah satu kesimpulan studi tersebut adalah 72% perokok menyatakan akan berhenti merokok bila harganya di atas Rp50.000. 
 
Hasil studi tersebut kemudian menimbulkan perdebatan yang sangat menarik. Sama seperti topik apapun di seputar rokok, wacana perlunya kenaikan harga rokok secara ekstrem disikapi dengan pembelahan di negeri ini.  Tampaknya sangat ramai penentangannya, tetapi bahkan survei yang dilakukan oleh acara Indonesia Lawyers Club yang tampak jelas didesain untuk membela industri rokok pun menghasilkan 61% dukungan kenaikan harga rokok menjadi Rp50.000 itu.  Sementara, survei di Kompas.com menghasilkan dukungan yang lebih besar lagi, yaitu 70%.    
 
Sebetulnya, dukungan atas itu sama sekali tidak mengherankan.  Pertama, karena majoritas penduduk Indonesia bukanlah perokok, walaupun majoritas lelaki dewasa—sekitar 2/3-nya—adalah perokok.  Kedua, karena bahkan banyak di antara perokok sendiri menyadari bahaya merokok, dan seharusnya kebiasaan itu ditinggalkan.  Ketiga, karena niat untuk berhenti merokok memang banyak terbantu oleh alasan ekonomi, yaitu pemborosan bahkan kesia-siaan.  Keempat, karena para perokok sendiri sangat menyesal telah mulai melakukan tindakan itu, tetapi merasa kesulitan berhenti bila alasannya tak cukup kuat. 
 
Kenaikan harga yang ekstrem adalah alasan yang sangat ditunggu para perokok yang menyesal dan ingin berhenti merokok.  Pada tahun 2004 ada penelitian soal proporsi perokok di Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Kanada yang menyesal telah terjerumus ke kebiasaan buruk itu.  Pernyataan “If you had to do it over again, you would not have started smoking” dijawab dengan setuju dan sangat setuju oleh sekitar 90% perokok! Proporsi perokok yang menyesal tertinggi ada di Kanada (91,3%), disusul AS (91,2%), Australia (89,6%) lalu Inggris (89,2%).  Tak mengherankan kalau judul publikasinya adalah The Near-Universal Experience of Regret among Smokers in Four Countries: Findings from the International Tobacco Control Policy Evaluation Survey (Fong, et al., 2004).
 
Hampir universal? Tampaknya demikian juga yang terjadi di Indonesia.  Dalam pengalaman pribadi penulis, tak ada perokok jangka panjang yang tidak menyesal, namun mereka sangat memerlukan bantuan untuk berhenti.  Tentu saja, karena nikotin adalah candu yang sangat kuat, tanpa alasan yang lebih kuat lagi, di antaranya harga rokok yang menjadi sangat tinggi, sangatlah sulit bagi mereka untuk berhenti.  Sebuah studi yang lain, Effects of Tobacco Taxation and Pricing on Smoking Behavior in High Risk Populations: A Knowledge Synthesis (Bader, Boisclair dan Ferrence, 2011) mengungkapkan bahwa harga yang mahal sangatlah efektif untuk menghentikan para perokok remaja, dewasa-muda, dan mereka yang berstatus ekonomi lemah dari kebiasaan buruk itu. Tapi memang hal ini tidak berlaku untuk seluruh segmen, karena para perokok berat, mereka yang mengalami gangguan jiwa, dan masyarakat adat ternyata tetap meneruskan kebiasaannya.  Untuk ketiga segmen ini, penelitian tersebut menyarankan intervensinya yang lain juga perlu dilakukan.      
 
Pertanyaannya kemudian, kalau ilmu pengetahuan sangat jelas memberikan panduan untuk kita meningkatkan harga rokok hingga level yang membantu mereka yang ingin berhenti, mengapa masih juga banyak pihak yang menginginkan rokok murah, menganjurkan orang terus merokok, dan ‘argumentasi-argumentasi’ yang sejenisnya?  Jelas, itu karena mereka tidak mendasarkannya pada ilmu pengetahuan.  Bisa karena tidak tahu, bisa juga karena kepentingan-kepentingan tertentu.  Biasanya, namun tidak terbatas pada, ekonomi dan kekuasaan.    
 
Salah satu tulisan yang sangat banyak beredar di berbagai WhatsApp Group sejak isu ini beredar adalah tulisan Mohamad Sobary, mantan direktur Antara dan Kemitraan.  Tulisan tersebut membela rokok, terutama dengan keyakinan bahwa rokok tidaklah membahayakan dan kampanye pembatasan rokok itu ditunggangi kepentingan asing yang ingin menguasai pasar rokok Indonesia, atau industri farmasi asing yang ingin masuk untuk menggantikan rokok dengan terapi berhenti merokok.            Tulisan tersebut mengandung banyak sekali keanehan, dan kesalahan, yang tidak terlampau sulit untuk dideteksi.  Tapi, lantaran sentimen nasionalisme yang dikobarkannya, banyak di antara pembaca yang mungkin menjadi percaya pada butir-butir yang disampaikan.
 
Bagi penulis, sangatlah aneh apabila tulisan itu menyatakan bahwa yang mengilhami adalah buku Wanda Hamilton, Nicotine War.  Mengapa aneh?  Karena Hamilton adalah pembela industri rokok multinasional dan penganjur yang gigih Kapitalisme dan Neoliberalisme.  Dia ingin korporasi (rokok) multinasional berjaya, dia ingin negara memberikan jalan yang terbentang luas untuk itu. Jadi, bagaimana mungkin sikap kritis terhadap industri rokok global dibangun dari buku ini? Ronny Agustinus, cendekiawan yang menulis resensi atas buku tersebut di tahun 2013 dalam ulasan yang bisa diakses melalui https://titiktiga.wordpress.com/2013/04/02/nikotin/ bahwa:
 
“Biodata ringkas Hamilton di buku ini menyebutkan bahwa dia adalah peneliti independen dan salah satu aktivis yang tergabung dalam LSM bernama Forces. Namun penerbit tidak menjelaskan lebih lanjut apa itu Forces. Penelisikan lebih lanjut terhadap Forces menunjukkan dengan jelas arah neoliberal LSM ini. Forces International (sesuai singkatan namanya “Fight Ordinances and Restrictions to Control and Eliminate Smoking”) mengadvokasikan kebebasan individu dalam memilih gaya hidupnya (antara lain makan, minum, merokok) tanpa dibatasi oleh aturan-aturan negara terhadap dampak sosial pilihan gaya hidup tsb. Dari sini jelas warna neoliberal LSM ini yang mementingkan kebebasan pribadi dan antinegara.
 
Apalagi bila kita cermati satu per satu intelektual yang ada di belakang layar Forces International yang punya cabang di beberapa negara ini (lihat daftar Honour Committee mereka. Pierre Lemieux (Quebec-Kanada) dan Pascal Salin (Perancis) adalah ekonom-ekonom pasar bebas ekstrem anticampur tangan negara. Terutama Pascal Salin, yang adalah presidenSociété du Mont Pèlerin untuk periode 1994-1996! Kita tahu betul organisasi macam apa Mont Pèlerin Society itu: think tankbentukan Hayek dkk untuk menggodok dan menggencarkan ide neoliberal ke mana-mana. Silakan membaca buku Pascal Salin,Revenir au capitalisme: pour éviter les crises (2010) untuk tahu warna pemikiran ekonominya. Di situ ia nyatakan dengan jelas, sebagaimana terungkap dari judulnya, bahwa untuk menghindari krisis kita harus kembali ke kapitalisme pasar bebas murni!”
 
Siapapun yang pernah belajar tentang ideologi sangat mudah mencium bau Kapitalisme dan Neoliberalisme di halaman-halaman awal buku—lebih tepatnya pamflet propaganda—tersebut.  Mungkin hanya tuduhan-tuduhan tak berdasar bahwa industri farmasilah yang berada di balik kampanye ‘anti-rokok’ global yang mengilhami tulisan tersebut?  Masalahnya, bila dipikirkan baik-baik, industri rokok dan industri farmasi itu sebetulnya berada dalam simbiosis mutualisma.  Makin banyak orang yang sakit karena rokok, lalu ingin berhenti darinya, makin besar peluang bisnis untuk industri farmasi.  Seharusnya, yang dilakukan oleh industri farmasi adalah ikut mengompori pertumbuhan industri rokok, berjuang memasarkan rokok kepada sebanyak mungkin orang, lalu memanen sebanyak mungkin korbannya.  Kalau industri farmasi turut melakukan kampanye anti-rokok, bukankah dalam jangka panjang ia membunuh bisnisnya sendiri?
 
Masalah yang lain, Hamilton juga tak punya kualifikasi ilmiah yang memadai untuk menulis soal ekonomi-politik seperti itu.  Tak ada tulisannya di jurnal ilmiah, dan bukunya itu sama sekali tidak dianggap serius di komunitas ilmiah manapun.  Tentu saja, terkecuali oleh orang-orang yang tidak paham disiplin ilmu pengetahuan dan mereka yang kepentingannya memang menyabotase ilmupengetahuan.  Sebagai seorang mantan jurnalis, pilihan Sobary atas buku itu juga aneh betul. Kalau ia ingin merujuk sejarah ilmu pengetahuan terkait rokok, mengapa dia tak memakai karya Richard Kluger, Ashes to Ashes:  America's Hundred-Year Cigarette War, the Public Health, and the Unabashed Triumph of Philip Morris yang diganjar penghargaan sebagai buku terbaik Pulitzer itu? Mengapa ia tak memilih membaca karya Allan Brandt, The Cigarette Century: The Rise, Fall, and Deadly Persistence of the Product That Defined America yang mendapatkan nominasi Pulitzer? Sebagai orang yang memiliki pencapaian gelar akademik tertinggi, tentu Sobary bisa membandingkan kredensial akademik dari Hamilton, versus Kluger dan Brandt.
 
Tuduhan yang juga dilancarkan adalah bahwa Bloomberg Initiative berada di balik fatwa haram rokok.  Ini mungkin lantaran organisasi massa Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, yang mengharamkan rokok memang memiliki kerjasama dengan inisiatif tersebut.  Tapi, apakah Sobary tidak tahu bahwa fatwa haramnya rokok sudah ada sejak jaman dahulu, jauh sebelum Bloomberg Initiative cawe-cawe dalam pengendalian tembakau? Karena banyaknya fatwa tersebut, dari beragam negara dan aliran fikih, baik  Sunni maupun Syiah, WHO kemudian mengumpulkan fatwa-fatwa tersebut.  Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa sangat banyak ulama berpengaruh yang sesungguhnya mengharamkan rokok.   
 
Sebaliknya, yang terbukti adalah perusahaan rokok itu membayar buat meringankan fatwa tentang rokok, sembari menjelek-jelekkan, bahkan menyatakan sebagai kaum ekstremis, ulama yang menyatakan fatwa haram atas rokok.  Studi ilmiah dari Petticrew, et al.(2015) yang diberi judul  "Fighting a Hurricane": Tobacco Industry Efforts to Counter the Perceived Threat of Islam menemukan bahwa sudah tiga dekade perusahaan-perusahaan rokok melakukan campur tangan atas fatwa.  Sementara, fatwa haram atas rokok sendiri sebetulnya sudah ada sejak tahun 1602.  Tentu, fatwa itu tidak didasarkan pada pengaruh Bloomberg Initiative.  Tetapi, sebaliknya, sebagaimana yang ditemukan oleh Petticrew, et al.,
 
“The documents we reviewed suggest that the tobacco industry perceived Islamic opposition to smoking as a threat to its business from the 1970s onward. Among the tactics used to counter this perceived threat was the framing of Islamic objections to tobacco use as extremism and of tobacco control advocates more generally as extremists. The industry monitored debates on Islam and tobacco and recruited Islamic scholars and leaders as consultants to help temper messages to believers and ultimately to portray smoking as acceptable. Through consultants and tobacco lawyers, the industry sought to reinterpret the Qu’ran to suit its needs.” 
 
Ada tuduhan bahwa para pejabat pemerintahan di pusat dan daerah yang membuat dan menegakkan regulasi pengendalian tembakau sesungguhnya dibayar secara ilegal untuk melakukan itu.  Apakah Sobary berpikir tak ada lagi pejabat yang secara tulus mengupayakan kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya?  Entahlah.  Tetapi, yang sebetulnya jauh lebih masuk akal adalah yang sebaliknya.  Para pejabat yang melonggarkan aturan soal Kawasan Tanpa Rokok serta pembatasan iklan rokoklah yang rawan disuap oleh industri.  Kalau ruang merokok dan beriklan dibatasi, industri sungguh khawatir akan terjadi penurunan konsumsi.  Lebih jauh lagi, masih banyak orang Indonesia yang ingat bahwa industri ini bahkan ditengarai berada di balik penghilangan ayat tembakau.  Apakah ini melibatkan uang dalam jumlah tertentu?  Sangat boleh jadi. Rasanya naif untuk percaya pada penjelasan keteledoran atau ada orang yang sedemikian patriotiknya menghilangkan ayat yang menyatakan bahwa nikotin yang terdapat pada tembakau itu adiktif.  Menurut jurnalisme investigatif yang dilakukan Tempo, bau industri rokok sedemikian kencangnya tercium.
 
Pada bagian berikutnya, Sobary menyatakan bahwa perjuangannya itu, tindakan merokoknya yang dimulai di usia senja itu, karena menentang Kapitalisme.  Siapapun yang memelajari Kapitalisme tentu mafhum bahwa baik perusahaan rokok asing maupun lokal—terutama mereka yang berukuran raksasa—sama saja kapitalistiknya.  Kalau kita ambil intisari Kapitalisme yang dipraktikkan oleh perusahaan, ciri utamanya ada tiga: supremacy of financial capitalshort-termism, dan externalization of costs. Perusahaan yang kapitalistik itu ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memperhitungkan konsekuensi jangka panjang, serta mengeksternalisasi seluruh dampak negatif yang timbul. 
 
Apakah ada bedanya perusahaan rokok raksasa yang asing dan lokal dalam ketiga ciri itu?  Tidak ada sama sekali. Semua perusahaan rokok terkait dengan kerusakan hutan dan lahan dari budidaya dan pengeringan tembakau, membayar petani tembakau (dan cengkih) dengan harga serendah mungkin, membahayakan kesehatan petani dan keluarganya, membayar buruh dengan rendah, rajin mem-PHK karena beralih produksi dari tangan buruh menuju mekanisasi penuh, membiarkan konsumennya yang sakit dan matimenanggung bebannya sendiri atau dialihkan kepada keluarga dan negara, serta membiarkan lingkungan jadi jorok dan beracun karena puntungnya yang mengandung limbah B3 itu tak diurus.  Itu semua demi laba yang maksimal.
 
Ada juga komentar dalam tulisan tersebut yang mencoba memberikan kesan bahwa rokok lokal, kretek, dan perusahaan lokal, sedang sekarat.  Tetapi, benarkah bisnis rokok lokal itu mati?  Jelas tidak.  Dari tahun ke tahun jumlah produksinya semakin membesar. Roadmap Industri Hasil Tembakau yang tahun lalu dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian merencanakan untuk membuat kenaikan hingga 7,4% per tahun.  Itu berarti 5 kali lipat angka pertumbuhan penduduk Indonesia yang tak sampai 1,5% per tahun! Berapa proporsi kretek pada bauran rokok di Indonesia?  Roadmap tersebut merencanakan di tahun  2016 hanya 5,5% sigaret putih mesin yang diproduksi.  Sisanya, 94,5% adalah kretek.  Proporsi sigaret putih mesin bahkan diturunkan menjadi 5,3% di tahun 2020. Artinya, kretek makin perkasa!
 
Perusahaan lokal yang berukuran kecil memang banyak yang menghilang, lantaran tak kuat bersaing dengan para raksasa asing dan lokal yang bertempur hebat.  Bagaimana mereka bisa memenangkan pertarungan bila perusahaan-perusahaan raksasa itu bisa beriklan, berpromosi dan menjadi sponsor dengan jumlah dana yang luar biasa besar?  Perusahaan rokok raksasa itu omnipresen, hadir di manapun.  Kalau iklan, promosi dan sponsorship sepenuhnya dilarang, barulah di antara perusahaan itu bisa bersaing dengan lebih ‘adil’, hanya mengandalkan rasa, efisiensi, dan kelihaian pemasaran langsung. 
 
Kalau dinyatakan sebagai perusahaan rokok asing itu adalah Sampoerna, Bentoel, dan Wismilak yang secara terbuka memang dikuasai modal asing, berapakah pangsa pasar yang dikuasai oleh Gudang Garam dan Djarum yang hingga sekarang masih dinyatakan sebagai perusahaan rokok raksasa lokal—walau ada informasi yang menyatakan bahwa mereka juga tak lepas sepenuhnya dari modal asing—di tahun 2015 lalu?  Katadata mengungkapkan bahwa Gudang Garam menguasai 21,5% dan Djarum 19,3%.  Ditambah dengan Nojorono yang lebih kecil dengan 4,3%, perusahaan rokok yang ditengarai lokal itu masih menguasai 45.1%.  Di luar angka tersebut, masih ada kategori ‘lainnya’ yang terdiri dari ratusan atau ribuan perusahaan rokok lokal, yaitu 5,8% lagi.  Tetapi, entah sampai kapan pelanduk-pelanduk berpangsa hampir 6% itu bakal bertahan di antara amukan peperangan antar-gajah.     
 
Terakhir, Sobary juga menyatakan sangat menghormati kerja Prof Sutiman Bambang Sumitro serta Dr Gretha Zahar.  Keduanya terkenal karena mempromosikan divine cigarette, rokok dengan teknologi tertentu yang diklaim memberikan manfaat, bukan mudarat, bagi kesehatan.  Tetapi apakah benar keduanya pernah menyatakan bahwa kretek yang diproduksi oleh industri rokok asing maupun lokal  itu menyehatkan? Tidak pernah. Kalau mereka beranggapan bahwa kretek itu sehat, buat apa mereka menciptakan filter dengan nanotech untuk menyaring dan mengubah racun yang terkandung di dalamnya? Yang mereka bilang itu, rokok apapun, termasuk kretek, mengandung racun, tetapi bisa disaring dan dipanen manfaatnya. Nah, apakah klaim teknologi itu benar?  Belum ada buktinya secara ilmiah. Kalau sudah ada, tentu akan ada jurnal ilmiah dengan peer review yang memuatnya.  Tentu, ini akan bikin geger dunia pertembakauan dan industri rokok, bahkan sangat mungkin penghargaan internasional bakal diberikan kepada keduanya. 
 
Tapi itu semua belum—dan mungkin tak akan pernah—terjadi.  Sampai itu terjadi, jauh lebih baik percaya kepada lebih dari 70.000 artikel ilmiah yang telah menyatakan bahwa rokok itu berbahaya.  Posisi itu juga yang secara jelas bisa dibaca di websiteperusahaan-perusahaan rokok seperti Philip Morris dan BAT.  Sikap perusahaan-perusahaan rokok itu—setidaknya yang ditunjukkan secara terbuka—adalah tidak menantang ilmu pengetahuan.  Kalau masih ada orang-orang yang membela rokok dan menantang ilmu pengetahuan, kiranya kita bisa menduga apa yang sesungguhnya terjadi.
 
 
Depok, 24 Agustus 2016    

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler