x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menebak Hasil Pilpres 2019

Hasil survei elektabilitas calon presiden sudah ada sejak jauh hari, dan menjadi jauh lebih ramai semenjak pergantian tahun. Apa yang bisa dipelajari?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin sejak September 2018 saya mengumpulkan hasil-hasil survei soal elektabilitas calon Presiden Indonesia 2019-2024.  Tadinya saya mencoba membaca hasil survei setiap kali muncul beritanya.  Lalu, biasanya saya mencari tahu apakah bisa mendapatkan bahan presentasi dari yang diberitakan, supaya bisa memeriksa lebih dalam daripada sekadar yang tercantum di berita.

 

Lama-lama, saya mencari berita dan bahan presentasi survei yang lebih lama.  Pada akhirnya, saya punya kumpulan hasil survei elektabilitas sejak Januari 2018.  Saya masukkan semua yang saya punya ke dalam tiga sheet di Excel.  Pertama, semua yang ada di berita sejak Januari 2018.  Kedua, semua yang ada di berita sejak Jokowi/KMA dan Prabowo/Sandi benar-benar ditetapkan sebagai capres dan cawapres di tanggal 20 September 2018. Tentu ada perbedaan antara sebelum dan sesudah penetapan itu.  Kita memang tahu sejak lama bahwa Pilpres 2019 adalah Jokowi vs Prabowo jilid 2, tetapi kontestasi tentu sangat berbeda sejak resmi ditetapkan, plus sosok cawapres tentu punya pengaruh.   

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sheet ketiga itu hanya berisikan hasil survei elektabilitas setelah 20 September 2018 yang saya bisa lihat langsung hasilnya, yaitu yang berasal dari lembaga-lembaga yang mau membuka metodologinya.  Kalau tak bisa saya lihat, saya tak memasukkannya ke sheet itu.  Tentu, agak mudah ditebak survei dari lembaga mana saja yang akhirnya masuk ke dalam sheet ketiga ini.  Majoritasnya memang anggota Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).  Buat saya, salah satu hal penting dalam menimbang lembaga survei terpercaya adalah keterbukaan atas metodologinya. Kalau tak mau menyediakannya, ya tak perlu saya masukkan ke sheet ketiga itu.

 

Dari ketiga sheet itu saya punya hasil yang menarik.  Dengan mengurutkannya berdasarkan tanggal survei dilakukan (bukan tanggal pemaparan hasil), elektabilitas kedua pasangan, pemilih yang merahasiakan atau belum punya pilihan, dan selisih elektabilitas, saya bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari awal.  Sebagiannya, yang paling relevan dengan tebak-tebakan saya atas hasil Pilpres 2019 inilah yang saya mau ceritakan.

 

Tak Banyak Berubah Sepanjang 2018

Antara periode Januari 2018 hingga sebelum penetapan di minggu ketiga bulan September itu, sudah ada cukup banyak survei.  Yang melakukannya adalah lembaga-lembaga survei yang akhirnya masuk ke sheet ketiga saya itu.  Hanya ada satu lembaga lain yang melakukan survei elektabilitas di periode itu yang tak masuk.  Namun, hasil yang diajukan tidaklah berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya. Pada periode itu, elektabilitas Jokowi ada pada kisaran 42,5 – 64,3%.  Prabowo elektabilitasnya di 14,1 – 35,2%. Berapa persen pemilih yang belum menentukan atau masih menyembunyikan pilihan? 6,2 – 39,6%.  Sementara, kisaran selisih elektabilitas di antara keduanya adalah 18,4 – 41,8%. 

 

Setelah ditetapkan, hasilnya kemudian lumayan mengalami pergeseran.  Kalau kita lihat periode akhir September – akhir Desember 2018, ada banyak hal menarik.  Di antara yang paling menarik adalah munculnya sebuah lembaga survei yang ‘memang beda’ dari yang lain.  Yang paling kentara adalah soal selisih elektabilitas kedua pasangan menurut kedua lembaga itu jauh lebih kecil dibandingkan lembaga-lembaga lainnya.  Kemunculan lembaga itu juga terjadi di menjelang akhir tahun.  Lembaga itu mengklaim melakukan survei di awal-pertengahan November, tetapi paparannya, tentu saja, baru kemudian.  Kemunculan survei dari lembaga itu agaknya merupakan pendahuluan dari survei-survei berikutnya yang hasilnya ‘memang beda’.

 

Apa hasil dari memelototi hasil-hasil survei di periode ini?  Pertama, jumlah survei belum terlalu banyak juga.  Kalau mengikuti tanggal selesainya survei, lima survei dilakukan di bulan Oktober, tiga di bulan November, dan empat di bulan Desember.  Pada periode ini elektabilitas Jokowi – Kyai Ma’ruf Amin merentang dari 47,7 – 57,7%.  Tetapi, batas bawahnya itu berasal dari satu lembaga ‘yang itu’.  Kalau dilihat hanya dari hasil lembaga yang kredibel, maka batas bawah elektabilitas Pasangan 01 adalah 52,6%.  Pasangan 02 elektabilitasnya ada pada 28,6 – 35,5%.  Lagi-lagi, kalau lembaga itu tak dihitung, batas atas elektabilitasnya menjadi 35,1%.  Mereka yang belum memutuskan ada pada angka 10,3 – 16,8%.  Kalau hanya menghitung selain lembaga tersebut, batas atasnya turun menjadi 15,6%.  Dalam soal selisih elektabilitas, rentangnya adalah 12,2 – 29,1%.  Batas bawah itu melejit menjadi 19,2% kalau hanya menghitung hasil dari lembaga yang kredibel. 

 

Kontestasi Memanas Sejak Awal 2019

Dengan berpindahnya tahun, jumlah survei yang dilakukan meningkat pesat.  Pada bulan Januari saja saya mencatat ada 9 survei.  Kemudian, disusul 4 survei di bulan Februari, 14 di bulan Maret, dan di bulan April yang belum sampai pertengahan bulan, kita menyaksikan ada 16 survei.  Dahsyat!  Bukan sekadar jumlah survei yang meledak, penyelenggaranya juga memunculkan nama-nama yang sebelumnya, meminjam kalimat sebuah iklan, ‘nyaris tak terdengar’.

 

Dari nama-nama yang sebelumnya tak ada di jagad survei itu juga kita bisa mendengar paparan hasil yang memenangkan Pasangan 02.  Sebuah survei di penghujung Maret menyatakan bahwa Jokowi-KMA tertinggal 18,84%.  Lalu, di awal April, sebuah ‘lembaga survei di Amerika Serikat’—yang singkatan namanya mengingatkan pada penataran yang saya sudah ikuti hingga pola 100 jam—juga menyatakan keunggulan Prabowo di angka 15%.  Seorang dosen sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Bogor yang tak perlu saya sebutkan lagi namanya juga membuat survei daring yang menyatakan kemenangan Prabowo 7%.  Terakhir, dari perguruan tinggi yang didirikan oleh keluarga Prabowo diluncurkan hasil yang memenangkan Prabowo 26% di atas Jokowi.

 

Jelas sekali, Maret – April kita lihat lembaga-lembaga survei, kredibel atau kurang/tidak, nyata atau maya, serius atau lelucon, sangatlah sibuk.  Tapi saya tak mau mencampuradukkan semuanya.  Karena itu, bagian berikut ini saya cuma mau menunjukkan hasilnya apabila sheet ketiga saya itu saja yang saya pergunakan.  Saya mencoba untuk membuat analisis statistik deskriptif yang lebih jauh dibandingkan sebelumnya, lantaran jumlah surveinya membesar.  Penasaran, saya mau melihat pergeseran dari bulan ke bulan, mulai Januari 2019 hingga data yang bisa saya akses di sore hari tanggal 13 April, dan hasilnya itu memang menarik.

 

Kalau elektabilitas Pasangan 01 dicari reratanya, maka di bulan Januari hasilnya adalah 55,26%, kemudian 55,18% di bulan berikutnya, disusul 54,86%, dan terakhir 56,4%.  Turun tipis terus sejak Januari – Maret, lalu naik cepat di bulan April, bahkan menjadi 1,14% di atas elektabilitas Januari.  Di sisi lain, Pasangan 02 menunjukkan penguatan terus sejak awal tahun.  Rerata elektabilitasnya dimulai di angka 33,88%, lalu 34,23%, 36,13%, dan terakhir 37,92%.  Kalau mau dilihat rerata Januari – April, Pasangan 01 ada pada 55,43%, sementara Pasangan 02 ada di 35,54%. 

 

Berikutnya, terkait dengan mereka yang belum menentukan pilihan, atau sudah memilih untuk golput.  Jumlahnya turun terus.  Rerata survei kredibel itu menunjukkan angka 10,86% di bulan Januari, turun menjadi 10,59%, 9,01% dan di bulan April tinggal 5,68%, turun sangat jauh dibandingkan di bulan Maret.  Demikian juga yang terjadi dengan selisih elektabilitas.  Dari Januari hingga April konsisten menunjukkan penyempitan.  Mulai dari 21,38%, menjadi 20,95%, 18,73%, dan terakhir di angka 18,48%.  Ini artinya jelas adalah bahwa Pasangan 02 lebih berhasil merebut suara dari mereka yang tadinya belum memutuskan.                    

 

Pemenang Pilpres (Agaknya) Sudah Jelas

Tapi, sangat jelas bahwa waktu yang tersisa itu hampir mustahil memberikan peluang Pasangan 02 untuk memenangkan kontestasi ini.  Data paling mutakhir dikumpulkan pada tanggal 10 April, persis 1 minggu sebelum pencoblosan saja.  Sementara, selisih elektabilitas masih sedemikian lebar, dan kemampuan Pasangan 02 untuk mengambil suara dari pemilih yang belum menentukan pilihannya itu juga makin kendor. 

 

Kalau kita bandingkan penurunan selisih elektabilitas versus penurunan proporsi pemilih yang belum menentukan pilihan, di bulan Januari-Februari angkanya ada pada 1,6, atau setiap Pasangan 01 mendapatkan 1 suara tambahan, Pasangan 02 mendapatkan 2,6 suara. Antara Februari-Maret angkatnya turun menjadi 1,4.  Pada saat itu tambahan suara untuk Pasangan 02 cukup signifikan karena penurunan jumlah  pemilih yang belum menentukan adalah paling banyak.  Tetapi, antara Maret – April, perebutan menjadi sangat ketat.  Perhitungan saya, setiap satu suara yang diperoleh Pasangan 01, Pasangan 02 mendapatkan 1,08 suara saja.  Artinya, sudah hampir tak ada bedanya.  Kalau hipotesisnya adalah sudah semakin yakinnya pemilih, saya memerkirakan hasilnya semakin tipis lagi, yaitu di angka 1,06 suara bagi Pasangan 02 untuk setiap tambahan suara yang didapatkan Pasangan 01.     

 

Jadi bagaimana hasil akhirnya nanti?  Tergantung data mana yang mau dipergunakan untuk meramalkan hasil akhir itu.  Misalkan kita mau gampangnya saja, menganggap suara mereka yang belum mengungkapkan pilihan bakal terdistribusi secara proporsional, lalu menggunakan data Januari – April, maka prediksi elektabilitas Pasangan 01 akan menjadi 60,93% versus 39,07% bagi Pasangan 02.  Kalau hanya mau mengambil yang bulan April saja, dengan cara yang sama, maka perbandingan elektabilitasnya adalah 59,80% versus 40,20%. 

 

Tetapi, saya punya catatan atas cara paling sederhana itu.  Kedua perbandingan itu tidaklah kompatibel dengan kecenderungan penurunan selisih yang terjadi.  Perbandingan pertama menghasilkan selisih elektabilitas 21,86%; sementara perbandingan kedua selisihnya itu 19,6%.  Apa yang bisa menjadi alasan untuk percaya selisih elektabilitasnya bisa menjadi lebih besar daripada 18,48% yang ditunjukkan oleh rerata survei kredibel di bulan April?  Tidak tahu, tetapi kecenderungannya terus turun.

 

Kalau kemudian saya perkirakan akan ada penurunan selisih elektabililitas lagi setelah survei terakhir kali dilakukan, maka hasilnya kemungkinan adalah penurunan sebesar 0,38% lagi, dan dengan demikian kemungkinan selisih elektabilitas di Hari H mungkin angkanya adalah 18,1%.  Kalau angka yang dihitung dari kecenderungan itu benar, maka Pasangan 01 akan beroleh 59,05% dan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia di bulan Oktober mendatang; sementara Pasangan 02 akan mendapatkan suara 40,95%, dan dikalungi medali perak dalam kontestasi Pilpres 2019 ini.

 

Dengan mengasumsikan semuanya berjalan wajar, tanpa kejutan berarti, begitulah hasil pilpres kali ini.  Apakah tak mungkin berubah?  Tetap saja bisa.  Kalau para pendukung Jokowi tidak datang ke TPS lantaran memilih berlibur atau lantaran alasan-alasan lain (diintimidasi?), bisa saja itu membuat selisih elektabilitas lebih mengecil.  Bagaimana dengan politik uang?  Apakah mungkin Pasangan 02 memainkan gerilya politik uang untuk membeli suara?  Tentu mungkin saja.  Tetapi disertasi Burhanuddin Muhtadi yang selesai tahun lalu menunjukkan bahwa pembelian suara di beberapa pemilu terakhir di Indonesia pengaruhnya ‘hanya’ 10-11% saja.  Jadi, kalaupun itu massif terjadi, pemenangnya tetap sama, walau selisihnya bisa jauh lebih kecil dari 18,1%.  Sementara, kalau selisih hasil akhirnya jauh di atas 18,1% mungkin bisa dijelaskan dengan perilaku yang ‘aneh’ dari pendukung Pasangan 01, tetapi sesungguhnya itu juga masih dalam batas yang sudah diramalkan lembaga survei yang kredibel.

 

Semua lembaga kredibel itu memang meramalkan kemenangan Pasangan 01.  Kalau kita periksa selisih elektabilitas yang mereka nyatakan, memang ada yang bilang hanya 5,5% saja, tapi juga ada yang menaruh angka 31,6%.  Rerata dua angka ekstrem itu ada di 18,55%.  Kalau yang ekstrem itu kita buang, yang tersisa adalah selisih elektabilitas antara 11,8 – 24,9%, reratanya 18,35.  Peluang untuk selisih elektabilitas serendah 11,8% atau setinggi 24,9 tentu tetap ada, tetapi lebih besar peluang selisih untuk ada di tengah-tengah keduanya.       

 

Akhirnya, saya mau mengucapkan selamat memilih dengan gembira!  Semoga tulisan ini bisa berkontribusi menjelaskan bahwa kalau Pasangan 02 terbukti kalah telak, dengan selisih sekitar 18%, itu memang adalah hasil yang paling mungkin.  Tak perlu ada tuduhan  kecurangan, tak perlu ada keributan, apalagi ancaman people power.  Pasangan 02 harus legawa menerimanya.  Semoga Indonesia terus menjadi lebih baik di masa mendatang.    

 

 

Sumber foto:  https://www.liputan6.com/pilpres/read/3932202/rilis-survei-terbaru-berapa-elektabilitas-jokowi-vs-prabowo-versi-lsi

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler