x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 18 Mei 2019 15:15 WIB

Wicked: Babak Ketiga dari Babad John Wick

Artikel ini menceritakan kembali bagaimana John Wick (Kenau Reeves) bisa sampai pada kondisi di film ketiganya yang sedang tayang. Apresiasi atas ketiga film ini juga diberikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demi Kenangan atas Istri Tercinta

Tak banyak film laga yang bisa mendapatkan nilai yang tinggi di mata para kritikus.  Ketika di penghujung tahun 2014 John Wick menyambangi layar perak di seluruh dunia, bukan saja penggemar film laga atau para fans berat Keanu Reeves yang menyambut gembira, melainkan juga para kritikus yang biasanya pelit memberi nilai.  John Wick, film berbiaya relatif rendah itu diganjar 86% oleh 207 kritikus.

John Wick (Reeves), seorang pembunuh bayaran yang tobat lantaran menemukan cinta sejatinya pada sosok Helen, yang diperankan Bridget Moynahan.  Moynahan, walau tampil sangat sebentar, sebagian besar lewat kelebatan kenangan John atas istri cantik dan anggunnya itu, mencuri perhatian yang sangat besar.  Dialah yang membuat John kembali melakukan kekerasan.  Kali ini untuk urusan pribadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Helen meninggal lantaran sakit, membuat John yang sungguh mencintainya itu nelangsa.  Sebelum meninggal, Helen membelikan John seekor anjing Beagle bernama Daisy, dengan pesan agar John tak kesepian.  Tapi seorang cecunguk bernama Iosef Tarasov datang bersama sejumlah anak buahnya ke rumah John untuk merampok mobil Mustang John.  Bukan cuma menggebuki John, Daisy menjadi korban keganasan Iosef dan anak buahnya. 

Mustahil bagi penonton untuk tidak ikut merasa nelangsa luar biasa membayangkan John harus kehilangan Helen dan teman kecil yang dikirimkan Helen itu.  John, kemudian diceritakan sebagai bekas pembunuh bayaran paling menakutkan dengan julukan Baba Yaga alias Boogeyman, lalu mencari Iosef yang ternyata adalah anak Viggo Tarasov (diperankan secara brilian oleh Michael Nyqvist), bekas pelindungnya sendiri di masa lalu.

Viggo tak ingin anaknya menanggung nasib sial berhadapan dengan John, maka ia bernegosiasi untuk menyelamatkan anaknya.  Setelah negosiasi gagal, dia malah mengirimkan 12 anak buahnya untuk mengirim John ke akhirat.  Dan dimulailah amuk John Wick yang jadi sangat terkenal.  Seluruh anak buah Viggo, juga anaknya, dan pada akhirnya Viggo sendiri, meregang nyawa di tangan John.  Semuanya mati dalam adegan yang koreografi perkelahian dan baku tembak yang mengerikan sekaligus indah. 

 

Darah Tumpah di antara Roma dan New York

Di penghujung film pertama itu, John mengambil anjing baru di klinik hewan.  Kali ini seekor Bull Terrier tanpa nama.  Anjing ini yang menemani John berjalan gontai pulang ke rumah.  Di awal tahun 2017, ketika sekuel film ini keluar, anjing ini sudah menjadi teman John, yang lagi-lagi disengsarakan lantaran Santino D'Antonio, dari keluarga bandit paling berkuasa di Italia, menghancurleburkan rumahnya. 

Santino marah besar lantaran kakaknya, Gianna, yang ditunjuk sang ayah untuk menggantikannya di tampuk kekuasaan, sekaligus menjadi wakil keluarga itu di High Table.  High Table adalah organisasi yang memayungi organisasi kejahatan di seluruh dunia, di mana John dahulu adalah pembunuh yang paling ditakuti.  Santino memegang medali yang membuktikan bahwa John berhutang pada dirinya, dan hutang itu cuma bisa dibayar bila John membunuh Gianna, agar dia mulus menjadi penggantinya. 

Jadi, ketika John menolak, maka Santino meluncurkan roket ke arah rumah John.  John selamat, dibangunkan oleh anjingnya, dan mereka berjalan semalaman menuju Hotel Continental New York, di mana John diingatkan oleh Winston (diperankan Ian McShane dengan gemilang sejak film pertama), sang manajer, bahwa hutang itu memang harus dibayar.  Tak ada cara lain yang dikenal di dunia itu. John-pun batal pensiun.

Batal pensiunnya John kemudian mengawali cerita yang lebih rumit dan dahsyat dibandingkan babak pertama.  Liku-liku High Table diceritakan dengan detail, kelembagaan yang mereka bangun, pun norma yang berlaku. Penonton disuguhi cerita menarik soal organisasi kriminal yang berbeda dengan yang selama ini ditonton di film manapun, juga soal lorong-lorong bawah tanah Roma, teknologi tekstil canggih, dan pilihan senjata untuk berbagai keperluan.

Tentu, John kembali menampilkan adegan baku pukul dan baku tembak yang tak kalah menarik, atau bahkan lebih menarik lagi dibandingkan sebelumnya.  Lawan-lawannya pun lebih berkharisma, di mana Common yang memerankan Cassian, serta Ruby Rose yang memerankan Ares sang tukang pukul Santino, berhasil membuat para penonton percaya soal ketangguhan mereka.  Lainnya, penonton juga disuguhi akting Franco Nero, yang menjadi Julius, manajer Hotel Continental Roma.  Film ini juga kembali memertemukan Reeves dengan Laurence Fishburne yang dahulu menjadi Morpheus, mentornya di Trilogi The Matrix.  Fishburne kali ini menjadi The Bowery King, semacam pimpinan Kai Pang cabang New York.

Ketika John sudah menghabisi semua lawannya—baik para tukang pukul Gianna, yang ingin membalas dendam atas kematiannya (baku tembak di lorong-lorong gelap serta perkelahian John versus Cassian di Roma dan di dalam kereta New York mustahil dilupakan para penonton), maupun yang melindungi Santino dari amarah John—dia menemukan dirinya ada di Hotel Continental New York lagi.  John ke sana lantaran Santino masuk untuk mencari perlindungan.  Hotel Continental, diceritakan di situ, adalah tempat di mana ‘bisnis’—yang artinya pembunuhan—tak boleh dilakukan.

Tapi, John gelap mata.  Dia tak bisa menahan diri untuk tidak mengeksekusi Santino.  Bukan saja dia lakukan di restoran hotel itu, tapi juga di depan mata Winston.  Maka, Winston kemudian mengeluarkan pengumuman ekskomunikasi.  John hanya diberikan waktu satu jam untuk melarikan diri sebelum hadiah USD14 juta bakal diberikan kepada siapapun yang bisa membunuhnya.

Maka, di penghujung John Wick: Chapter 2 yang diganjar skor 89% oleh 257 kritikus itupun kita saksikan John mulai berlari, meninggalkan Central Park bersama sang anjing, di bawah tatapan banyak pembunuh bayaran yang sudah tahu berapa harga kepala John.  Cerita babak kedua ditutup di sini, memberikan janji kepada para penonton bahwa babak ketiga dari babad ini bakal lebih seru.

 

Bersiap Berperang

Ketika tulisan ini dibuat, 201 kritikus telah menuliskan resensi atas film yang diberi judul John Wick: Chapter 3 – Parabellum.  Lagi-lagi beroleh skor tinggi, 88%.  Kali ini, bahkan nama-nama besar seperti Anjelica Huston (The Director) dan Halle Berry (Sofia) meminjamkan bobot mereka, melengkapi kehadiran jagoan baru macam Mark Dacascos (Zero) dengan rombongan algojo yang impresif dan Sang Ajudikator yang dimainkan Asia Kate Dillon.  Buat kita di Indonesia, kehadiran duet Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman sebagai murid Dacascos adalah nilai plus sangat besar.

Tak elok rasanya kalau kemudian menceritakan jalan cerita film itu, lantaran masih dimainkan di bioskop-bioskop di Indonesia dan mancanegara.  Skor Rotten Tomatoes yang dikutip itu cukup sebagai penanda sebaik apa film itu.  Bagi para penggemar film laga, koreografi perkelahiannya tampak semakin baik, dan pada beberapa bagian semakin sadis.

Chad Stahelski, sang sutradara, adalah mantan pemeran pengganti bagi Reeves di beberapa film.  Tampak sekali dia bisa membuat Reeves menjadi sangat meyakinkan sebagai jagoan yang kagak ade matinye.  Energi film ini benar-benar terjaga dengan baik.  Derek Kolstad, penulis utama sejak film pertama, hanya memberikan kesempatan para penonton bernafas sebentar saja pada beberapa adegan, terutama untuk bisa membangun cerita yang bisa membuat seri ini semakin menarik. 

Para penonton yang mengenal New York dengan baik akan disuguhi kenangan atas lokasi-lokasi yang menarik.  Adegan hujan-hujanan di Times Square, perkelahian di New York Public Library (amit-amit, semoga tempat ekstra-tenang untuk mengunduh pengetahuan itu tak pernah betul-betul menjadi lokasi perkelahian brutal), kejar-kejaran di China Town, dan kebut-kebutan sambil berkelahi di jambatan Verrazzano bakal menyenangkan buat siapapun yang mengenal kota New York.  Demikian juga, pemandangan Maroko dengan lorong-lorongnya plus gurun pasir.

Buat para pencinta hewan, khususnya anjing, film ketiga ini tak bakal membuat sedih.  John memastikan anjingnya selamat sebelum seluruh kengerian terjadi.  Sementara, anjing Malinois Belgia yang dalam cerita dilatih oleh Sofia, menjadi mitra yang handal dalam pertarungan seru di Maroko.  Agaknya, sudah sangat lama dunia perfilman tidak menyaksikan anjing yang tampak dilatih sebaik itu untuk melumpuhkan musuh.  Melihat apa yang dilakukan anjing milik John di bagian akhir film, penonton tahu bahwa hubungan keduanya semakin erat.          

Membandingkan ketiga film itu, seluruh penonton akan bersetuju bahwa secara visual film ketiga ini adalah yang terbaik.  Beberapa adegan bakal mengingatkan penonton kepada film-film tertentu yang ikonik, tetapi kemiripan itu tak membuat film ini kemudian tampak berusaha mengekor, lantaran ada banyak sekali adegan dengan visualisasi yang sangat baik dan original.  Adegan perkelahian dan percakapan, antara John dan dua musuh Indonesianya, bakal jadi favorit banyak penyuka film laga, apalagi yang berasal dari Indonesia.  Mustahil dilupakan.

Soal musik film, film ini punya banyak yang jempolan.   Tyler Bates dan Joel Richard menggarap original score-nya.  Tetapi, musik-musik yang dipinjamnya benar-benar pas.  Trailer pertama menggunakan The Impossible Dream versi Andy Williams, memberi tahu betapa berat perjuangan John sepanjang film.  Allegro non molto yang diciptakan Vivaldi digunakan untuk trailer kedua dan menjadi musik yang dipilih oleh Winston untuk menyambut kedatangan musuh-musuh yang menyerbu Hotel Continental benar-benar menghadirkan sensasi dingin.  Pilihan untuk menggunakan versi Tatako Nishizaki, salah satu pemain violin terbaik di dunia, tak mungkin salah.  Dengan latar belakang musik itu jualah Winston menyatakan si vis pacem para bellum, bila ingin damai bersiaplah untuk perang. 

Jadi, apakah John Wick akan menjadi trilogi laga terbaik yang pernah dibuat?  Mungkin begitu.  Tetapi, sangat jelas bahwa para penonton bersepakat bahwa setidaknya John Wick perlu dibuat menjadi sebuah tetralogi.  Ujung film ini mengisyaratkan demikian, dan dunia belum benar-benar siap berpisah dengan John.  Lagipula, bukankah film ini baru sampai pada tahap para bellum alias persiapan perang?  Perang sesungguhnya, melawan High Table, wajib terjadi dalam laga yang lebih dahsyat lagi.  Jadi, para penggemarnya tidak perlu menyampaikan selamat berpisah dulu, melainkan bilang, “Sampai jumpa, John.”              

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler