x
website
Oleh: alvin nur arisandy

Kamis, 12 Maret 2020 09:35 WIB

Pengaruh Agama Budaya Tanah Jawa

Budaya adalah suatu kebiasaan yang sudah dilakukan pada zaman dahulu. Namun, budaya dapat terpengaruh perkembangan zaman, agama, atau pengaruh dari luar lainnya. Dalam pembahasan ini, akan membahas pengaruh agama dalam budaya yang ada di Jawa. Sehubung agama dan budaya Jawa dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang terpisahakan oleh sebab secara bersamaan menentukan mata uang tersebut. Pada satu sisi, agama yang datang dan berkembang di Jawa sangatlah terpengaruh oleh budaya Jawa sendiri. Dan di budaya Jawa kaya dengan keagamaannya, Demikian perpaduan budaya Jawa dengan agama dan diantara keduanya menampakan ciri khas sebagai budaya yang sikretis, yakni agama Kejawen. Dan disinilah terjadi semacam simbiosis mutulisme antara agama dan budaya Jawa. Dan di kemukan ajaran para sesepuh Jawa tentang kepemimpinan yang dianggap representif,antara lain; Menkunegoro I. prinsip-prinsip kepemimpinan yang diajarkan dikenal dengan nama Tri Dharma. Tri Dharma sering di komandokan mantan presiden NKRI Soeharto dalam mempuk etos kerja dan kebangkitan kepada nusa bangsa. Isi Tri Dharma Mankunegoro I sebagai berikut: Mulat salira hangrasa wani, artinya meliahat dan mengenal diri sendiri, bersikap mawas diri/ introspksi, percaya diri, penuh rasa kesadaran diri, sampai terbentuk pribadi dewasa yang berjati diri. Rumangso melu handarbeni artinya merasa ikut memiliki negara dan tanah air yang tercinta sebagai hasil perjuangan Pengeran Sumbernyawa ( Mangkunegoro I) bersama rakyat pupuk persatuan dan kesatuan. Wajib melu hangrungkebi, artinya setiap warga negara wajib berkorban dari kesadaran pribadi dan rasa tanggung jawabnya terhadap tanah air, rela berkorban demi tanah air (Eko, 1989:137) Falsafah Jawa oleh Mangkunegoro IV, dalam wulangreh, wedetama dan serat centini. Seseorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat baik dan utama ialah: Heneng: hening: heling: waspada/ hawas: aja mung rumangsa bisa Ki Hajar Dewantara ia mengerjakan sifat-sifat jiwa kepemimpinannya: Tetep, teteg, antep, Ian mantep. Ngadel, kendel, kandel, Ian bandel. Ning, neng, nung, Ian nang, Ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dalam segi kepemimpinan ada lagi yang menojol di budaya Jawa yakni seni wayang kulit.Dan ini tersebar di berbagai daerah di Jawa dan bali. Pertunjukan ini sangat di sukain oleh masyarakat sampai mancanegara yang berwisata di daerah Jawa dan bali, Wayang sendiri memiliki arti yakni: ayang-ayang (bayangan) karena yang dilihat Cuma bayangan dalam kelir (tabir yang dilapis dengan kain putih/ disebut juga gelanggang permain). Menurut Sri Mulyono pada tahun (1975) berpendapat tentang wayang, “berjalan kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup (untuk substansi baying-bayang), telah terbantuk dalam waktu yang sangat tua ketika awalan “wa” mempunyai fungsi bahasa”. Di kamus umum bahasa Indonesia, W. J. S Poerwadarminta pada tahun (1984) menyatakan bahwa wayang suatu gambar atau tiruan orang yang terbuat dari pelepah kayu. dan kulit.dan sebagian sebagai pertunjukan lakon. Menurut Pigeud (dalam Effendy Zarkasi 1977) memberikan 2 pengertian wayang yaitu: Boneka yang sebagai pertunjukan (wayangnya itu sendiri). Suatu pertunjukan yang disajiakan berbagai bentuk, terutama yang mengandung pelajaran (wejangan-wejangan), seperti wayang purwa, wayang kulit. Pertunjukan tersebut dibarengkan alunan musik tradisioanal yaitu gamelan. Wayang purwa adalah salah satu jenis wayang kulit dari wayang-wayang lain yakni wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang kancil, wayang pancasila dan sebagainya, makna dari purwa yaitu awal, wayang tersebut diperkirakan wayang paling tua dari pada yang lain. Dan ada berita wayang purwa tersebut dikabarkan sejak adanya prasasti pada abad 11 dan sejak pemerintahan Erlangga ada sebuah pesan yaitu; Hononton ringgit menagis asekel muda hidepan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap Artinya; ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya walaupun sudah mengerti bahwa yang diliahat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara. Petikan diatas adalah salah satu bait 59 dari dalam kakawin arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa ( 1030), adalah salah satu tertulis tua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang terkenal di Jawa, yaitu dari pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di kerjaan Kediri. Wayang adalah gambar bhuwana alit atau dunia yang kecil, dalam bhuwana agung kisah keseharian umat manusia, begitu banyak kisah yang silih berganti. Dan menurut kitab purwa sendiri adalah sebuah wayang yang menceritakan gambaran kehidupan manusia sejak zaman purba (purwa). Menurut, suryadi (1981) wayang tersebut merupakan wayang kulit yang menceritakan tentang mahabarata, Ramayana, Lokapala, dan barata yuda. Effendy Zarkasi berpendapat bahwa wayang purwa tersebut (wayang terdahulu/ pertama) menggambarkan periode zaman pertama.dan di kitab mahabarata yang menceritakan barata yuda yang berperang saudara barata denagan keluarga pandawa dan melawan ngestina dan pada akhirnya dimenangkan oleh pandawa. Wayang tesebut pernah sebagai saran dakwah oleh para wali songo yang menyebarkan tersebut oleh sunan kalijaga dan menyadari bahwa dengan media tersebut para pengikut agama islam berkembang dengan pesat dan tersebar luas dan melekat di sanubari masyarakat. Dan wayang tersebut dibesut ( diubah dan disempurnakan) dan diisi dengan nilai-nilai budi luhur dan sebagai bernapasnya islam. dan para wali songo tidak menghilangkan budaya sembah dan sebagai tanda kehormatan seseorang terhadap anaknya yang menyembah orang tua/ seorang kawula dan terhadap rajanya. Konon, bentuk wayang purwa tersebut yang kita saksikan sekarang adalah ciptaan dari para wali yang sudah bernapas yang bernuansa islam. dan digambarkan sesosok tokoh wayang merupakan menggambarkan karakter , sifat, dan tabiat dari para tokoh tersebut, menggabarkan sesosok raksasa yang besar dan tinggi seperti Kumbangkarna dan tampak sepuluh kali lebih besar daripada tuan putri. Sekitar tahun1443 saka sunan kalijaga menciptakan wayang dinamakan wayang gunungan (kuwon) jika ditelaah secara lebih dalam terlihat lebih tersamarkan ajaran yang berupa falsafah islam didalamnya. Gunungan menggambarkan simbolis mustaka masjid/ kuyon yang maknanya dijungkirkan (diubah dari atas ke bawah) contohnya seperti jantung manusia. Berdasarkan sudut pandang kebahasaan, dalam bahasa Indonesia pada umumnya ”agama” diartikan sebagai kata yang berasal dari sansekerta yang artinya “tidak kacau” agama diambildari dua suku kata, yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang artinya”kacau” hal tersebut pengertian bahwasanya agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut arti makna kata agama dapat disamakan dengan religion dalam bahasa inggris ataupun religie bahasa belanda kedua makna tersebut dalam bahasa latin religio dari kata akarnya religare yang artinya mengikat, namun menurut para ahli sering adanya perbedaan makna dari keduanya cicero adalah seseorang penulis asal romawi bahwasanya “religi” (religion) kata “leg” berarti mengambil atau menjemput, mengumpulkan, menghitung, atau memperhatikan . Menurut pendapat dari sevius bahwasanya makna religi asalnya dari kata”lig” yang artinya sama mengikat, maka religi dan religion itu bermakna perhubungan yakni suatu perhubungan antara manusia dan zat yang diatas manusia ( supra manusia). Koentjaranningrat adalah seorang antropolog yang mengkonsepkan religi pada dasar pendirannya adalah, bahwa religi merupakan bagian dari kebudayaan yang kemudian menunjuka konsep Emile Durhkhaem tentang dasar-dasar religi menurut Koentjaraningrat mengemukakan tiga usur atau komponen yang ada dalam religi yaitu: Emosi keagamaan, yaitu menyebabkan manusia menjadi religious Sistem kepercayaan yang mengandung, keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat tuhan Sistem upacara religious yang bertujuan mencari hubungan antar manusia dengan tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam ghaib. Hampir serupa dengan unsur-usur diatas, sarto kartodirdjo menyebut lima unsur-usur dimensi-dimensi religiostas yaitu: Dimensi pengalaman Dimensi ideologis Dimensi ritual Dimensi intelektual Dimensi konsekuential Sumber: (Dwi Siswato. Vol 20. Nomer.3. Desember 2010. Musman A. 2017. Agama Ageming Aji. Yogyakarta. Pustaka Jawi. Wahyuni .S.Sos, M.Si 2018 PRENADAMEDIA GROUP.