x

Suasana sidang sengketa hasil pemilihan legislatif 2019 di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 9 Juli 2019. TEMPO/Budiarti Utami Putri.

Iklan

Antoni Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 19 Juli 2019 15:56 WIB

Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

Walaupun MK memiliki fungsi dan peran yang strategis dalam pembangunan hukum, namun bukan berarti MK tidak perlu dibenahi. Seiring perjalanannya, berbagai persoalan pun menghampiri MK yang notabanenya adalah lembaga yang seharusnya bebas dari kesalahan, seperti halnya pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim Konstitusi, Hakim Konstitusi terlibat korupsi, serta putusannya yang terlalu sering diabaikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai anak kandung reformasi, Mahkamah Konstitusi (MK) memegang peran penting dalam pembangunan hukum yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Fungsi dan peran utamanya sangat besar, yakni menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum melalui fungsi pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945. 

Walaupun MK memiliki fungsi dan peran yang strategis dalam pembangunan hukum, namun bukan berarti MK tidak perlu dibenahi. Seiring perjalanannya, berbagai persoalan pun menghampiri MK yang notabanenya adalah lembaga yang seharusnya bebas dari kesalahan, seperti halnya pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim Konstitusi, Hakim Konstitusi terlibat korupsi, serta putusannya yang terlalu sering diabaikan.

Sementara dari faktor eksternal, kepercayaan publik terhadap MK pun mulai memudar seiring dengan dilaksanakannya pemilu presiden yang benar-benar merusak tatanan sosial kemasyarakatan karena menghadirkan pembelahan di dalam masyarakat. Dalam perkara ini, MK dituding hanya menjadi “alat” bagi petahana untuk kembali berkuasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di lain sisi, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi pun tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak terjadi pelanggaran kode etik, namun sanksi yang diberikan selalu berakhir antiklimaks. Seperti halnya yang terjadi dalam kasus Arief Hidayat, walaupun terbukti melakukan pelanggaran kode etik, yang bersangkutan enggan mundur dan tetap menjabat sebagai Hakim Konstitusi.

Momentum Pembenahan

Momentum pembenahan terhadap MK kini terbuka lebar melalui revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang tengah berlangsung di DPR. Pembenahan melalui revisi UU MK tersebut seharusnya mampu men-cover semua permasalahan yang kini mencuat, seperti masa jabatan Hakim Konstitusi, pengawasan lembaga, sanksi pelanggaran kode etik, membangun kembali kepercayaan publik, serta menciptakan sistem dimana semua pihak harus tunduk pada putusan MK.

Pertama, masa jabatan Hakim Konstitusi. Masa jabatan hakim yang sama dengan jabatan politik hanya menyebabkan Hakim Konstitusi "terpaksa" membangun hutang budi kepada penguasa. Anggapan tersebut bukan tanpa alasan. Apa lagi bila mengingat masa jabatan Hakim Konstitusi yang sama dengan jabatan politik, yakni hanya 5 (lima) tahun. Masa jabatan hakim ini juga memunculkan argument liar yang menyatakan bahwa Hakim Konstitusi sulit untuk menjaga netralitas dalam mengadili perkara yang berhubungan dengan kepentingan presiden, terutama Hakim Konstitusi yang masa jabatannya baru perode pertama. Membangun hutang budi serta berupaya menarik hati penguasa adalah hal yang tidak dapat dielakkan bila ingin kembali dipilih menjadi Hakim Konstitusi periode berikutnya.

Ada dua opsi yang seharusnya diterapkan terkait lama masa jabatan Hakim Konstitusi. Pertama jabatan hakim konstituai harus melebihi masa jabatan politik. Misalnya,  Hakim Konstitusi memiliki masa jabatan 10 tahun, namun hanya untuk sekali masa pemilihan. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi hakim yang merupakan titipan dari penguasa dalam periode pemerintahan tertentu. Kedua, masa jabatan Hakim Konstitusi seumur hidup. Hal ini dapat merujuk pada jabatan Hakim Agung, tapi dengan catatan sepanjang hakim tersebut mampu tetap berprilaku baik. Bila sudah dalam masa jabatannya terdapat perilaku yang tidak pantas dilakukannya, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diberhentikan.

Pemberian jabatan yang lama terhadap Hakim Konstitusi juga bertujuan agar seorang Hakim Konstitusi apabila sudah selesai menjabat sebagai hakim MK, maka seharusnya ia tidak boleh menduduki jabatan yang lebih rendah dari jabatan Hakim Konstitusi, misalnya menjabat sebagai Menteri, menjadi anggota legislative, atau menjadi anggota lembaga negara lainnya. Sebab, seorang “mantan” Hakim Konstitusi bila menduduki jabatan yang lebih rendah, itu hanya akan meruntuhkan wibawa dari MK itu sendiri

Kedua, memperkuat dewan etik dan sanksi pelanggaran etik. Dalam hal ini, Dewan etik MK harus diatur di dalam pasal-pasal UU MK yang menyatakan bahwa etik tersebut merupakan dewan yang terpisah dengan MK sehingga keberadaannya tidak dapat diintervensi oleh hakim MK. Lembaga etik perlu diperkuat untuk mengimbangi kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, sebab lembaga yang kuat dapat disalahgunakan apabila tidak diimbangi dengan pengawasan yang juga kuat.

Saat ini, pengawasan terhadap kinerja Hakim Konstitusi menjadi tanggung jawab dan wewenang Dewan Etik. Namun, lembaga itu hanya bisa bertindak jika ada laporan dugaan pelanggaran etik yang diterima dari masyarakat sipil. Dewan Etik juga tak bisa langsung memberhentikan Hakim Konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Lembaga itu hanya bisa membentuk Majelis Kehormatan, yang nantinya bisa memutuskan apakah sanksi pemecatan diberikan atau tidak kepada hakim pelanggar etik berat.

Ketiga, UU MK harus dengan tegas mengatur tentang pelanggaran kode etik. Terutama menyangkut sanksi yang dapat dijatuhkan.  Bagi setiap hakim yang terbukti melanggar kode etik, maka sanksinya seharusnya tidak ada lagi hanya sekedar teguran, melainkan harus mengundurkan diri dari jabatan Hakim Konstitusi apabila itu pelanggaran ringan dan diberhentikan bila itu pelanggaran berat. Hal ini perlu dilakukan karena hakim adalah orang yang dianggap paling mulia, dalam konteks Hakim Konstitusi, nasib bangsa Indonesia dapat dikatakan berada di tangannya.

Pemberian sanksi etik yang berat tersebut juga bertujuan untuk menjaga Hakim Konstitusi agar tetap baik dan bekerja sesuai ketentuan. Sebab bila hanya menekankan dalam proses seleksi yang harus menjadi negarawan, maka itu tidak akan menjadi jaminan selama menjabat dia tidak akan melakukan pelanggaran. Kebanyakan sifat negarawannya hanya ada ketika seleksi, setelah menjabat ia menjelma menjadi orang yang mengesampingkan kenegarawannya dengan sama sekali tidak memikirkan kode etik. Sebaliknya, bila ditekankan kepada sanksi pelanggaran kode etik, yang saat seleksi tidak begitu terlihat negarawannya, tapi saat menjabat akan lebih baik, sebab ia takut akan sanksi kode etik yang ada.

Keempat, Hukum acara MK harus dibenahi, bila perlu diatur dalam UU sendiri, termasuk masalah perlindungan saksi. Hal ini bertujuan agar hukum acara MK tidak selalu dirubah berdasarkan kehendak dari Hakim Konstitusi. Kemudian juga harus ada pasal yang mengatur tentang konsistensi putusan MK agar tidak ada putusan yang saling bertentangan, sebab bila MK tidak konsisten dalam mengeluarkan putusan, maka yurispudensi dari putusan MK tidak akan pernah berjalan. Sebab putusan MK yang saling bertentangan hanya akan menyebabkan kebingungan dikalangan subjek hukum.

Terhadap putusan MK, harus ada pasal yang mengatur bahwa segala kebijakan yang dikeluarkan dengan mengabaikan putusan MK, maka itu harus dianggap batal demi hukum. Bila kebijakan tersebut dalam bentuk undang-undang, maka undang-undang yang dibentuk tersebut harus tidak dapat diundangkan. Hal ini bertujuan agar putusan MK benar-benar dipatuhi dan tidak berakhir antiklimaks karena tidak pernah bisa dijalankan.

Keempat persoalan tersebut di atas adalah hal-hal subtansial yang harus menjadi perioritas dalam revisi UU MK yang saat ini tengah berlangsung. Hal ini bertujuan agar MK benar-benar mampu menjadi penjaga konstitusi yang menjalankan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman secara utuh dan bebas dari kepentingan pihak mana pun.

 

Antoni Putra, Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

Ikuti tulisan menarik Antoni Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler