x

cover buku Keris Naga

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 6 April 2020 08:03 WIB

Keris Naga

Ulasan lengkap tentang Keris Naga. Informasi ini bisa membantu menjelaskan apakah keris yang dipulangkan ke Indonesia berdhapur Keris Nagasasra atau Keris Nagasiluman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Keris Naga

Penulis: Basuki Teguh Yuwono

Tahun Terbit: 2011

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Badan Pengembangan Sumber Daya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Tebal: xxvi + 256

ISBN: 978-602-19707-0-6

 

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan pembahasan Keris Diponegoro yang dibawa kembali ke Indonesia oleh Raja Belanda. Keris yang dianggap milik Pangeran Diponegoro tersebut pulang bersama dengan kunjungan Raja Belanda Willem Alexander tanggal 10 Maret 2020. Sejak kepulangan keris tersebut, masyarakat langsung mendiskusikannya. Dua topik utama seputar keris tersebut yang didiskusikan adalah: (1) Apakah benar keris ini milik Diponegoro? (2) Apa sebenarnya dhapur keris tersebut? Naga sasra atau Naga siluman?

Diskusi atau lebih tepatnya polemik tersebut membuat saya melihat kembali buku tentang keris naga yang saya dapatkan dari Mas Basuki Teguh Yuwana, seorang pakar keris dari Surakarta. Waktu itu saya datang dalam acara pameran keris di Balai Sujatmoko Surakarta. Waktu pulang saya mendapat hadiah buku luar biasa ini langsung dari penulisnya. Mas Basuki Teguh Yuwono adalah pendiri Padepokan Brojobuwono yang bertempat di Desa Wonosari, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Di padepokan ini keris-keris baru masih terus dibuat.

Buku karya Mas Teguh Yuwono ini membahas dengan detail tentang Keris Naga. Mula-mula beliau menjelaskan penggunaan kata naga dan sarpo (ular) dalam dunia perkerisan. Bilah keris sering disebut dengan istilah naga atau sarpo. Keris naga tapa atau sarpo tapa digunakan untuk menyebut bilah keris lurus (lajer) tanpa luk. Sedangkan keris yang bentuknya luk, biasa disebut dengan naga lumaku atau sarpo lumaku atau naga atau sarpo nglangi. Untuk keris yang luknya dalam sering disebut sebagai naga nyander (naga yang menyerang).

Kata naga juga dipakai untuk menyebut jenis pamor. Naga welang dan naga rangsang adalah dua jenis motif pamor pada keris.

Mas Teguh Yuwono kemudian menjelaskan tentang apa yang dimaksud keris dhapur naga, atau secara singkat beliau menyebut sebagai keris naga. Beliau menjelaskan bahwa ada dua tipe keris dhapur naga, yaitu motif naga yang ditatahkan pada bilah keris (dhapur tinatah) dan tipe naga kalawijan, yaitu penampakan pamor yang seakan-akan membentuk perwujudan naga atau bentuk naga yang tidak baku.

Sedangkan untuk jenis dhapur naga tinatah dibagi menjadi dua jenis, yaitu naga sasra, yaitu jenis keris dengan wujud naga lengkap dari kepala sampai ekor dan jenis naga siluman yang perwujudan naganya hanya kepala dan kadang sebagian badan saja, tidak sampai ekor. Ada juga jenis dhapur naga lare atau dhapur anak naga adalah bentuk naga utuh kepala sampai ekor tetapi bentuknya kecil. Ekornya hanya sampai bagian sorsoran saja. Ada lagi jenis dhapur naga temanten, yaitu dua naga yang saling membelakangi dan badannya saling berlilit sampai pada luk pertama. Selanjutnya hanya satu badan saja yang mengikuti luk sampai ke ujung keris.

Dhapur naga siluman dan naga sasra inilah yang menjadi bahan diskusi yang ramai ketika keris yang diklaim sebagai milik Pangeran Diponegoro itu sampai. Melihat wujudnya, seharusnya keris ini berdhapur naga sasra, sebab perwujudan naganya penuh dari kepala sampai ekor. Padahal klaim dari pihak yang menyerahkan dan meneliti keris ini disebutkan dhapurnya adalah naga siluman.

Mas Teguh Yuwono juga mengingatkan bahwa tidak semua dhapur keris dengan nama naga selalu mempunyai bentuk kepala naga atau naga utuh. Ada dhapur-dhapur lain yang menggunakan nama naga tetapi tidak mempunyai perwujudan naga. Beberapa contoh diberikan dalam buku ini. Diantaranya adalah dhapur naga kikik, dimana perwujudan di bagian sorsorannya adalah wujud kepala anjing. Naga liman, wujud yang dipakai adalah kepala gajah, dan sebagainya.

Penjelasan Mas Teguh Yuwono ini membuyarkan argumen bahwa meski dhapurnya naga sasra tetapi namanya bisa saja naga siluman. Argumen tersebut sama sekali tidak masuk akal, karena keris dengan nama naga yang tidak menggunakan perwujudan nagalah yang bisa berbeda nama dengan dhapurnya. Jadi keris naga siluman jelas-jelas menunjukkan dhapur yang menggambarkan wujud naga yang tidak lengkap sampai ke ekornya.

Selain menjelaskan istilah naga dalam dunia perkerisan, Mas Teguh Yuwono juga memberikan informasi perkembangan motif naga dalam dunia perkerisan di Jawa.  Beliau menjelaskan bahwa motif naga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Budha yang datang dari India. Sedangkan tipe naga tinatah sangat dipengaruhi oleh Cina. Teknologi amalgamasi (penyatuan) logam emas dengan besi dengan metode tempa halus sangat dipengaruhi oleh Cina. Pengaruh ini muncul sejak abad ke XV. Mula-mula teknik ini dipakai oleh para perajin emas di pantai utara Jawa, baru kemudian dipakai oleh para pande keris. Keris naga tinatah mengalami masa kejayaan pada jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma sampai dengan jaman Mataram Surakarta. Pada masa itu banyak dibuat keris dhapur naga.

Teguh Yuwono menjelaskan bahwa ular atau naga sudah menjadi binatang penting dari sejak jaman kuno di Jawa. Pada jaman Mataram Kuno sampai dengan Majapahit, bentuk naga/ular sudah dipakai dalam relief-relief di bangunan-bangunan penting. Selain muncul dalam relief-relief, ular atau naga juga muncul dalam karya sastra (kakawin). Ketika teknologi keris semakin maju, perwujudan ular (sarpo) atau naga juga muncul pada bilah keris.

Saya senang dengan buku ini. Sebab Teguh Yuwono membahas keris dari sisi latar belakang penciptaannya, fungsi keris, sejarah, teknologi, estetika, karakteristik dan makna simbolisnya. Beliau tidak mendekati keris dari sisi klenik. Dengan pendekatan budaya dan teknologi maka keris akan mendapatkan tempat barunya dalam dunia modern. Menempatkan keris sebagai benda klenik akan membuat keris dijauhi dan akhirnya musnah. Namun dengan menempatkan keris sebagai benda karya agung budaya, maka kelestarian keris akan terjaga.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler