x

SSB

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 28 April 2021 11:17 WIB

Sebuah Refleksi, Sekolah Sepak Bola (SSB) Bukan Tempat Main-Main, Lho?

SSB adalah partner sekolah formal yang keberadaannya sangat representatif dan melengkapi pendidikan anak usia dini dan muda Indonesia. Bukan tempat main-main. Kecuali tak pakai embel-embel sekolah, apalagi gaya-gayaan soccer-socceran, akademi-akademian, hingga diklat-diklatan. Hmmm

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekolah Sepak Bola (SSB) fungsi utamanya adalah tempat belajar untuk bermain sepak bola bagi anak usia dini dan muda. Fungsi lainnya, karena ada kata sekolah, maka tak akan lepas dari urusan edukasi yang di dalamnya ada kurikulum, pendidikan, pembinaan, dan pelatihan, yang ujungnya melahirkan anak-anak cerdas dan pandai bermain bola, serta cerdas dalam kehidupan nyata, tertancap kuat pondasi bagaimana seharusnya anak-anak menjadi memiliki sikap peduli, simpati, empati, tahu diri, berbesar hati, hingga rendah hati. Menjadi cikal bakal, generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur.

SSB dibiarkan liar

Namun, karena hingga kini belum lahir regulasi yang baku menyoal SSB dan tatanannya di Indonesia yang semustinya telah dilahirkan oleh federasi resmi bernama PSSI, maka benang kusut SSB semakin menjadi. Hingga dapat saya simpulkan, sampai saat ini, SSB masih menjadi tempat main-main para pengurusnya, pembinanya, pelatihnya, Orang Tua, dan siswa, tak sesuai nama dan kualifikasinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Minat anak-anak di dunia umummya, dan Indonesia khususnya terhadap sepak bola dan SSB yang begitu besar, terlebih di Indonesia, anak-anak lebih suka bermain sepak bola, ketimbang sekolah formal  seharusnya dapat diakomodir dengan benar dan tepat. 

SSB di jalur nonformal, sangat representatif  dapat menjadi alternatif mendukung pendidikan di jalur formal yang terus terpuruk, seharusnya hal ini terdeteksi dan terbaca oleh stakeholder terkait terutama Kemendikbud, Kemenpora, dan PSSI sendiri.

Pasalnya, baik sebelum pandemi corona datang maupun kini telah menclok corona di dunia dan Indonesia, nyatanya SSB sebagai wadah pembinaan sepak bola akar rumput (grassroots) Indonesia, terus diminati dan dibanjiri anak-anak untuk menjadi siswanya.

Mustahil fenomena ini tak terbaca oleh stakeholder terkait yang saya sebut. Sayang, SSB di jalur nonformal yang sangat diminati anak-anak Indonesia dan dapat dijadikan partner  pendidikan formal yang menampung anak-anak Indonesia di usia sama, dan terbukti pendidikan formal masih gagal, ternyata SSB pun dibiarkan liar. Sampai-sampai pihak swasta malah yang tergerak hati mengakomodir hingga membikin kompetisi.

Tak terbayang bila SSB tak dibiarkan liar, diurus dengan benar oleh PSSI dan stakeholder terkait, maka anak-anak Indonesia di akar rumput, yang notabene adalah pondasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan menjadi penerus cita-cita pahlawan yang telah melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan kolonialisme, dan menjadi andalan bangsa dan negara di masa depan di segala bidang, sewajibnya mendapatkan pendidikan dengan benar di jalur formal dan nonformal.

76 tahun dan 22 tahun, bermasalah

Kini, meski Indonesia menjelang usia ke-76 tahun dan sudah ada 29 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mulai dari Ki Hadjar Dewantara hingga Nadiem Makarim dan berdasarkan catatan saya yang telah terpublikasi dalam artikel di berbagai media, SSB telah bergaung menjelang 22 tahun sejak pertama di apungkan pada tahun 1999 oleh PSSI di bawah Agum Gemelar dan Pembina Usia Muda di bawah Ronny Pattinasarani, nyatanya dunia akar rumput atau anak-anak PAUD di Indonesia terus bermasalah baik di sekolah formal maupun SSB.

Sumber masalah utamanya pun juga sudah terdeteksi yaitu karena Kurikulum Pendidikan dan SDM gurunya yang tak kompeten, pun SDM pembina dan pelatih SSBnya yang jauh dari standar. Kolaborasi kekisruhan di dua ranah pendidikan yang sama-sama menggarap sektor anak usia dini ini, sungguh fatal akibatnya untuk regenerasi bangsa dan negara Indonesia. Sampai kapan? Tahu negara lain pendidikannya maju karena apa, tapi Indonesia sulit belajar dan mencoba seperti mereka. Alasannya pun klasik, Indonesia luas, baik wilayah, penduduk, dan adat budayanya tak seperti negara lain. Prek, semua terus saja ada justifikasinya dari para pejabat yang diberi amanah mengentaskan sektor ini.

Fakta bahwa pendidikan di Indonesia terus terpuruk, penyebabnya adalah karena berbagai persoalan yang sangat majemuk. Masalah Kurikulum pendidikan dasar dan SDM guru yang tak kompeten pun terus menyumbang sebab utama mengapa Indonesia selalu mendapat peringkat rendah dalam survei kinerja siswa.

Melalui The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mengumumkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2018, seperti tahun-tahun sebelumnya, perolehan peringkat Indonesia tidak memuaskan.

Perlu dipahami, PISA merupakan survei evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja siswa kelas pendidikan menengah. Penilaian ini dilakukan setiap tiga tahun sekali dan dibagi menjadi tiga poin utama, yaitu membaca (literasi), matematika, dan sains. Hasil pada tahun 2018 mengukur kemampuan 600 ribu anak berusia 15 tahun dari 79 negara.

Hasilnya, lagi-lagi menempatkan siswa Indonesia di jajaran nilai terendah terhadap pengukuran membaca, matematika, dan sains. Pada kategori kemampuan membaca, Indonesia menempati peringkat ke-6 dari bawah (74) dengan skor rata-rata 371. Turun dari peringkat 64 pada tahun 2015.
Lalu pada kategori matematika, Indonesia berada di peringkat ke-7 dari bawah (73) dengan skor rata-rata 379. Turun dari peringkat 63 pada tahun 2015. Sementara pada kategori kinerja sains, Indonesia berada di peringkat ke-9 dari bawah (71), yaitu dengan rata-rata skor 396. Turun dari peringkat 62 pada tahun 2015.

Hasil survei lainnya, menempatkan Cina dan Singapura di posisi dua negara teratas. Cina memiliki skor 555, sementara Singapura 549 untuk skor kemampuan memahami bacaan dalam berbagai tingkat kesulitan. Kedua negara ini masing-masing mencapai nilai 591 dan 569 untuk kemampuan matematika siswanya, serta 590 dan 551 untuk nilai sains.

Rata-rata skor dunia untuk literasi adalah 487, matematika 489, dan sains 498. Dengan rata-rata tersebut, dibandingkan kemampuan literasi, matematika, dan sains siswa Indonesia, maka siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia. Padahal  Indonesia sudah berpartisipasi dalam penilaian ini selama 18 tahun, sejak tahun 2000. Namun selama itu pula nilai kemampuan siswa tak pernah berada di atas rata-rata.

Bagaimana dengan penilaian PISA terbaru? Terlebih dalam situasi pandemi corona tanpa belajar tatap muka? Dalam situasi belajar normal, tatap muka saja, siswa Indonesia terus gagal sejak tahun 2000. Ditambah lagi oleh buruknya kinerja menteri pendidikan. Mari kita tunggu wajah pendidikan dasar Indonesia  dari hasil survei terbaru PISA nanti.

SSB tempat main-main?

Atas masalah-masalah tersebut di atas, pendidikan formal terus terpuruk, di SSB pun setali tiga uang. Masyarakat Indonesia boleh saja bangga bahwa SSB telah menjamur di seantero negeri dan nampak semarak dalam setiap kegiatan pembinaan, pelatihan, hingga festival/turnamen/kompetisi. Namun semua itu boleh saya simpulkan semu.

Mengapa semu? Jawabnya sudah saya ulas di berbagai artikel saya sebelumnya hingga saya pun sudah memberikan solusi alternatif pemecahan masalahnya. Tetapi pada kesempatan ini, saya melihat ada hal yang memang sangat vital wajib dilakukan oleh setiap manajemen SSB.

Meski SSB masih belum ada regulasi dan dibiarkan liar, tapi para siswa binaannya sudah dimanfaatkan hasilnya oleh Klub Liga 1 hingga Timnas, ada budaya tak menanam tapi memetik. Maka, siapa pun yang berani-berani mendirikan SSB dan melakukan pembinaan dan pelatihan hingga ikut kompetisi, wajib menyadari bahwa SSB bukan tempat main-main.

Wahai para pendiri, pengurus, pembina, pelatih, orang tua, dan siswa, mengapa SSB bukan tempat main-main? Sebagai wadah nonformal, karena mengakomodasi kata sekolah, maka SSB selama ini terus bermasalah di sektor internal dan ekternal, di luar masalah dibiarkan liar oleh stakeholder terkait.

Secara internal, SSB adalah wadah nonformal yang menampung anak-anak usia dini dan muda (6-16/17 tahun. Usia tersebut adalah saatnya anak-anak membutuhkan asupan pendidikan demi tumbuh kembangnya aspek pedagogi (Kognitif, afektif, psikomotor) anak. 

Untuk itu, SDM yang seharusnya membina, mendidik, dan melatih mereka adalah yang memiliki keilmuan sesuai standar kebutuhan anak PAUD dan usia muda.

Jadi mulai dari pendiri, pembina, pelatih, dan manajemennya wajib memiliki syarat minimal dan standar untuk mereka dapat berkecimpung dalam wadah SSB. 

Sebagai wadah pondasi, SSB bukan sekadar tempat latihan bermain bola yang melulu soal teknik dan fisik. Anak-anak usia dini dan muda justru harus kuat dalam asupan teori dan praktik untuk pengembangan intelegensi dan personaliti. Dengan tergarapnya intelegensi dan personaliti anak, maka anak akan cerdas otak dan cerdas emosi yang menjadi dasar anak dapat mengembangkan bakat kemampuan teknik bermain bola dan kuat fisik.

Apakah SSB-SSB yang menjamur di Indonesia, kualifikasi para pembina, pelatih, dan manajemennya sudah sesuai standar tersebut? 

Di sekolah formal, menjadi guru PAUD saja syaratnya wajib Sarjana (S1). Pendidikannya 4 tahun demi memperoleh ilmu pedagogi yang mumpuni. Dan sekolah formal hingga kini masih gagal dan terpuruk. Bagaimana dengan pembina dan pelatih di SSB? Masyarakat pasti lebih paham dan lebih tahu jawabannya.

Bila masalah standarisasi pembina dan pelatih di SSB ini masih liar dan tak pernah standar, maka SSB hanya sebagai wadah main-main bagi si pendiri, pembina, pelatih, dan manajemennya. Tak amanah sesuai tanggungjawab yang semustinya karena mengelola, membina dan mendidik anak-anak usia dini dan muda sebagai pondasi di bidang sepak bola dan kehidupan nyata.

Selama ini, banyak fakta, di dalam SSB sendiri, antara pendiri, pembina, dan pelatih, hingga manajemen hanya sekadar tempelan karena banyak yang tak memenuhi standar. Akibatnya, keharmonisan di dalam internal sendiri tak terwujud. Manajemen tak jelas dan tak kuat, kalah oleh sikap pelatih atau pengurus, hingga di mata orang tua dan siswa, SSB pun tak ada wibawa. Rasanya bila saya ungkap semua persoalan akan panjang sekali mengisahkannya. Tetapi simpulnya, atas kondisi demikian, maka internal SSB saja saya sebut masih main-main.

Sebab banyak yang asal punya uang atau hanya punya kemauan, langsung bikin SSB dan gaya-gayaan.

SSB sewajibnya tak ubahnya seperti sekolah formal, memiliki latar belakang, tujuan, visi-misi, sasaran, pembina dan pelatih yang tak sekadar lisensi pelatih sepak bola yang paling lama di tempuh dalam waktu sebulan. SSB wajib ada panduan kurikulum, program, hingga perencanaan. Lalu, infrastruktur, sarana, dan prasarana, hingga terafiliasi atau terakreditasi di PSSI. Sebab, menjadi kawah candradimuka dan memproses lahirnya generasi pesepak bola dan generasi bangsa di kehidupan nyata dengan cara yang benar, ilmiah dan komprehensif.

Secara ekternal, masalah di SSB ternyata setali tiga uang. Sudah secara internal tak teratasi hingga sekarang, secara ekternal, SSB sangat dibuat main-main oleh orang tua dan siswa.

Selama ini dalam otak para orang tua, karena anaknya menjadi siswa di SSB lebih banyak dikendalikan oleh orang tua, orang tua sangat meremehkan SSB.  Parahnya sikap meremehkan orang tua terhadap SSB tempat anaknya menjadi siswa, meski disadari oleh SSB bersangkutan, para SSB ini tak dapat berbuat apa-apa.

Hampir di setiap SSB, ada kisah-kisah menyedihkan yang terus terjadi dan berulang hingga sekarang. Kisah-kisah itu seperti orang tua dan  siswa yang tak dapat mengikuti derap langkah kegiatan pembinaan dan pelatihan sesuai program SSB dan bertindak sesuka hatinya. Orang tua dan siswa  yang bergabung di dalamnya suka menganggap remeh, menganggap latihan tak penting, dan seribu perasaan dan sikap lainnya. Bisa datang dan bergabung kapan saja, bisa datang latihan atau tak latihan seenaknya, bisa mangkir dari tanggungjawab mengikuti kompetisi dan sejenisnya. Bisa cabut dan ke luar dari tim atau SSB sekehendaknya. Merasa anaknya hebat lalu membawa anaknya terbang dan melanglang buana ke berbagai SSB, hingga ada julukan anak seribu bendera. Menganggap siswa lain tak sebanding dengan anaknya, ikut campur urusan teknis, manajemen, dan lain sebagainya.

Pokoknya, selama ini banyak sekali siswa yang orang tuanya neka-neko. Berbuat sekehendak hati terhadap SSB dan programnya. Dan, banyak sekali orang tua yang sangat ambisi anaknya dapat masuk timnas, lalu ke luar masuk SSB lain karena iming-iming gratisan, dan beribu kisah lainnya.

Parahnya lagi, dalam situasi orang tua yang hanya mementingkan diri sendiri, banyak SSB yang memang sektor internalnya berantakan, maka melibatkan orang tua masuk dalam manajemen, pun dapat ditebak, manajemen dan SSB nya pun jadi tambah tak berbentuk dan berantakan.

Manajemen SSB harus kuat

Atas sengkarut benang kusut menyoal regulasi, faktor internal dan eksternal dan lainnya, di bulan suci Ramadhan 1442 Hijriah ini, SSB-SSB juga ada tetap menjalankan program kegiatan pembinaan dan pelatihan.

Untuk itu, bulan ini adalah saat yang tepat untuk setiap SSB merefleksi dan mengavaluasi diri khususnys tentang faktor internal dan eksternalnya.

Lupakan dulu menyoal regulasi dan afiliasi dari federasi, tetapi setiap SSB wajib membenahi manajemennya. Manajemen SSB harus kuat dan standar, sehingga tidak mudah bagi pengurus dan pelatih bertindak tak sesuai aturan manajemen. Jangan lucu, ada SSB yang bermasalah karena diacak-acak oleh pelatih.

Bila di sekolah formal, ada Direktur, Kepala Sekolah, Bidang Kurikulum, Bidang Kesiswaan, Bidang Prasarana dll, lalu ada guru dan staf Tata Usaha (TU), maka pelatih di SSB itu sama dengan guru di sekolah formal. Jelas aturan tentang kedudukan jabatan secara manajemen. Ricek lagi pelatih yang bekerja di SSB. Apa memenuhi kriteria dan standar karena harus mengampu dan mendidik anak usia dini.

Berikutnya, dari faktor eksternal, SSB wajib tegas kepada orang tua dan siswa yang tak mentaati peraturan. Setop dan keluarkan siswa yang orang tuanya neko-neko, mementingkan diri sendiri, tak simpati, miskin empati dll. Apalagi tipikal orang tua yang bakat menjadikan anaknya sebagai siswa SSB seribu bendera.

Sepanjang pengamatan saya, ada SSB hebat dan hingga sekarang masih bertahan melakukan pembinaan dan pelatihan sejak awal nama SSB digaungkan tahun 1999, karena internalnya kuat dan sangat ketat dari ancaman faktor ekternal.

SSB seperti itu, tak butuh siswa yang orang tuanya neko-neko dan imbasnya membuat mental anaknya tak berkembang dengan benar.

SSB bersangkutan juga tak segan menyetop kerjasama dengan pengurus, staf, dan pelatih yang tak taat peraturan.

Harus disadari, tatkala sekolah formal masih bermasalah hingga pendidikan di Indonesia terus terpuruk, SSB sebagai sekolah nonformal dan sangat digemari oleh anak-anak usia dini dan muda, juga wajib berbenah secara internal dan ekternal, agar anak-anak usia dini dan muda sebagai pondasi generasi penerus bangsa tak tambah terpuruk. Wajib dibina, didik, dilatih intelektualnya, sosialnya, emosionalnya, analisisnya, kreatif-imajinatifnya, dan iman (ISEAKI) oleh tangan yang benar dan tepat. Begitu pun dalam hal teknik, intelegensi, personaliti, dan speed (TIPS) sebagai pesepak bola. 

Jadi, SSB adalah partner sekolah formal yang keberadaannya sangat representatif dan melengkapi pendidikan anak usia dini dan muda Indonesia. Bukan tempat main-main. Kecuali tak pakai embel-embel sekolah, apalagi gaya-gayaan soccer-socceran, akademi-akademian, hingga diklat-diklatan. Hmmm

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler