x

cover buku Tinta Emas di Kanvas Dunia

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 20 November 2021 08:44 WIB

Dr. Eka Julianta,Remaja Miskin Asal Klaten yang Jadi Ahli Bedah Otak Kelas Dunia

Eka Julianta Wahjoepramono alias Tjioe Tjay Kian lahir di Klaten tanggal 27 Juli 1958. Ia adalah anak keturunan Tionghoa yang secara ekonomi tidak cukup baik. Namun ketekunan, kenekatan dan dukungan dari berbagai pihak membuat dia berhasil menjadi seorang ahli bedah syaraf dengan spesialisai bedah otak kelas dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Tinta Emas di Kanvas Dunia – Jejak Langkah Ahli Bedah Syaraf DR. Eka Julianta Wahjoepramono

Penulis: Pitan Daslani

Tahun Terbit: 2021 (cetakan keenam)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas            

Tebal: xxii + 226

ISBN: 978-979-709-466-9

Eka Julianta Wahjoepramono alias Tjioe Tjay Kian lahir di Klaten tanggal 27 Juli 1958. Ia adalah anak keturunan Tionghoa yang secara ekonomi tidak cukup baik. Namun ketekunan, kenekatan dan dukungan dari berbagai pihak membuat dia berhasil menjadi seorang ahli bedah syaraf dengan spesialisai bedah otak kelas dunia.

Eka lahir dan besar di Klaten Jawa Tengah. Keluarganya tidaklah kaya. Bahkan orangtuanya menumpang di rumah keluarga. Sejak kecil Eka hidup pas-pasan dan sudah harus membantu keluarganya mencari uang. Ia membawa penganan yang dibuat oleh ibunya untuk dijual di kantin sekolah (hal. 5). Ia juga harus membantu menggiling ketela untuk dibuat getuk sebelum ia berangkat sekolah.

Melewati berbagai rintangan ekonomi dan sesial, Eka berhasil menjadi ahli bedah syaraf spesialis bedah otak kelas dunia.

 

Semangat dan keuletan

Eka menapaki sekolah dari SD sampai SMA di Klaten. Sebenarnya ia berminat untuk bersekolah di SMA De Brito di Jogja. Namun ia gagal untuk tes masuk karena tidak bisa berbahasa Inggris. Selepas SMA ia mendaftar ke Fakultas Kedokteran di UGM. Ia gagal masuk UGM karena ia adalah seorang keturunan cina (hal. 15). Untunglah akhirnya ia bisa tetap masuk Fakultas Kedokteran di Universitas Diponegoro di Semarang. Meski diterima, Eka harus membayar uang sumbangan yang begitu besar – 2 juta! Untunglah Pakdenya mau menanggung uang sumbangan tersebut. Pakdenya juga yang membantu membiayainya kuliah di kedokteran.

Setelah lulus, ia ingin segera melanjutkan studi spesialisasi. Supaya masa magangnya lebih singkat dia memilih untuk bertugas di Kalimantan. Ia bertugas di Puskesmas Pendahara, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (hal. 25). Setelah bertugas selama dua tahun, ia memilih untuk kembali ke Semarang dan bekerja di sebuah rumah sakit kecil, yaitu Rumah Sakit (RS) Panti Wilasa (hal. 31). Di RS inilah untuk pertama kali ia terlibat dalam sebuah operasi. Sebelumnya dia sudah pernah melakukan operasi memotong jari seseorang yang mempunyai 6 jari saat ia masih mahasiswa. Operasi sederhana itu berhasil. Namun operasi yang lebih rumit baru dialami ketika ia menjadi tim operasi yang diketuai oleh Dr. Andi Maleachi.

Pengalaman menjadi tim operasi ini membuat tekadnya untuk menjadi ahli bedah semakin besar. Sayangnya upaya tersebut tidaklah mudah. Ia menemui banyak kegagalan. Ia gagal mendaftar di UNAIR Surabaya. Akhirnya dia diterima di Universitas Panjajaran Bandung. Setelah lulus ia ingin sekali mengabdi menjadi dosen di UNPAD dan bekerja di RS Hasan Sadikin. Namun upayanya ini kandas karena ada diskriminasi.

Keinginannya belajar ke luar negeri akhirnya kesampaian juga. Melalui koneksinya dengan sang senior, Dr. Iskarno, Eka bisa belajar ke Jerman. Ia juga berkesempatan untuk belajar ke Fukuoka, Jepang.

Keberhasila Dr. Eka dalam melakukan bedang batang otak membuatnya menjadi ahli bedah syaraf dengan spesialisasi otak kelas dunia. Pada tanggal 20 Februari 2001, ia berhasil membedah tumor kavernoma yang berada di batang otak. Selama ini batang otak dianggap sebagai no man’s land, wilayah yang tak bisa diotak-atik manusia. (hal. 59). Sejak keberhasilannya itu Dr. Eka banyak mendapat undangan ke berbagai universitas, seperti di Harvard, Arkansas, Kanada, Australia dan sebagainya. Puncak kariernya di bidang bedah otak adalah saat Dr. Eka menjadi bagian dari “Top 50” forum ahli bedah syaraf World Academy of Neurological Surgery (WANS) (hal. 121).

 

Managemen dan Birokrasi

Dr. Eka menjadi dokter bedah syaraf di Rumah Sakit Siloam. Karena DR. Eka menjadi dokter di RS Siloam, ia juga diminta oleh Mochtar Riyadi untuk ikut mengelola Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan (UPH). Dr. Eka malah dilibatkan mulai dari sejak pendirian Fakultas Kedokteran ini (hal. 93). Pada saat Fakultas Kedokteran sudah berdiri, Dr. Eka tidak bisa menjadi dekan karena kualifikasi akademiknya tidak memenuhi. Maka Dr. Eka menempuh program doctoral di 3 tempat sekaligus.

Ketika berdiri, Fakultas Kedokteran UPH berada dibawah supervise Fakultas Kedokteran UI. Namun hubungan Fakultas Kedokteran dengan UI tidak berjalan mulus. Di sinilah Dr. Eka menunjukkan kemampuannya melakukan loby dan membereskan masalah (hal. 100). Di bawah kepemimpinannya Fakultas Kedokteran UPH berkembang dengan pesat. Fakultas Kedokteran bahkan bisa bermitra dengan RS Siloam untuk menjadikan RS Siloam menjadi RS Pendidikan.

 

Diskriminasi

Buku ini memuat masalah diskriminasi yang dihadapi oleh Tjioe Thjai Kian alias Eka Julianta Wahjoepramono. Disertakannya masalah diskriminasi ini tentu bukanlah hal yang mudah. Sebab masalah diskriminasi memang ada, tetapi biasanya tidak mudah untuk dibuktikan kebenarannya. Itulah sebabnya sering diabaikan saja, daripada menimbulkan masalah di kemudian hari.

Tjioe Thjai Kian harus berganti nama pada tahun 1965 (1967?) (hal. 2). Pergantian nama ini adalah akibat dari Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang "Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing" atau Keppres 240/1967 yang menyarankan warga Tionghoa mengganti namanya menjadi nama Indonesia. Meski sifatnya saran, tetapi implementasinya di lapangan peraturan ini adalah wajib dilaksanakan.

Diskriminasi lain yang dialami oleh Eka Julianta adalah saat ia mendaftar ke fakultas kedokteran. Ia gagal diterima di UGM (hal. 15). Di formular pendaftaran, calon mahasiswa harus mencantumkan etnisnya. Pengalaman diskriminasi kembali terulang saat ia berniat bekerja di RS Hasan Sadikin. Meski sudah mempunyai SK penempatan di RS Hasan Sadikin, tetapi ia tidak dikehendaki dan dipaksa pindah ke tempat lain (hal. 37).

Meski mengalami diskriminasi, tetapi Dr Eka tidak menjadi dendam. Dr. Eka malah menjadi pelopor dalam mengembangkan kebhinnekaan. Terbukti dia tidak pernah memilih tim kerja berdasarkan etnis dan agama (hal. 81).

 

Bagi saya, biografi yang baik adalah biografi yang tidak hanya berisi glorifikasi sang tokoh. Biografi Dr. Eka Julianta Wahjoepramono yang ditulis oleh Pitan Daslani ini sangat menarik karena selain mengungkap kisah hidup Dr. Eka, juga memuat fakta-fakta menarik tentang diskriminasi kepada orang Tionghoa pada jamannya. Selain memuat perjuangan pemuda dari keluarga miskin di Klaten, biografi ini juga mengungkap sifat-sifat Dr. Eka yang membuatnya berhasil. Di tengah kesulitan-kesulitan yang dihadapi, Dr. Eka tetap bisa mencapai karir yang luar biasa di kancah dunia. Itulah sebabnya saya memasukkan biografi ini sebagai biografi yang menarik. 632

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler