Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno

One in a Million Moment: Jejak Pengabdian di Tanah Rantau Sulawesi

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Berfoto Dengan Anak-anak Lokal
Iklan

Dari santri perantau yang masih sekolah, menjadi guru TPQ, pedagang cilok, hingga sahabat warga. Sebuah kisah pengabdian di tanah Konawe.

***

Saya sering melihat anak-anak berlari tanpa alas kaki di jalan tanah, membawa buku lusuh yang sampulnya sudah robek. Ada yang menulis dengan pensil pendek yang tinggal sejengkal, ada pula yang tetap datang meski bajunya penuh tambalan. Namun, semangat mereka tidak pernah luntur. Saat saya membuka halaman kitab di TPQ, mata mereka berbinar. Saat saya menjelaskan pelajaran diniyah malam, mereka duduk serius, meski ruangan hanya diterangi lampu minyak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di situlah saya mulai berpikir bahwa pendidikan adalah harapan terbesar mereka. Saya membayangkan, jika anak-anak ini diberi kesempatan, mungkin suatu hari ada yang menjadi guru, dokter, atau pemimpin negara. Mereka hanya butuh sedikit dorongan, sedikit perhatian, dan keyakinan bahwa mimpi itu bisa diraih.

Selain anak-anak, saya juga menyaksikan bagaimana para orang tua berjuang. Ada seorang bapak yang setiap hari berjalan kaki berjam-jam hanya untuk menjual hasil kebun di pasar. Penghasilan tidak seberapa, namun ia tetap tersenyum ketika pulang. Katanya, "Rejeki itu cukup kalau disyukuri." Kalimat sederhana itu menampar kesadaran saya. Betapa sering kita merasa kurang, padahal di hadapan saya ada orang yang hidupnya jauh lebih berat, namun masih bisa merasa cukup.

 

Di tengah semua itu, saya mulai menata harapan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk mereka. Saya berharap bisa membawa sesuatu yang berarti, meski kecil. Entah itu dalam bentuk ilmu, pengalaman, atau sekadar semangat. Saya ingin ketika suatu hari nanti saya meninggalkan desa ini, ada jejak kecil yang bisa dikenang, dan ada manfaat yang bisa terus hidup.

 

Saya sadar, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang anak muda yang kala itu masih berjuang menamatkan pendidikan dan pengabdian. Namun, justru karena itu saya merasa dekat dengan mereka. Saya tahu rasanya berharap, rasanya berjuang dari nol, dan rasanya bertahan di tengah keterbatasan.

 

Harapan itu semakin kuat ketika saya melihat perubahan kecil. Anak-anak yang dulu malu membaca, kini berani melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara lantang. Warga yang dulu segan menyapa, kini dengan hangat menyertakan saya dalam kegiatan mereka. Bahkan, cilok bakar yang saya jual di gazebo pondok sering menjadi bahan obrolan mereka, seakan-akan menjadi bukti bahwa saya sungguh-sungguh berusaha hidup bersama mereka.

 

Semua itu membuat saya yakin bahwa keterbatasan bukan penghalang, melainkan guru terbaik. Dan di balik semua keterbatasan itu, ada harapan yang selalu bisa kita rawat, asalkan hati kita tidak menyerah.

 

 

Konflik, Luka, dan Pembelajaran

 

Pengabdian tidak selalu mulus. Saya pernah berselisih paham dengan beberapa pihak, bahkan pernah menghadapi konflik sosial yang cukup pelik. Ada momen ketika keberadaan saya dipertanyakan, bahkan dianggap membawa “cara baru” yang tidak sesuai dengan kebiasaan.

 

Namun, dari situlah saya belajar arti rendah hati. Saya belajar meminta maaf, menjelaskan dengan sabar, dan menerima bahwa perubahan tidak bisa dipaksakan. Luka itu menyakitkan, tetapi ia menjadi guru yang berharga.

 

Refleksi Setelah Bertahun-Tahun

 

Kini, ketika saya menengok kembali, saya sadar bahwa pengalaman di Konawe adalah hadiah terbesar dalam hidup saya. Ia bukan sekadar kisah tentang mengajar di tempat terpencil, melainkan kisah tentang bagaimana manusia bisa menemukan dirinya ketika ia mau memberi tanpa syarat.

 

One in a million moment itu mengajarkan saya:

 

Bahwa kebahagiaan bukan terletak pada harta, tetapi pada hati yang tulus.

 

Bahwa ilmu harus dibagi, sekecil apapun bentuknya.

 

Bahwa hidup akan lebih bermakna ketika dijalani bersama orang lain.

 

Jejak yang Tidak Pernah Hilang

 

Kini, mungkin nama saya sudah tidak lagi disebut-sebut di desa itu. Anak-anak yang dulu saya ajar mungkin sudah beranjak dewasa, melanjutkan hidup dengan jalan masing-masing. Tetapi saya percaya, sedikit ilmu dan cinta yang pernah saya berikan akan tetap ada, meski tidak terlihat.

 

Itulah jejak pengabdian saya di Konawe. Jejak yang mungkin kecil, tetapi bagi saya, ia adalah momen yang hanya datang sekali seumur hidup "one in a million moment" yang mengubah saya selamanya.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler