Pebinis Tambang Menjerit karena Pajak Progresif Nikel, Pemerintah Apakah Mendengar?

Rabu, 26 Oktober 2022 17:44 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Besaran pajak tersebut adalah 5% untuk harga US$15.000 hingga US$16.000 per ton. Tak hanya nikel, kabarnya pajak progresif ini juga berlaku bagi komoditas lainnya seperti bauksit dan timah.

Pada medio tahun 2022, pengusaha pertambangan digemparkan dengan kebijakan baru dari Pemerintah Indonesia. Pasalnya, Indonesia merilis PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia. Di dalam PP tersebut, diatur pula pajak progresif salah satu mineral yang sedang hangat diperbincangkan, nikel.

Besaran pajak tersebut adalah 5% untuk harga US$15.000 hingga US$16.000 per ton. Tak hanya nikel, kabarnya pajak progresif ini juga berlaku bagi komoditas lainnya seperti bauksit dan timah. Bukan tidak mungkin, mineral lainnya juga akan turut dikenakan pajak yang represif tersebut!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari sudut pandang pemerintah, kebijakan ini berfungsi untuk mendorong hilirisasi dan mengembangkan investasi produk nikel yang memiliki nilai tambah. Kedua, menjaga cadangan bijih nikel sebab SDA ini tidak dapat diperbaharui.

Namun, apakah pemerintah sudah melihat dari banyak sudut pandang? Salah satunya dari kacamata para pengusaha? Sebab, sebuah kebijakan yang ‘bijak’ tentu harus disepakati oleh kedua belah pihak agar kebijaksanaan nyata terjadi, bukan? Lalu, mengapa kebijakan pajak progresif nikel ini terjadi ketika ekonomi dunia sedang tidak pasti?

Bahkan, menurut International Monetary Fund (IMF), ekonomi global akan ‘kelam kabut’ pada tahun 2023. Hal ini ditandai dengan meningkatnya inflasi global dan adanya ‘teror’ resesi keuangan pada beberapa negara gegara pasar keuangan global tidak stabil. IMF memperkirakan output global akan mencapai US$4 triliun selama 2022 - 2026 karena kemunduran ekonomi dunia. 

Padahal, menurut BKPM, realisasi investasi Indonesia sudah mencapai Rp892,4 triliun pada Januari - September 2022. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp479,3 triliun dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sejumlah Rp413,1 trilun. 

BKPM mencatat, lima sektor terbesar dari gabungan PMA dan PMDN adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya mencapai investasi Rp131,8 triliun. Disusul sektor pertambangan sebesar Rp96,5 triliun. Catatan Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada Senin (3/10) melaporkan kalau penerimaan negara dari sektor pertambangan minerba tercatat Rp118,34 trilun, sekitar 279,32% dari target rencana penerimaan tahun 2022 yakni sebesar Rp42,37 triliun.

Tidak hanya itu, Indonesia juga mengalami pertumbuhan ekspor barang pada kuartal II lalu, khususnya di sektor pertambangan. Badan Pusat Statistik melaporkan ekspor dari sektor tersebut mencapai US$5,93 miliar, tumbuh 103,6% dari setahun sebelumnya (year-on-year).

Dengan adanya pajak progresif nikel ini, beragam produk nikel yang akan dikirim ke luar negeri terutama barang setengah jadi bakal dikenakan pajak! Nah, apakah ini akan merepotkan pelaku usaha pertambangan dan mengakibatkan kemunduran dari pencapaian Indonesia di atas? Tentu saja!

Hal ini diamini oleh Direktur Keuangan emiten pertambangan nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Bernadus Irmanto, menilai jika pemerintah nantinya menetapkan kebijakan pajak progresif nikel, maka dapat dipastikan akan menekan industri nikel domestik. 

“Tentu saja pengenaan pajak ini akan memberikan tekanan terhadap industri nikel, terutama perusahaan yang melakukan ekspor produk olahan nikel,” terangnya. Ia juga menambahkan, jika tujuan pengenaan pajak ini untuk mendorong hilirisasi, perlu dikaji ulang kembali terkait waktu pelaksanaannya dengan ketersediaan fasilitas hilirisasi (downstreaming facility) di Indonesia. 

Jika memang pajak progresif nikel ini diterapkan pada produk nikel barang setengah jadi, mengapa Indonesia tidak fokus saja kepada pembuatan industri dan fasilitas pengolahannya? Agar nantinya Indonesia dapat berdikari atas sumber daya alamnya. 

Mengenai ketersediaan fasilitas hilirisasi tersebut, CEO PT IMIP, Alexander Barus menerangkan, bahwa saat ini Indonesia masih mengalami kekosongan pada industri intermediate.

“Dari tiga tingkat kita sudah punya sekarang, tingkat dua hanya bahan baku feronikel, kita proses sekarang sudah ada 3 juta metrik ton (mt). Di tingkat ketiga ini kosong, Pak Bahlil bilang ada packing baterai, kita lihat saja nanti, yang pasti ini di tingkat tiga kita kosong,” papar Alex.

Data realisasi investasi mineral dan pertumbuhan ekspor barang pertambangan sudah memperlihatkan kredibilitas kita, bahwa industri pertambangan mineral seperti nikel dapat menjadi penyelamat saat ekonomi sedang menuju ‘lubang hitam’. Pengusaha sudah mengerahkan kemampuannya untuk membantu ekonomi Indonesia. Lalu, mengapa Indonesia tidak fokus pada pengembangan industri kelanjutannya agar bisa mendapatkan manfaat lebih lanjut? Allahu alam, pemirsa. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sutri Sania

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler