Menafsir Ulang Lagu Tikus-Tikus Kantor

Kamis, 17 Oktober 2024 07:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tikus Berdasi
Iklan

Iwan Fals telah menciptakan sebuah lagu ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium kritik sosial yang kuat.

***

Lagu atau karya seni lain dapat dinikmati juga bisa dimaknai sebagai kritik. Seni memiliki kekuatan untuk menyuarakan realitas. Melalui simbolisme, metafora, dan pesan-pesan tersirat, karya seni seperti lagu mampu mengangkat isu-isu sosial, politik, dan budaya dengan cara yang menarik dan menggugah kesadaran publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai contoh, lagu Tikus-tikus Kantor karya Iwan Fals menggambarkan kritik terhadap korupsi di Indonesia. Iwan Fals mengibaratkan para koruptor sebagai tikus yang cerdik dan licik.  Berikut ini sebuah tafsir sederhana terhadap lagu tersebut.

Lirik lagu Tikus-Tikus Kantor:

Kisah usang tikus-tikus kantor/ Yang suka berenang di sungai yang kotor/ Kisah usang tikus-tikus berdasi/ Yang suka ingkar janji lalu sembunyi/ Di balik meja teman sekerja/ Di dalam lemari dari baja/ Kucing datang cepat ganti muka/ Segera menjelma bagai tak tercela/ Masa bodoh hilang harga diri/ Asal tak terbukti ah tentu sikat lagi/ Tikus-tikus tak kenal kenyang/ Rakus, rakus, bukan kepalang/ Otak tikus memang bukan otak udang/ Kucing datang tikus menghilang/ Kucing-kucing yang kerjanya mol/ Tak ingat tikus kantor datang menteror/ Cerdik, licik, tikus bertingkah tengik/ Mungkin karena sang kucing pura-pura mendelik/ Tikus tahu sang kucing lapar/ Kasih roti jalan pun lancar/ Memang sial sang tikus teramat pintar/ Atau mungkin si kucing yang kurang ditatar/ Tikus-tikus tak kenal kenyang/ Rakus, rakus, bukan kepalang/ Otak tikus memang bukan otak udang/ Kucing datang tikus menghilang//

Lagu yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Iwan Fals pada tahun 1993 ini merupakan salah satu bentuk kritik sosial yang tajam terhadap praktik korupsi yang mewabah di Indonesia, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru. Iwan Fals menggunakan metafora tikus sebagai simbol dari para pelaku korupsi. Sementara kucing diibaratkan sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya bertugas menangkap tikus-tikus tersebut. Namun justru lamban atau bahkan terlibat dalam sistem korupsi itu sendiri.

Lagu ini menyampaikan pesan yang relevan dengan kondisi sosial-politik di Indonesia saat itu. Yang mana kasus-kasus korupsi kerap melibatkan pejabat tinggi dan para elit yang menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri. Meski kritik sosial dalam lagu ini bersifat universal, realitas yang dihadapi masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru membuat lagu ini semakin beresonansi dengan publik. Pada masa itu, korupsi dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dan sulit diberantas. Hal ini karena melibatkan jaringan yang luas, mulai dari birokrat hingga aparat hukum.

Dalam lirik lagu Iwan Fals mempersonifikasikan para koruptor sebagai tikus yang rakus, licik, dan cerdik. Mereka bersembunyi di balik kekuasaan dan status, berusaha menghindari tanggung jawab atas tindakan kejahatan mereka. Kalimat "kisah usang tikus-tikus kantor" menunjukkan bahwa korupsi bukanlah masalah baru, melainkan masalah lama yang telah mengakar dalam sistem birokrasi dan pemerintahan.

Larik "yang suka berenang di sungai yang kotor" menggambarkan bahwa para koruptor merasa nyaman dalam sistem yang penuh dengan kebobrokan dan penyimpangan moral. Sungai yang kotor adalah metafora untuk lingkungan yang dipenuhi oleh tindakan korup, yang mana para pelaku merasa tidak tersentuh oleh hukum.

Dalam lirik "kucing datang cepat ganti muka", kucing diibaratkan sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi. Namun, ketika para koruptor merasa terancam, mereka dengan cepat berubah sikap, seolah-olah mereka tidak bersalah, hanya untuk menghindari penegakan hukum. Ini menunjukkan kepura-puraan para pejabat dalam menghadapi tuduhan korupsi. Kritik terhadap penegak hukum semakin jelas dalam lirik "kucing-kucing yang kerjanya molor", yang menggambarkan betapa lambannya aparat dalam menindak kasus korupsi. Bahkan cenderung membiarkan para pelaku terus beroperasi.

Lirik "Tikus tahu sang kucing lapar, kasih roti jalan pun lancar" mengisyaratkan bahwa para koruptor menyadari bahwa aparat penegak hukum juga bisa disuap, yang semakin memperlancar aksi mereka. Di sini, suap atau "roti" menjadi simbol dari uang atau imbalan yang diberikan kepada penegak hukum untuk membiarkan mereka lolos dari jeratan hukum.

Jika dilihat dari perspektif hermeneutika Paul Ricoeur, kritik sosial dalam lagu ini dapat ditafsirkan berdasarkan tiga aspek utama: maksud pengarang, konteks kultural saat lagu diciptakan, dan audiens yang dituju. Maksud dari Iwan Fals dalam lagu ini jelas, yakni mengkritik keras perilaku korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Konteks kulturalnya adalah masa Orde Baru. Ketika itu kritik terhadap pemerintah jarang bisa disuarakan secara terbuka, namun melalui musik, Iwan Fals menemukan medium untuk menyuarakan keresahan rakyat.

Sementara itu, dalam teori kritis yang diusung oleh Jurgen Habermas, lirik-lirik ini bisa dilihat sebagai bagian dari "tindakan komunikatif" yang bertujuan untuk membuka dialog tentang isu korupsi di masyarakat. Iwan Fals tidak hanya mengkritik para koruptor, tetapi juga masyarakat yang apatis dan penegak hukum yang lamban. Tindakan komunikatif ini memungkinkan masyarakat untuk menyadari masalah yang terjadi di sekitar mereka dan mulai mempertanyakan sistem yang ada.

Meskipun lagu ini dirilis lebih dari tiga dekade lalu, pesannya masih relevan hingga saat ini. Korupsi masih menjadi salah satu masalah utama di Indonesia, bahkan setelah beberapa dekade berlalu. Lagu ini mengingatkan kita bahwa perlawanan terhadap korupsi harus terus dilakukan, dan aparat penegak hukum harus benar-benar menjalankan tugas mereka dengan integritas.

Lirik yang mengandung kritik tajam seperti "tikus-tikus tak kenal kenyang" menegaskan bahwa para pelaku korupsi tidak pernah merasa cukup dan akan terus mencari celah untuk memperkaya diri, tanpa memperdulikan kesejahteraan masyarakat luas. Pesan ini juga berlaku dalam konteks modern, yaitu ktika banyak skandal korupsi besar yang melibatkan pejabat publik, menunjukkan betapa sulitnya memberantas korupsi dari akar-akarnya.

Melalui lagu "Tikus-Tikus Kantor," Iwan Fals telah menciptakan sebuah karya yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium kritik sosial yang kuat. Lagu ini menjadi cermin bagi kondisi Indonesia, khususnya dalam hal korupsi yang melibatkan aparat negara dan pejabat publik. Pesan yang disampaikan oleh Iwan Fals dalam lagu ini adalah ajakan kepada masyarakat untuk tidak tinggal diam dan terus mengawasi pemerintah serta para penegak hukum agar tidak menjadi tikus-tikus yang merusak negeri.

Sebagai sebuah karya seni, lagu ini berhasil menyatukan musik dan pesan kritik sosial yang tetap relevan hingga hari ini, memperlihatkan kekuatan musik dalam menyuarakan kebenaran.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mugi Muryadi

Penggiat literasi dan penikmat kopi susu

55 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler